Oleh: Laily Agustina R
1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Tanahnya yang subur dan keberadaan air yang cukup, memungkinkan berbagai jenis tumbuhan (flora) hidup dan tumbuh dengan baik. Keragaman flora, menyokong kelangsungan hidup berbagai jenis fauna. Tidak hanya itu saja, ternyata dibawah lapisan tanahnya yang subur juga menyimpan kekayaan bahan tambang yang melimpah. Kekayaan ini sejak dahulu mengundang bangsa lain untuk berlomba menguasai dan memilikinya.
Sejak abad 18, setelah revolusi industri, bangsa Portugis dan Belanda mulai melakukan perjalanan untuk mencari tanah-tanah baru yang kaya SDA untuk menyuplai kebutuhan industri mereka. Penemuan mesin uap pada pertengahan abad ke-19, membuat penjelajah samudera yang sebelumnya menggunakan kapal layar beralih menggunakan kapal uap yang berbahan bakar batu bara. Sejak itulah, bahan tambang menjadi salah satu SDA yang dicari, selain hasil pertanian, perkebunan, dan hasil hutan.
Seiring dengan kemajuan zaman, keberadaan bahan tambang kian menjadi primadona. Manusia semakin tergantung pada bahan tambang untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Misalnya saja migas, dibutuhkan oleh sebagian besar penduduk dunia sebagai bahan bakar untuk memasak, alat transportasi, dan mesin-mesin industri. Bayangkan saja, jika persediaan migas dunia habis sebelum ditemukan sumber anergi alternatif, maka bisa dipastikan aktivitas penduduk dunia lumpuh, industri berhenti beroperasi, manusia kembali pada kehidupan primitif, karena sebagian besar teknologi bergantung pada keberadaan sumber energi, termasuk di dalamnya migas. Belum lagi bahan-bahan tambang lain seperti emas, perak, tembaga, batu bara, timah, nikel, bijih besi dan aneka tambang yang lain yang tetap memiliki nilai jual tinggi karena keberadaannya yang semakin langka.
Sifat manusia yang serakah dan tidak pernah merasa puas, menyebabkan terjadinya eksploitasi SDA yang berlebihan, terutama bahan tambang yang merupakan SDA yang tidak dapat diperbaharui. Sayangnya, eksploitasi ini sering tidak diikuti dengan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan.
2. PEMBAHASAN
2.1. TAMBANG DAN MANUSIA
SDA adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai bagi manusia, yang telah memberikan dorongan bagi berlangsungnya proses kehidupan dalam peradaban yang saling menguntungkan, sehingga manusia dapat hidup secara layak dan harmonis karena layanan alam yang menjadi penopangnya.
Kekayaan bahan tambang yang melimpah di Indonesia, ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Akibatnya sebagian besar pengelolaan tambang dilakukan oleh pihak asing, seperti Newmont, Freeport, Exon Mobile, Slumbersi, dsb.
Pengelolaan tambang di Indonesia seringkali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar. Pihak pengelola tambang, sering kali menjadi lintah darat yang menghisap habis semua kekayaan tambang yang dimiliki Indonesia, dan meninggalkan begitu saja setelah bahan tambang habis. Negara-negara kaya tambang tapi tidak kaya SDM, seperti Indonesia, inilah yang harus menanggung kerusakan ekologis cukup parah di area bekas penambangan. Dan untuk memulihkan kondisinya seperti semula, dibutuhkan dana yang cukup besar.
Ulah manusia diperkirakan akan menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian lingkungan. Melalui ekspoitasi, sekelompok manusia menguasai, menggunakan, mengeruk dan memeras potensi sumber daya alam. Keadaan Indonesia sebagai negara berkembang telah mendorong penyelenggara pemerintahan memanfaatkan keberadaan sumber daya alam yang melimpah, dengan harapan terjadinya percepatan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dan terjaganya stabilitas ekonomi secara nasional.
Akan tetapi, kapitalisme dan komoditisasi SDA ternyata menyebabkan suatu krisis hubungan antara manusia dan SDA. Kerentanan ekonomi sebagai negara berkembang dimanfaatkan secara sempurna oleh kekuatan ekonomi negara maju melalui multikorporasi, yang berusaha menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk melakukan investasi. Pola hubungan ekploitatif oleh kekuatan kapital, dalam pengolahan SDA dan investasi belum menunjukkan dorongan terhadap rasa keadilan dan berkelanjutannya bagi rakyat banyak.
2.2. PENAMBANGAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Ketika mesin ekonomi Kapitalisme berputar cepat di Indonesia, maka ketika itulah mencuat geliat perambahan dan ekploitasi tambang. Data JATAM menunjukkan hingga akhir 2001 saja pemerintah telah mengeluarkan izin pertambangan sebanyak 3246 izin yang terdiri dari 893 izin kuasa pertambangan seluas 32.765 833 ha, izin kontra kerja sebanyak 110 dengan luas 8.410.106 hektar serta 2.138 izin SIPD yang dikeluarkan pemerintah daerah. Luas areal yang di tambangan sudah mencapai 66.891.496 ha atau lebih 35% dataran Indonesia. Sehingga dapat dibayangkan, berapakah luas wilayah Indonesia yang akan mengalami kerusakan akibat kegiatan penambangan (Firmansyah, 2009) .
Menurut Maemunah, 2006, pertambangan berarti menggali permukaan tanah. Bahkan hingga kedalaman yang tak terbayangkan. Saat menutup pertambangannya, sistem hidrologi sebuah kawasan tertentu akan terganggu. PT Freeport misalnya, akan meninggalkan Gresberg berbentuk lubang dengan kedalaman 2500 meter. Belum lagi gangguan terhadap lingkungan sekitar akibat pembuangan limbah.
Di Indonesia, pertambangan diperbolehkan menggusur wilayah kelola rakyat. Tambang boleh beroperasi di kawasan manapun, termasuk hutan lindung, seperti tambang Newcrest-Australia yang membabat hutan lindung dan hutan adat di Toguraci, Halmahera utara. Hal yang sama juga terjadi pada pulau-pulau kecil, seperti PT. Karimun Granit di Pulau Karimun dan Strait Resources-Australia di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Padahal pada pulau-pulau kecil tersebut, persediaan air sangat bergantung pada keberadaan hutan tersisa di Pulau tersebut.
Selain masalah persediaan air, masalah lain yang timbul adalah pembuangan limbah. Seringkali limbah tambang dibuang ke lingkungan sekitar tanpa ada penanganan terlabih dahulu. Newmont mengeklaim Submarine Tailing Disposal (STD) atau pembuangan tailing ke laut merupakan cara “paling bersahabat” dengan lingkungan. Perusahaan Amerika Serikat ini telah membuang ratusan juta ton limbah tailingnya ke Teluk Buyat di Sulawesi utara dan Teluk Senunu di Sumbawa. Perusahaan Amerika lainnya, seperti PT. Freeport, membuang limbahnya ke Sungai Ajkwa dan menimbun puluhan ribu hutan rawa di Papua.
Untuk keperluan airnya, perusahaan diperbolehkan menggunakan airbersih sebanyak yang mereka butuhkan dari sungai-sungai di sekitarnya. Mereka bahkan diperbolehkan memotong aliran sungai yang biasa digunakan warga. Strait Resources-Australia melakukan hal yang sama untuk tambang batubaranya di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Atau PT Inco, perusahaan Nikel dari Kanada yang membelokkan air sungai untuk keperluan perluasan tambanganya di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Jika dicermati, sebagian besar perusahaan tambang menggunakan air langsung dari alam. Disaat yang sama, mereka juga merusak system hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian batuan. Saat perusahaan menutup tambanganya, lingkungan dan masyarakat sekitar adalah “pewaris utama” jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan serta social sekitarnya.
Yang menyedihkan, tidak ada peraturan dan standart jelas di negeri ini, untuk mewajibkan perusahaan tambang melakukan reklamasi dan jaminan keamanan dalam jangka panjang. Hal itu membuat perusahaan-perusahaan tersebut meninggalkan begitu saja kawasan bekas tambangnya dalam keadaan bangkrut.
Dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup dikenal konsep deplesi SDA dan degradasi lingkungan hidup. Subandar, 2004, Deputi Pengembangan SDA Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan bahwa deplesi SDA berarti penyusutan (habisnya) SDA karena eksploitasi. Hal ini disebabkan laju pemulihan sumber daya alam terutama yang tidak terbarukan lebih lambat dari laju eksploitasinya. Contohnya deplesi pada penambangan emas dan minyak, serta erosi topsoil (lahan lapisan atas). Sementara itu, degradasi lingkungan hidup akibat fungsi-fungsi ekosistem tidak dapat berjalan dengan baik. Sebagai contoh kerusakan sumber daya hutan mengakibatkan gangguan fungsi hidrologis dan mikroklimatologi.
Komersialisasi dan moneteralisasi diberbagai bidang secara pasti telah memarginalkan dan menyingkirkan peran masyarakat lokal dalam pengelolahan SDA, sehingga hampir semua titik yang sudah mengeksploitasi SDA selalu menoreh masalah yang kelam.
Dalam sejarah ekploitasi SDA dalam skala besar yang melbatkan perusahaan besar dan agen kapitalisme global, selalu ada tejadi konflik, baik konflik itu terjadi antar masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Eksploitasi mineral di Papua misalnya, beberapa suku asli berhadapan dengan Freeport, Sumatra Utara dengan Indorayon, warga Sumbawa dengan Newmont Nusa Tenggara, suku Dayak dengan HPH, KKB, KK, dan daerah lain juga mengalami hal yang sama. Setidaknya ada tiga hal pokok yang melatarbelakangi konflik-konflik penguasaan SDA, yakni:
1). Pertama, Kuatnya intervensi modal dalam sistem ekonomi nasional, yang berujung pada pemihakan yang berlebihan pada kapital dari penyelenggaraan negara. Hal ini jelas terlihat dalam paradigma pembangunan nasional yang menekankan pertumbuhan ekonomi pada dekade sebelumnya, tanpa memperhatikan pemerataandan keadilan bagi warga negara.
2). Dominannya pemerintah dengan memposisikan diri sebagai yang paling menentukan arah pembangunan, sehingga sentralisasi keputusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang lumrah saja, tidak perduli terhadap keberadaan masyarakat lokal yang tergantung hidupnya dari sumber daya hutan. Tindakan tersebut melahirkan berbagai mekanisme penaklukan sosial terhadap masyarakat lokal.
3). Lemahnya jaminan dan perlindungan formal negara terhadap hak-hak masyarakat lokal atau adat dalam perundang-undang nasional. Kondisi tersebut diperburuk oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal tentang hak-hak mereka dalam bingkai kebijakan dan peraturan yang dikembangkan oleh pemerintah.
Indonesia adalah negara tropis yang kebanyakan warganya hidup mengandalkan basis ekonomi agraris, sehingga tingkat ketergantungan hidup masyarakatnya dari kekayaan agraria dan SDA sekitarnya sangat kuat.
Namun ketika investasi datang meluruhlantakan SDAnya (sumber penghidupan) maka dapat dipastikan terjadi penyingkiran yang sistematik (marginalisasi) Masyarakat dari sumber penghidupannya, dan pasti proses produksi masyarakat asli akan terganggu dan menjadi tidak berdaya (miskin). Ini terjadi tentunya karena masyarakat kehilangan hak atas tanah, kehilangan hak atas hutan dan SDAnya yang selama ini telah memberikan sumbangsih bagi kehidupannya.
Suramnya kondisi ekonomi masyarakat yang tersingkir dari tanahnya, mendorong berkembangnya pengangguran dan kemiskinan. Kita saksikan kualitas kehidupan sangat buruk bagi masyarakat disekitar kawasan investasi, perawat kesehatan yag minim, pendidikan analk yang seadanya. Persaingan dan pergulatan hidup yang semakin keras karena berhadapan dengan peningkatan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Beberapa tahun silam Mimika di Papua menjerit dalam ketidakberdayaan ekonominya, begitu juga masyarakat disekitar tambang Newmont Nusa Tenggara kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat 62% rumah tangga warganya sebagai penerima BLT. Tentu ini sebuah ironi karena keberadaan investasi seharusnya mereka sejahtera dari hasil SDAnya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kegiatan eksploitasi yang besar-besaran terhadap SDA membawa konsekwensi bagi penurunan kualitas ekosistem hutan, sungai, danau, pesisir dan kelautan yang disebabkan oleh aktivitas pemanfaatan yang tidak melihat akibat jangka panjang, seperti konversi hutan untuk Pertambangan ataupun yang lain (Richard B. Primack).
Eksploitasi juga sangat berdampak kepada penghancuran dan pemusnahan spesies dan keanekaragaman hayati perusahaan-perusahaan seperti perusahaan Pertambangan dan penebangan kayu merupakan kegiatan-kegiatan manusia yang paling merusak menurut lingkungan hidup, seraya memainkan peran penting bagi musnahnya dengan cepat hutan-hutan yang tumbuhnyta lambat serta rawa-rawa. Hilangnya habitat-habitat yang kerab kali tidak dapat digantikan itu sedang menguras gudang keanekaragaman hayati dunia. Para ilmuwan memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 50 Spesies pertahun akan lenyap (Leter R. Brown).
Terjadinya konversi lahan hutan untuk kegiatan industri migas, membawa dampak kepada kerusakan ekologis dan ekosistem, dan inilah yang telah mempengaruhi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan petaka bagi kelestarian keaneka ragaman hayati, bagi ketersediaan air, bagi kenyamanan iklim tropis.
Dampak lingkungan kian hari kian mendegradasi daya dukung lingkungan, sehingga bencana alam selalu datang silih berganti diseantero negeri ini. Banjir, tanah longsor, kekeringan/pemanasan global, gempa bumi, perubahan iklim dan kebakaran hutan menjadi musibah yang selalu akrab mengintah masyarakat yang brada didekat lokasi titik kerusakan lingkungan hidup.
Akhirnya kerugian di derita oleh sebagian rakyat akibat bencana alam, kerugian lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dan manfaat yang diperoleh negara dari kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan, sementara tiap tahunnya biasa yang harus dikeluarkan untuk menanggukangi bencana diatas Rp 8 triliun. Kerusakan hutan adalah penyebab utama beragam bencan alam yang terjadi di Indonesia.
2.3. PERTAMBANGAN DAN POLITIK GLOBAL
SDA Indonesia yang melimpah menjadi incaran para investor asing, dan mendapat sambutan yang hangat dari pemerintah lewat keleluasaan yang diatur dalam UU penanaman modal asing. Dari hulu hingga hilir, SDA kita telah dikuasai oleh pihak asing, dikuras, dan dibawa keluar negeri.
Semantara aturan tertinggi secara konstitusional termasuk dalam UUD 45 pasal 33 ayat 2 “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” namun pemerintah mengingkarinya dengan kuasanya telah secara sewenang-wenang memberikan konsesi berlebihan pada pemodal asing.
Pendapatan negara hanya didapat dari royalti, pajak dan iuran perusahaan yang tidak seberapa bila dibandingkan yang dibawa keluar Indonesia. Pengelolaan yang salah selama ini dianggap prestasi monumental dalam konglomerasi SDA dan hutan yang identik dengan praktek kapitalisme, dan memarginalkan masyarakat yang survival dari sumber daya hutan.
Saat ini kita menghadapi krisis multidimensi, tidal hanya persoalan finansial semata tapi kita juga sedang menuju kearah kebangkrutan ekonomi, karena ketersediaan SDA sebagai modal ekologi yang fundamental, sudah berkuran drastis. Seperti yang dikatakan oleh Patricia Adams “SDA diperlakukan sebagai pemberian-pemberian dari alam ketimbang sebagai aset-aset produktif yang nilainya harus didepriasasikan. Sebuah negara dapat menghabiskan sumber-sumber daya mineral, menebangi hutan-hutannya, mengikis tanah-tanahnya, mencemari airnya, dam memburu margasatwa dan perikanannya hingga punah, tetapi pendapatan yang diukur tidak akan berpengaruh ketika aset-aset ini lenyap”.
Posisi negara kita yang lemah karena tingkat ketergantunan ekonomi (hutang) dan politik dengan negara maju maju sangat tinggi, sehingga kondisi ini di manfaatkan oleh kapitalisme global dalam mengurus SDA kita, selain itu pola dan tatanan dunia secara global sangat menguntungkan posisi Corporatocrasi, “Membangun kekuasaan global, dengan memanfaatkan organisasi keuangan internasional untuk menjadikan bangsa-bangsa lain tunduk pada Corporatocrasi” (John Perkins), menjadi skema globalisasi yang dimotori oleh WTO bersama Organisasi sejawatnya dengan pemerintah negara G7 dimaksudkan untuk melemahkan posisi negara berkembang yang mempunyai SDA berlimpah seperti Indonesia.
Dalam ketimpangan tatanan dunia seperti ini membuat milyaran jiwa penduduk dunia hidup dalam kesengsaraan, di Indonesia jutaan rakyak menjerit karena kekurangan pangan, mahalnya BBM, tingginya tarif listrik, biaya sekolah dan berobat mahal. Namun kondisi seperti tak mendorong penyelenggara negara untuk berpihak secara total untuk kepentingan masyarakatnya, tapi pemerintah tetap santun melayani kepentingan neoliberalisme global.
Kita dapat meliat bagaimana kuat dan perkasanya modal dalam mendorong lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan undang-undang nomor 41 Tahun 1999, yang memberikan ruang bagi investasi (modal) untuk menghancurkan benteng terakhir usaha perlindungan Sumber Daya Alam.
Eksploitasi SDA telah dijadikan alat bagi percepatan pertumbuhan ekonomi negara, dan secara pasti telah meningkatkan akumulasi aset bagi negara- negara yang menguasai modal dan teknologi, seperti negara G7. Berbarengan dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi terjadi juga beragam dampak negatif bagi lingkungan maupun dampak sosial yang sangat besar dialami oleh sebagian besar masyarakat kita.
3. PENUTUP
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh manusia terhadap SDA telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Eksploitasi juga mengingkari hakikat demokratisasi ekonomi dan amanat pasal 33 UUD 1945. Secara umum dapat dikatakan bahwa SDA kita tidak dikelola secara benar, karena lebih mengedepankan orientasi ekonomi bagi segelintir orang dan golongan dari berbagai tingkatannya, sehingga saat ini sebagian besar rakyat kita menghadapi kesulitan hidup dalam situasi krisis multidimensi.
Dari beberapa masalah seperti paparan diatas, mesti dikembangkan suatu strategi nasional untuk penyelamatan aset SDA kita yang masih tersisa, dengan menghentikan pemberian konsesi baru bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA dalam skala besar.
Secara regulatif perlu upaya untuk mengembangkan kebijakan yang berorientasi pada pelestarian lingkungan yang berpihak pada masyarakat, dengan melakukan singkronisasi kebijakan dan menempatkan kebijakan sektoral dan binkai UU pengolahan SDA dan UUD yang sudah diamandemen.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Sejarah Eksploitasi Sumber Daya Alam di Kalsel. Sumber: http://komunitassumpit.wordpress.com/2007/06/22/sejarah-eksploitasi-sumber-daya-alam-di-kalsel/feed/
Firmansyah, J., dkk. 2009. Diagnotika Eksploitasi Sumber Daya Alam. Jakarta : Jatam
Kirom, A. 2006. Tambang dan Penghancuran Lingkungan. Kasus-Kasus Pertambangan di Indonesia 2003-2004. Jakarta: Jatam
Media Indonesia. 2004. Deplesi Sumber Daya Alam Bisa Dihitung. Harian 23 Agustus.
Pranadji, T., dkk. 2006. Keserakahan, Krisis Air dan Bencana Alam : Akankah Kita Undang Peristiwa Sodom dan Gomorra yang akan Terjadi di Indonesia?. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Vol. 4 No. 3, September 2006 : 185-198
Pranadji, T. 2005. Keserakahan, Kemiskinan, dan Kerusakan Lingkungan. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Vol. 3 No. 4, Desember 2005 : 313-325
Tidak ada komentar:
Posting Komentar