Hasil Wawancara dan ditulis oleh:
Laily Agustina Rahmawati
09/290542/PMU/05966
S2- Ilmu Lingkungan UGM
3 Desember 2010
1. Latar Belakang
Kampung Code merupakan permukiman padat penduduk yang terletak disepanjang bantaran Sungai Code. Padatnya bangungan dan buruknya sanitasi membuat kawasan ini dianggap sebagai kawasan kumuh (slumb area), sedang lokasi pembangunan permukiman yang tidak sesuai tata ruang membuat permukiman tersebut dianggap illegal. Pasalnya, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lahan di bantaran Sungai Code sebenarnya diperuntukkan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), bukan permukiman.
Lokasi permukiman Code, masih berada di badan Sungai Code. Artinya, penduduk Code menempati lahan-lahan kosong di badan sungai, pada ketinggian > 3 meter dari titik sungai terendah. Lokasi tersebut dipilih, karena pada kondisi biasa daerah tersebut relative aman dari aliran air sungai. Namun pada kondisi tertentu, misalnya: saat terjadi curah hujan tinggi, atau terjadi aliran lahar dingin akibat aktifitas Gunung Merapi, daerah tersebut rawan terjadi banjir. Aliran lahar dingin membawa berbagai material dalam jumlah besar, terutama batu dan pasir, yang diendapkan di dasar sungai, sehingga sungai mengalami pendangkalan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Banjir bagi masyarakat kampong Code bukan hal yang baru lagi, bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Bagaimana pun juga mereka harus siap menanggung resiko banjir, sebagai konsekwensi tinggal di kawasan tersebut. Persepsi umum menganggap bahwa masyarakat Code nekat dan menantang bahaya. Tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Code tergolong rendah, dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, mungkin menjadi alasan utama mereka tetap bertahan. Selain itu pemerintah juga turut andil dalam menjadikan masalah permukiman Code semakin komplek dan berlarut-larut. Sejak awal pemerintah kurang tegas, dengan melakukan pembiaran terhadap permukiman yang mulai muncul. Akibatnya saat ini, permukiman telah terlanjur berkembang semakin banyak dan padat, sehingga untuk merelokasi mereka pun tidak mudah dan menjadi masalah yang dilematis, karena menyangkut hajat hidup banyak orang.
Ekologi manusia, sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1983 dalam Ritohardoyo, 2006), juga mengkaji respon manusia terhadap fenomena alam, termasuk di dalamnya bencana berupa banjir. Respon ini penting sebagai upaya manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar tetap bertahan hidup. Melalui wawancara, mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan diharapkan menggali lebih jauh mengenai persepsi masyarakat Code mengenai bencana banjir, dan upaya mereka dalam merespon bencana banjir.
2. Tujuan
Tujuan penulisan paper ini untuk melaporkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Code untuk menggali informasi tentang persepsi dan respon mereka dalam menghadapi bencana banjir, terkait aliran lahar dingin akibat aktifitas Gunung Merapi yang terjadi akhir-akhir ini.
3. Metode
Informasi diperoleh melalui deep interview terhadap salah satu warga yang tinggal di bantaran Sungai Code.
4. Hasil Wawancara
Wawancara di lakukan terhadap Bapak Budi Hartono (41 tahun), warga Gondolayu Lor Rt.57. Gondolayu Lor merupakan salah satu dukuh yang sering mengalami banjir, pada saat Sungai Code meluap, terutama Rt. 57 dan Rt. 56. Rumah paling tepi di dukuh ini hanya berjarak 2 meter dari talud. Pembangunan talud sejak tahun 2000 sangat membantu warga dalam mencegah naiknya air sungai ke permukiman penduduk.
Gambar 1. Bapak Budi Hartono (kiri), Mbah Purwoatmojo (kanan)
Sumber: Koleksi Pribadi (2010)
Bapak Budi Hartono, merupakan salah satu tokoh masyarakat setempat dan menjabat ketua ranting salah satu partai politik. Beliau berprofesi sebagai wiraswasta, dengan pendidikan terakhir SMA. Beliau tinggal dengan istri, 2 orang anak, dan kedua orang tuanya yang berusia lanjut, dan menjadi saksi sejarah awal mula perkembangan permukiman di bantaran sungai Code.
Rumah yang ditempati Bapak Budi saat ini, sudah berdiri sejak tahun 1955, atau sekitar 45 tahun yang lalu, sejak orang tuanya pertama kali pindah ke Yogyakarta. Rumah mereka berukuran 8x12 m, dan berjarak 25 meter dari talud. Kondisi rumah sangat sederhana, dengan bangunan semi permanen, dan lantai plester. Di bagian ruang tamu banyak dijumpai kardus-kardus bantuan, karena ternyata Bapak Budi Hartono merupakan orang yang mengkoordinir bantuan untuk warga setempat, pasca peristiwa banjir lahar tanggal 27 Nopember 2010.
Gambar 2. Kondisi lingkungan permukiman warga Gondolayu Lor Rt. 56
Sumber: Koleksi pribadi (2010)
Cerita mengenai awal mula perkembangan permukiman Code, diperoleh dari penuturan Mbah Purwoatmojo (85 tahun), ayah dari bapak Budi. Mbah Purwoatmojo mengaku berasal dari Kulonprogo dan pindah ke Yogyakarta untuk mengadu nasib. Mbah Purwoatmojo adalah seorang guru seni, yang sering mengisi acara kesenian untuk upacara-upacara kebudayaan Jawa di Keraton Ngayogyokarto. Beliau mengajar seni tari dan gamelan, serta mahir dalam melantunkan tembang Mocopat, Panembromo, dan memainkan karawitan. Mocopat dan penembromo, merupakan lagu-lagu berbahasa Jawa, sedang karawitan merupakan seni musik atau gamelan jawa.
Gambar 3. Mbah Purwoatojo sebagai Guru Seni di Keraton Ngayogyokarto
Sumber : Koleksi pribadi (2010)
Menurut Mbah Purwoatmojo, beliau termasuk salah satu orang yang pertama membangun rumah di bantaran sungai Code, atau bisa disebut dengan istilah “mbabat alas”. Pertama kali Mbah Purwoatmojo datang ke lokasi tersebut, yang beliau jumpai adalah lahan kosong yang sangat luas menyerupai lapangan sepak bola. Lahan tersebut hanya ditempati satu rumah, sebagian kecil lahan telah dimanfaatkan untuk berkebun, sebagian besar lahan sisanya masih belum dimanfaatkan. Mbah Purwoatmojo, dengan 4 orang saudaranya, membeli tanah di lokasi tersebut dari Mbah Wongso Winangun (104 tahun), yang mengaku pengelola lahan ”Wede Kengser”, yaitu lahan milik pemerintah yang tak bertuan. Pembelian tanah pada saat itu, tanpa sertifikat. Sejak itulah, Mbah Purwoatmojo dan saudara-saudaranya, tinggal menetap dan memulai hidup baru di Yogyakarta.
Banjir menjadi salah satu masalah yang akrab dengan masyarakat Code. Menurut penuturan Mbah Purwoatmojo, selama tinggal di sana beliau telah mengalami 3 kali banjir besar, yakni tahun 1969, 1983, dan 2010 sebagai yang terbesar. Kejadian banjir besar, biasanya terkait erat dengan aktifitas Gunung Merapi. Letusan Gunung Merapi menyebabkan lava dalam perut bumi mengalir keluar. Ketika terjadi hujan, lava tercampur dengan air hujan dan mengalir sebagai lahar dingin mengikuti pola aliran sungai radial, turun dari puncak gunung ke lembah-lembah sungai yang berada di lereng. Material yang terangkut lahar dingin, sebagian besar berupa batu dan pasir. Batu dengan ukuran besar dan massa berat, akan tertinggal di bagian atas atau hulu sungai. Semakin ke hilir, material yang terbawa aliran semakin kecil dan ringan, termasuk pasir.
Gambar 4. Kondisi Sungai Code pasca Banjir Lahar
Sumber: Koleksi pribadi (2010)
Hal ini juga dijumpai di badan Sungai Code, yang melewati dukuh Gondolayu Lor. Akibat aktifitas Gunung Merapi mulai tanggal 26 Oktober 2010 hingga saat ini, telah menyebabkan pendangkalan sungai sebesar 2,75 m, dari 3,5 m menjadi 75 cm. Mulai dasar sungai hingga ketinggian 2,75 m, telah dipenuhi oleh material pasir bercampur lumpur. Ini menyebabkan, tanggal 27 Nopember 2010, banjir lahar dingin melanda warga perkampungan Code, termasuk Gondolayu Lor, meskipun curah hujan tidak terlalu besar. Ruang badan sungai yang tersedia untuk aliran lahar dingin menyempit, sehingga sungai meluap membanjiri rumah-rumah penduduk.
Banjir lahar dingin, terjadi pada hari Sabtu, 27 Nopember 2010, jam 16.30 WIB. Pada saat banjir terjadi, warga telah bersiap, karena sudah ada peringatan sebelumnya dari Posko Mboyong yang memantau Sungai Gendol yang berada di atas. Warga sudah diminta untuk naik, ke daerah yang lebih tinggi, meskipun sebagian warga masih tetap tinggal karena ingin memantau kenaikan air sungai secara langsung. Jauh sebelum peristiwa tersebut terjadi, warga telah mengantisipasi kejadian banjir lahar dingin terkait aktifitas Merapi yang semakin meningkat.
Warga masyarakat telah berkordinasi membentuk Posko Tanggap Bencana, untuk mempersiapkan upaya-upaya sebelum, pada saat, dan setelah terjadi bencana. Mereka telah siap menentukan rute kemana mereka akan lari, ketika banjir lahar dingin terjadi. Bapak Budi Hartono, selaku tokoh masyarakat, telah menjalin komunikasi dengan beberapa pihak untuk mengakses bantuan, baik sebelum, maupun sesudah terjadi bencana. Sebelum bencana, warga Gondolayu Lor telah menerima bantuan berupa karung-karung untuk diisi pasir dari SCTV. Karung tersebut digunakan sebagai tanggul buatan untuk memperkokoh dan mempertinggi talud. Selain itu, beliau juga menjalin komunikasi dengan posko-posko lain yang berada di lereng atas, untuk meng-update informasi mengenai kondisi terkini Sungai Code.
Gambar 5. Karung-karung bantuan SCTV yang telah diisi pasir untuk memperkokoh tanggul
Sumber: Koleksi Pribadi (2010)
Saat warga Gondolayu lor terkena banjir lahar, serta merta rumah mereka tergenang air hingga ketinggian 4 m. Secara otomatis, rumah yang paling dekat dengan talud dan terletak paling rendah, tenggelam hampir sampai atap rumah. Warga menyingkir ke atas, untuk menyelamatkan jiwa mereka. Setelah ketinggian banjir menurun, banjir menyisakan lumpur bercampur pasir setinggi satu jengkal atau sekitar 20 cm. Karena rumah mereka terendam air, bersama alat rumah tangga mereka, termasuk kompor, warga kesulitan untuk memasak. Sehingga malam saat kejadian, Bapak Budi Hartono, mengajukan bantuan ke KFC agar bersedia menanggung makan malam warga, karena kebetulan lokasi rumah makan tersebut sangat dekat dengan lokasi bencana. Untuk hari-hari berikutnya, berbagai bantuan barang, tenaga, maupun uang pun berdatangan. Bantuan barang, sebagian besar berupa sembako, dan makanan siap makan. Bantuan tenaga dibutuhkan pada hari kedua, setelah banjir terjadi, untuk membantu membersihkan sisa lumpur, meskipun antar warga masyarakat Gondolayu sendiri sudah melakukan gotong-royong. Bantuan berupa uang diperlukan untuk membeli bensin, sebagai bahan bakar mesin diesel untuk menyedot air yang menggenangi daerah tersebut, dan menyedot air yang memenuhi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal mereka.
Gambar 6. IPAL Komunal terendam pasir dan lumpur pasca banjir lahar dingin
Sumber: Koleksi pribadi (2010)
Instalasi Pengolahan Air Limbah komunal, merupakan kebanggaan warga Gondolayu Lor Rt.56. IPAL komunal dibangun atas inisiatif warga dengan dana swadaya. Fungsi IPAL komunal adalah mengelola limbah dari septictank rumah tangga, mengumpulkannya, dan mengolahnya melalui beberapa tahap pengolahan, sehingga pada outlet terakhir, air limbah tidak lagi kotor dan mencemari sungai. Pembuatan IPAL komunal merupakan salah satu upaya memperbaiki system sanitasi masyarakat Code yang terkenal buruk. Selain itu, IPAL komunal yang dikelola warga juga menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan warga sendiri. Atas prestasi warga Gondolayu Lor RT. 56 dalam membangun IPAL komunal, mereka pernah mendapat Juara II tk. Provinsi, dan dijadikan sebagai proyek percontohan. Namun, peristiwa banjir kemarin menyebabkan IPAL komunal mereka terendam air, dan saluran pembuangan mereka tersumbat.
Menurut pengakuan Pak Budi Hartono, konflik sosial jarang terjadi di sana. Kebanyakan mereka masih menganut cara hidup desa, yang guyup dan rukun. Adapun permasalahan yang pernah muncul, dapat mereka selesaikan dengan kekeluargaan. Misalnya konflik dengan warga Terban pada saat pembangunan talud. Gondolayu dan Terban merupakan dua dukuh bertetangga, dipisahkan oleh aliran Sungai Code. Letak kedua dukuh tersebut bersebrangan. Pada saat talud Sungai Code dibangun, tahun 2000, jika mengikuti pola aliran sungai, seharusnya talud dibangun diatas tanah warga Terban dengan mengambil I meter lahan disepanjang sungai sejajar dengan bibir sungai. Namun ternyata penduduk Terban menolak memberikan 1 meter tanahnya untuk pembangunan talud. Selanjutnya masalah ini dikomunikasikan dengan warga Gondolayu, dengan kesepakatan akhir warga Gondolayu bersedia memberikan tanah mereka untuk pembangunan talud. Mereka sadar betul, bahwa talud dibangun untuk keamanan mereka.
Gambar 7. Permukiman warga Gondolayu Lor dilihat dari atas jembatan
Sumber: Koleksi pribadi (2010)
Sebagian besar warga masyarakat Gondolayu Lor Rt. 56 masuk dalam kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka hidup sederhana, namun rasa kekeluargaan dan gotong royong diantara mereka sangat kental. Ini terlihat pasca banjir, mereka saling membantu membersihkan sisa-sisa lumpur yang menumpuk dirumah mereka secara bergantian. Banjir dianggap sebagai hal biasa, dan telah menjadi bagian hidup mereka. Sehingga raut kesedihan atau kepanikan, sama sekali tidak tampak di wajah mereka. Mereka tetap menjalani hidupnya dengan wajar, tanpa ada keinginan untuk pindah ke tempat lain yang lebih aman dan tidak beresiko. Mereka memandang banjir tidak selalu sebagai musibah, namun juga berkah. Karena pasca banjir, mereka berharap dapat memanfaatkan pasir yang ada di sungai Code untuk mereka jual.
Besarnya pemakluman-pemakluman mereka terhadap alam, membuat kehidupan masyarakat Code yang sederhana menjadi harmoni. Mereka tampak bahagia dan menerima kondisi mereka dengan rasa syukur. Mereka bukan kumpulan orang keras kepala yang tidak tahu aturan dan menantang bahaya. Tapi keterbatasan merekalah yang membuat mereka tidak mempunyai banyak pilihan. Mereka memilih menetap disana, karena mereka merasa punya hak milik. Mereka merasa telah membeli tanah itu dengan sah, dan mengaku telah mengurus sertifikat tanah mereka, namun belum juga keluar sampai saat ini. Kesederhanaan berfikir dan rendahnya tingkat pendidikan, membuat mereka dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mencari keuntungan. Seperti yang kita tahu, bahwa sertifikat kepemilikan tanah tersebut tidak mungkin akan keluar, mengingat status tanah yang mereka tempati adalah tanah milik negara yang sebenarnya difungsikan untuk RTH, bukan untuk permukiman.
5. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil wawancara ini adalah bahwa warga Gondolayu Lor sebagai bagian dari masyarakat Code, memandang banjir tidak semata-mata sebagai musibah, tapi juga sebagai berkah. Mereka menganggap banjir telah menjadi bagian hidup mereka, yang harus dihadapi dengan bijaksana dan cerdas sebagai konsekwensi. Banjir disambut warga Gondolayu Lor dengan kesiap siagaan. Mereka telah menyiapkan upaya-upaya sebelum, pada saat, dan setelah banjir. Diluar itu, mereka juga telah memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi. Mereka tahu, bahwa masalah utama Sungai Code adalah pencemaran limbah rumah tangga. Maka, untuk berdamai dengan Sungai Code mereka membangun IPAL komunal, agar limbah septicktank yang mereka buang tidak lagi mencemari Sungai Code.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar