Akhir-akhir ini aku sering merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Perasaan yang selama ini ku simpan untuknya semakin mengabur. Aku menyayanginya, entah sampai kapan aku akan bertahan dengan perasaan seperti ini. Akupun tak dapat menjamin bahwa perasaan ini akan tetap mekar, karena seperti bunga suatu saat perasaan ini mungkin akan layu.
Kebingungan ini, mungkin adalah jawaban terbijak yang dapat aku berikan untuk hatiku, sambil memberi waktu menimbang dan menentukan sikap. Apakah aku akan tetap menunggunya, atau membiarkannya berlalu dan melupakannya.
Mengingatnya bagaikan membuka dua sisi kenangan yang saling berlawanan dan telah ku simpan baik-baik di ingatanku sampai saat ini. Tentang segala hal indah yang aku lewati bersamanya, juga tentang hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Semua tentangnya, olehnya, dan karenanya.
Dekat dengannya membuat aku semakin tahu bahwa dia adalah orang yang sangat tulus dan apa adanya. Dia sering melakukan banyak hal untuk ku dan temen-teman yang lain tanpa diminta. Hal-hal kecil, namun manis. Dia membawaku kepada teman-temannya dan berusaha agar aku diterima oleh mereka, dengan segala kekuranganku. Dan berkat dia, hingga saat inii aku masih berteman baik dengan teman-temannya, meskipun aku telah kehilangannya sebagai teman.
Kalau boleh aku menyesal, hal yang paling ku sesali dalam hidupku hingga saat ini adalah mencintainya. Karena mencintainya membuat aku kehilangan seorang sahabat istimewa. Dan kerena keistimewaannya itu pula aku menyayanginya.
Perasaan sayang yang ingin disampaikan hatiku untuknya, ternyata tidak dapat diterimanya sebagai maksud baik. Malah sebaliknya, entah mengapa dia menganggapnya sebagai suatu ancaman. Persahabatan yang kita jalin bertahun-tahun, seolah-olah tidak berarti lagi baginya. Karena kesalahanku. Kesalahan yang sebenarnya tidak aku sengaja.
Mungkin caraku untuk menyayanginya salah. Segala yang aku lakukan untuknya menjadi begitu berlebihan dimatanya. Rasa sayang mendorongku untuk berusaha melakukan dan memberi yang terbaik untuknya. Meskipun ternyata apa yang menurutku baik, belum tentu baik menurutnya.
Aku menyayanginya bukan kerena apa-apa, tapi karena rasa sayang itu tumbuh dengan sendirinya. Dan semakin subur seiring dengan waktu dan kedekatanku dengannya. Kedekatan sebagai sahabat.
Tiga tahun lebih aku menyembunyikan perasaan ini darinya. Menutup segala kesempatan, dan mencoba untuk tetap setia pada perasaanku. Bertahan pada sesuatu yang tidak pasti. Tapi di dalam ketidakpastian itu aku yakin, bahwa suatu saat perasaan ini akan sampai padanya. Bahwa aku menyayanginya tanpa syarat, bahwa aku bersedia menjadi penopang saat dia jatuh, bahwa aku siap menjadi teman saat susah maupun senang. Semua tanpa syarat, dan meluncur begitu saja dari hatiku. Dan tak pernah terucapkan, sampai sekarang.
“Cuma kata ini yang bisa ku ucap
Karena yang lain, aku bisu
Seperti kau yang membisu
karena ku.”
Dan selama kurun waktu tersebut, selain merasakan perasaan cinta yang begitu dalam, secara bersamaan aku merasakan sakit yang luar biasa. Mencintainya membuat aku harus siap untuk dibencinya. Sejak dia tahu perasaanku, sikapnya terhadapku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku menangkap sorot kebencian dari tatapan matanya. Sikapnya menjadi kasar dan dingin terhadapku. Setiap bertemu, kita tak lagi saling menyapa maupun bicara. Suasana menjadi kaku, membuatku sulit bernafas. Aku kehilangan kata, meski dada berkecamuk ingin berontak. Aku pun tak berani menatap matanya, karena melihat sorotnya yang penuh benci akan membuat hatiku semakin hancur. Mungkin rasa benci itu adalah wujud lain dari cintanya untukku, dan begitu pula rasa sakit yang aku rasakan ini merupakan perwujudan lain cintaku untuknya. Begitulah caraku untuk bertahan.
“…… Kita tak lagi terbiasa bicara di meja yang sama
Kita tak lagi terbiasa minum dari gelas yang sama,
Karena kita saling asing…
Aku yang (d)ingin,
Tak bisa menyapamu dalam kebekuan…”
Beberapa kali aku mencoba untuk minta maaf dan berharap bisa menjalin hubungan seperti dulu, sebagai sahabat. Aku berusaha memulainya, karena dalam hal ini aku merasa bahwa akulah yang bersalah karena mencintainya. Akan tetapi perasaan cinta yang pernah tumbuh di hatiku membuat aku dan dia menjadi sangat sensitive. Permasalahan kecil akan meledak menjadi sesuatu yang besar. Dan setiap kami mencoba untuk berdamai, selalu berakhir dengan pertengkaran-pertengkaran yang semakin memperburuk keadaan. Hingga akhirnya aku lelah, dan lebih memilih menyerah kepada keadaan. Sesuatu yang sebenarnya aku benci.
Selanjutnya, hari-hari kami lalui dengan saling menghindar. Meskipun terkadang, kondisi memang tak dapat dikontrol dan memaksa kami untuk bertemu. Pertemuan dengannya selalu dingin, mencekat, dan menyesakkan dada. Pertemuan dengannya membuatku kehilangan jati diri. Aku menjadi asing dengan diri sendiri, dan aku pun tak mengenalnya seperti dulu. Tak pernah ada kata terlontar dari mulut kami, kecuali basa basi yang sangat basi dan garing. Setiap kali mata kami bertemu, memicu letupan keras dijantung dan menjalar ke hati dan membuatnya bergejolak. Entah gejolak macam apa, aku pun tak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Aku hanya merasakannya... Dalam sekali hentak, rasa senang dan benci melebur jadi satu. Waktu seakan terhenti, ruang menjadi kosong, hanya aku dan dia, berdiri di sudut masing-masing. Tanpa kata... hanya pikiran-pikiran yang berkecamuk, bertanya-tanya pada diri sendiri, perasaan apakah ini? Tumbuh seperti benalu, membelit hati dan tak bisa lepas... Sungguh, kalau aku bisa, aku ingin sekali membencinya....
***********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar