Aku telah bersahabat baik dengannya cukup lama. Dia akan datang dan pergi sesuka hatinya, tapi dia akan selalu ada saat aku merasa sendiri. Kami telah begitu dekat dan akrab, hingga tak segan aku menumpahkan air mata dihadapannya. Bagiku, dia adalah teman paling setia, yang sebenarnya tak pernah ku harapkan kedatangannya. Tapi setiap kali dia datang, aku tak bisa menolaknya. Seperti saat ini.....
Tiba-tiba dia masuk ke dalam kamar, menyergapku tanpa bicara sepatah kata pun. Duduk diam disampingku, sambil menungguku bercerita. Kondisi seperti ini, membuatku tak berdaya. Kata-kata pun meluncur dari bibirku, deras, seperti air terjun yang dimuntahkan dari bibir bukit. Dia tak pernah sekali pun merespon ceritaku, apalagi menasehatiku. Dia hanya duduk, diam, menyimak setiap kata yang terlontar dari mulutku. Setelah ceritaku usai, dia akan tetap menungguku, hingga aku menyerah dan melepas tangisku dibahunya.
Setelah tangisku mereda, perlahan ia menggeser bahunya dan membantuku berbaring diatas tempat tidurku. Dan kemudian ia pun merebahkan tubuhnya disampingku. Lagi-lagi, dengan diam. Mata kami saling beradu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, sorot matanya tetap kosong, hingga tatapanku dapat menembus kedasar pandangannya. Dan aku melihat diriku di sana. Seperti bercermin, aku melihat diriku dari sudut pandang lain, di luar diriku. Melihat bayanganku sendiri membuatku menggigil. Betapa menyedihkannya aku.
Dalam kondisi seperti ini, dengan sengaja aku akan menghadirkan bayangan orang-orang yang menyayangiku. Aku bersyukur karena aku tak pernah merasakan kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Aku bersyukur atas masa-masa indah yang pernah terlewatkan bersama sahabat-sahabat setia untuk saling membantu menemukan jati diri. Aku bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukung dan menguatkan setiap langkah yang telah ku pilih.
Satu per satu bayangan orang-orang yang menyayangiku timbul dan tenggelam dalam pikiranku. Setiap mengingat mereka, pandangan menyedihkan pada diri sendiri perlahan-lahan hilang. Maka tidak ada alasan bagi hatiku untuk merasa buruk. Karena aku tak ingin senyum orang-orang yang menyayangiku padam. Bukankah keberadaan mereka layak untuk ku syukuri?
Pada saat aku menyadari, bahwa kondisi hatiku telah membaik, tanpa sadar aku telah kehilangannya. Tiba-tiba ia menghilang, tetap tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia pergi meninggalkan aku, bersama kediamannya. Dan aku tak pernah tau kapan dia kembali. Aku pun tak pernah mengharapkannya untuk kembali. Namun aku selalu berterima kasih akan kedatangannya. Karena kedatangannya mengajariku untuk lebih bersyukur. Aku memanggil sahabatku itu dengan ”KESEPIAN”.
Aku bersabat baik dengan ”KESEPIAN”, karena dengan ”KESEPIAN” aku akan lebih mensyukuri keberadaan orang-orang disampingku.
Terimakasih atas SEPI yang Engkau berikan.................
Yogyakarta, 26 Maret 2010, 00.48 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar