Rabu, 27 April 2011

HUBUNGAN SALING MEMPENGARUHI (INTERRELATIONSHIP) ANTARA EKOSISTEM HUTAN TROPIS DENGAN PERUBAHAN IKLIM

Oleh:Laily Agustina Rahmawati
Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana UGM

Abstrak
Deforestasi memberikan tekanan terhadap kelangsungan hutan tropis, padahal hutan hujan tropis memiliki simpanan karbon yang besar. Ketika hutan tropis mengalami defotrestasi, karbon terlepas ke atmosfer dan memicu terjadinya perubahan iklim. Tujuan penulisan ini untuk mempelajari keterkaitan antara deforestasi dan kenaikan CO2, menggunakan pemodelan dinamika vegetasi global dengan multipel sekenario deforestasi dan perubahan iklim, mempejalari pengaruh perubahan iklim terhadap ekositem hutan tropis, dan mempelajari sequestrasi karbon di hutan tropis dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan sequastrasi karbon. Hasil menunjukkan bahwa besarnya deforestasi anthropogenik menentukan besarnya karbon yang dilepaskan oleh ekosistem hutan tropis, semakin besar tingkat deforestasi semakin banyak karbon yang dilepas. Pemodelan CSIRO (pessimistic case) menunjukkan bahwa pada tingkat deforestasi rendah 235.5 Gt dan pada deforestasi tinggi 367.1 Gt karbon lepas ke atmosfer. Hutan tropis rentan terhadap perubahan iklim terutama pada kejadian fenologi, interaksi koevolusioner, diversitas spesies, dan terhadap kondisi hidrologi. Respon yang ditunjukkan ekosistem hutan tropis terhadap perubahan iklim dapat terjadi pada tingkat individu, populasi, komunitas dan ekosistem. Hutan tropis memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon (carbon sink), terutama ketika pohon mengalami pertumbuhan, sehingga hutan tropis menjadi wilayah yang diprioritaskan untuk mitigasi climate change, misalnya dengan program hutan lindung (Parks), produk hutan non-kayu, sustainable forestry, dan carbon trade untuk hutan tropis.

Kata Kunci: hutan tropis,  deforestasi, perubahan iklim, sequestrasi karbon.

Pendahuluan
Tingkat deforestasi hutan tropis yang semakin meningkat dari tahun ke tahun berpengaruh pada perubahan iklim (Cramer et al 2004; Rudel 2001; Bazzas 1998). Hutan tropis memiliki kemampuan sequestrasi karbon dalam jumlah besar (Rudel 2001), yakni 2,5 pG/tahun (Bazzaz 1998). Ketika deforestasi terjadi, maka karbon yang tersimpan dalam biomasa pohon akan terlepas ke atmosfer (Cramer et al 2004; Rudel 2001; Bazzas 1998). Deforestasi menyumbang 23% dari total gas rumah kaca di atmosfer (Rudel 2001). Diprediksi antara tahun 1980-2100 karbon yang akan dilepas berkisar antara 122-330 GtC (Bazzas, 1998). Meningkatnya kandungan karbon di atmosfer akan meningkatkan suhu secara global, dan menyebabkan jumlah dan pola distribusi hujan berubah (hidrologi), baik skala regional maupun global (Bazzaz 1998; Cramer et al 2004).
Hutan tropis sangat rentan terhadap perubahan iklim dan menyebabkan struktur dan fungsi hutan berubah. Iklim yang berubah akan berpengaruh pada fenologi tumbuhan tropis, misalnya terhadap waktu berbunga atau berbuah. Selain itu, proses penyerbukan tumbuhan tropis ditentukan oleh interaksi koevolusioner antara tumbuhan dengan hewan-hewan tertentu. Keberadaan spesies-spesies tersebut sangat tergantung pada keutuhan ekosistem hutan tropis. Keanekaragaman spesies yang tinggi menyebabkan niche di hutan tropis sempit. Sehingga jika deforestasi terjadi, maka spesies akan kehilangan nichenya, spesies akan tereliminasi dan biodiversitas akan menurun (Bazzas, 1998). Oleh karena itu, topik ini menarik untuk ditulis.
Termpaper ini ditulis dengan tujuan untuk mempelajari keterkaitan antara deforestasi dan kenaikan CO2, menggunakan pemodelan dinamika vegetasi global dengan multipel sekenario deforestasi dan perubahan iklim (Cramer et al 2004). Selain itu juga mempejalari pengaruh perubahan iklim terhadap ekositem hutan tropis (Cramer et al 2004; Bazzas 1998). Dan mempelajari sequestrasi karbon di hutan tropis dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan sequastrasi karbon (Rudel 2001).
Termpaper ini akan membahas bahwa deforestasi menyebabkan konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat (Cramer et al 2004; Rudel 2001; Bazzas 1998), dan menyebabkan perubahan suhu serta curah hujan (Cramer et al 2004; Bazzas 1998). Berdasarkan hasil pemodelan dinamika vegetasi global dengan multipel sekenario deforestasi dan perubahan iklim, diketahui bahwa tingkat deforestasi menentukan jumlah karbon yang dilepaskan (Cramer et al 2004). Selain itu dalam termpaper ini juga membahas kerentanan dan respon hutan tropis terhadap perubahan iklim (Cramer et al 2004), baik pada tingkat individu, populasi, komunitas, maupun ekosistem (Bazzaz 1998). Perubahan iklim akan mempengaruhi kejadian fenologi; interaksi koevolusi, saperti penyerbukan dan persebaran biji; penurunan biodiversitas; dan terganggunya siklus hidrologi baik regional maupun global (Bazzaz 1998). Selanjutnya, akan dibahas bahwa tingginya kandungan karbon di atmosfer dapat di atasi dengan sequestrasi yang dilakukan oleh hutan tropis, juga tentang upaya-upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan sequastrasi karbon di hutan tropis, misalnya dengan hutan lindung, produksi hutan nonkayu, sustainable forestry, hingga perdagangan karbon (Rudel 2001).

Pembahasan
Meningkatnya jumlah penduduk dan deforestasi memberikan tekanan terhadap kelangsungan hutan tropis (Bazzas 1998; Cremer et al 2004; Rudel 2001). Padahal hutan hujan tropis memiliki simpanan karbon yang besar (Bazzas 1998 dan Rudel 2001), sehingga ketika hutan tropis mengalami defotrestasi menyebabkan karbon terlepas ke atmosfer dan memicu terjadinya perubahan iklim (Bazzas 1998; Cremer et al 2004; Rudel 2001).
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengestimasi deforestasi hutan tropis seluas 650 juta Ha mengakibatkan 140 Gtc terlepas ke atmosfer antara tahun 1985 – 2100 (Bazzaz 1998). Menurut Houghton, et al. (1990) dalam Bazzaz (1998), antara tahun 1980 – 2100 karbon yang akan terlepas sejumlah 122 – 330 GtC.
Berdasarkan pemodelan dinamika vegetasi global dengan multipel sekenario deforestasi dan perubahan iklim yang dilakukan oleh Cramer, 2004, besarnya deforestasi anthropogenik menentukan besarnya karbon yang dilepaskan oleh ekosistem hutan tropis. Output berbagai pemodelan perubahan iklim menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi deforestasi hutan tropis, maka kehilangan karbon semakin besar. Hasil pemodelan CGCMI menunjukkan bahwa hutan tropis dengan tingkat deforestasi rendah kehilangan karbon sebasar 166.6 GtC, sedang pada tingkat deforestasi tinggi sebesar 261 GtC. Begitu pula hasil pemodelan CSIRO (pessimistic case)(deforestasi rendah 235.5 GtC hilang, deforestasi tinggi 367.1 GtC hilang), ECHAM4 (deforestasi rendah 128.5 GtC hilang, deforestasi tinggi 194.3 GtC hilang), HadCM3 (optimistic case) (deforestasi rendah 101.3 GtC hilang, deforestasi tinggi 148.1 GtC hilang) (Cramer et al 2004).
Selain itu, cepatnya kerusakan hutan tropis saat ini tidak hanya terjadi akibat deforestasi, tapi juga oleh perubahan iklim yang disebabkan terlepasnya karbon secara terus menerus oleh aktivitas manusia (Cramer et al 2004). Kandungan CO2 dua kali lipat di atmosfer dapat meningkatkan suhu di daerah tropis sebesar 1.76 °C (Bazzaz 1998). Respon ekosistem hutan tropis terhadap perubahan iklim global berpusat disekitar dampak kenaikan suhu dan perubahan presipitasi (pengaruh tak langsung) (Bazzas 1998; Cramer et al 2004) yang memiliki implikasi besar terhadap zona hutan tropis dan keseimbangan karbon global (Cramer et al 2004). Sedangkan kenaikan konsentrasi CO2 akan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman, reproduksi dan interaksi dalam ekosistem (Bazzaz 1998).
Hutan tropis rentan terhadap perubahan iklim, terutama pada: 1). Kejadian fenologi, seperti musim berbunga atau berbuah, sangat ditentukan oleh kondisi iklim. 2). Dalam ekosistem hutan hujan tropis, terdapat interaksi koevolusioner yang kuat, seperti penyerbukan dan persebaran biji yang bersifat spesifik. Sehingga perubahan iklim global akan merusak interaksi koevolusioner tersebut. 3). Ekosistem hutan hujan tropis memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang tinggi per unit area, sehingga niche masing-masing spesies cenderung sempit. Perubahan iklim global akan mengeliminasi spesies dan mengurangi biodiversitas. 4). Deforestasi dan bentuk kerusakan hutan tropis yang lain berpengaruh terhadap kondisi hidrologi baik secara regional maupun secara global (Bazzas 1998).
Respon hutan hujan tropis terhadap perubahan iklim dapat terjadi pada tingkat individu, populasi dan komunitas, serta ekosistem. Respon pada tingkat individu, kerena CO2 merupakan bahan utama untuk fotosintesis, kenaikan konsentrasi CO2 akan meningkatkan laju fotosintesis dan menurunkan respirasi daun. Daun yang terekspose secara luas terhadap kenaikan konsentrasi CO2 lambat laun akan menjadi tanaman yang tahan terhadap kenaikan CO2, karena mengalami aklimatisasi dengan melakukan down-regulation.  Kenaikan konsentrasi CO2 disekitar daun, menurunkan konduktansi stomata dan menurunkan transpirasi sehingga meningkatkan suhu daun secara signifikan. Paparan karbon yang tinggi pada daun berpengaruh terhadap struktur dan fungsi daun, lama hidup daun, ketebalan dan berat daun, meningkatkan kerangka karbohidrat, menurunkan konsentrasi nitrogen, dan meningkatkan carbon-based chemical defenses. Perubahan-perubahan tersebut penting untuk herbivora, dekomposer dan epiphyte yang menggantungkan makanan pada tumbuhan (Bazzas 1998).
Respon hutan tropis terhadap perubahan iklim di tingkat populasi dan komunitas, baru sedikit diteliti. Di dalam populasi, masing-masing individu memiliki variasi genetik dalam merespon CO2. Interaksi kompetitif yang intensif dibawah kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer, menyebabkan perubahan struktur komunitas dan mengurangi diversitas tumbuhan. Berubahan besar pada struktur komunitas dapat memberikan umpan balik negatif terhadap siklus karbon. Selain itu kenaikan CO2 juga dapat mengubah fenologi tumbuhan. Di hutan tropis, pergantian kecil dalam fenologi mungkin akan mengganggu hubungan antara hewan yang membantu penyerbukan dan penyebaran biji dengan tumbuhan inangnya (host plant) dan mungkin berdampak pada kepunahan lokal khususnya tumbuhan karena tidak memiliki seed bank. Perubahan kualitas jaringan tumbuhan berpengaruh pada aktifitas, ukuran populasi, dan selektifitas herbivora. Insekta herbivora memakan tumbuhan lebih banyak dilingkungan yang CO2 nya tinggi karena kandungan nitrogen di jaringan rendah, namun pertumbuhannya berjalan lambat (Bazzas 1998).
Hutan hujan tropis juga merespon perubahan iklim pada tingkat ekosistem. Sebagian besar nutrient (termasuk karbon) di hutan tropis tersimpan di dalam biomassa. Perubahan pada kimia jaringan sangat penting pada ekosistem ini. Interkoneksi yang kuat antara komponen dan proses ekosistem, serta dampak dan responnya terhadap atmosfer membangkitkan multiple pathway dan feedback yang berlawanan. Peningkatan laju fotosintesis oleh kenaikan CO2 tidak langsung diterjemahkan sebagai peningkatan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan dapat lebih rendah dari pada laju fotosintesis. Ini berarti terjadi banyak  kehilangan karbon oleh tumbuhan, baik untuk mensuport simbion atau terlepas sebagai eksudat akar ke dalam tanah.  Di ekosistem hutan tropis, kenaikan konsentrasi CO2 meningkatkan simpanan karbon tanah yang disebabkan oleh meningkatnya populasi mikrobia tanah. Populasi mikroba yang meningkat drastis menyebabkan laju mineralisasi bahan organik tanah lebih cepat dan imobilisasi nutrien meningkat. Selanjutnya diketahui bahwa beberapa mikroba tanah merupakan kompetitor bagi tumbuhan dalam mendapatkan nutrisi (Bazzas 1998).
Berbagai upaya telah dilakukan manusia untuk mengurangi emisi CO2. Pada mulanya manusia hanya mengandalkan laut, tanah, dan biota untuk menyerap (sequestrasi) CO2, namun upaya tersebut tidak mampu menurunkan emisi CO2 secara signifikan, hingga akhirnya manusia menyadari bahwa sequestrasi oleh pohon berkayu mampu mereduksi emisi CO2 dengan cepat. Oleh karena itu  program sequestrasi CO2 difokuskan pada hutan-hutan di daerah tropis (Rudel 2001). Hutan tropis memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon (carbon sink) dalam kurun waktu beberapa tahun dalam biomassanya, terutama ketika pohon mengalami pertumbuhan. Untuk alasan itulah, penanaman kembali hutan tropis dianggap lebih potensial dibandingkan penanaman hutan tamprate. Emisi dari deforestasi dan absorbsi dari reforestasi dalam jumlah besar di hutan tropis, membuat hutan tropis menjadi wilayah yang diprioritaskan untuk mitigasi climate change (Rudel 2001).
Perjuangan untuk mengurangi deforestasi dan meningkatkan reforestasi selama beberapa periode dilakukan dalam bentuk eksperimen kebijakan yang sangat menjanjikan, akan tetapi lemah dalam implementasinya. Kebijakan-kebijakan yang pernah dilakukan tersebut antara lain: a). Hutan Lindung (Parks); b). Produk Hutan Non-kayu; c). Sustainable Forestry; dan d). Perdagangan Karbon (Carbon Trade) untuk Hutan Tropis (Rudel 2001).
Tahun 1970, banyak negara tropis (termasuk Brazil) mulai menaruh perhatian besar terhadap pengendalian deforestasi dengan menggunakan sistem Parks (a). Antara tahun 1965-1990 jumlah daerah konservasi (protect area) di Amerika Latin meningkat dari 170 menjadi 1050, dan luasnya pun meninngkat dari 170.000 Km² menjadi 1.100.000 Km². Namun dari luas total kawasan yang dilindungi tersebut, hanya 3 %  yang merupakan kawasan hutan hujan tropis. Program ini terkendala di negara-negara miskin, karena membutuhkan biaya yang tinggi (high cost) dalam pelaksanaannya (Rudel 2001).
Produk hutan non-kayu (b), pada mulanya dianggap program yang tepat untuk mengurangi kesan high cost untuk melindungi hutan. Pada program ini, masyarakat disekitar hutan dapat memperoleh keuntungan ekonomi dengan mengumpulkan dan menjual produk hutan non kayu (rotan, kacang, karet, dll). Program ini akan merangsang masyarakat untuk turut menjaga kelestarian hutan, karena dari hutan tersebut lah mereka mendapatkan income. Namun kenyataannya, pemasukan dari produk hutan non-kayu tidak begitu signifikan. Masyarakat harus tetap mendapatkan pemasukan dari aktifitas lain, seperti pertanian, yang tidak sutainable. Banyak hutan dikonversi menjadi lahan pertanian dan padang rumput (Rudel 2001).
Sustainable forestry (c), diterapkan di Brazilian Amazon untuk mengendalikan tingginya logging. Hutan yang telah mengalami log-over lebih rentan terhadap kebakaran, yang berdampak langsung terhadap kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer. Sekali hutan terbakar, maka akan sulit kembali lagi menjadi hutan. Di Asia Tenggara, jalur hutan yang telah di log-over dibakar oleh para petani untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Dalam penerapannya, proyek ini pun menemui hambatan karena tidak dapat bersaing secara ekonomi dengan ekploitasi penebangan konvensional yang dilakukan dekat dengan hutan primer. Konsumen asing yang membayar bayaran untuk kayu yang dipanen secara berkelanjutan berjanji untuk membuat hutan tetap sustainable. Proyek ini berjalan baik di daerah yang tidak memiliki hutan primer yang dapat dieksploitasi dalam jumlah besar (Rudel 2001).
Perdagangan karbon untuk tropical forest (d), merupakan hasil dari Protocol Kyoto tahun 1998. Melalui program ini, negara-negara maju menerima kredit untuk mengurangi emisi dengan mendanai hutan yang mampu mensequestrasi karbon di negara-negara berkembang. Misalnya perusahaan Amerika mendapat kredit untuk mengurangi emisi karbon dengan memelihara hutan di Afrika Barat atau menanam Eucalyptus yang tumbuh cepat di Filipina. Penanaman 465 juta hektar hutan di suatu area, akan mensequestrasi cukup banyak karbon untuk mencegah meningkatnya akumulasi karbon di atmosfer untuk 30-50 tahun mendatang. Hutan tropis memiliki nilai sequestrasi 2-30 kali lebih besar dari pada lahan pertanian. Namun tingkat kesuksesan penanaman hutan tropis sangat rendah. Karena pada tipe hutan ini, produksi kayu yang dihasilkan hanya 20-30 %. Sebagian besar kayu harus dipertahankan untuk menyimpan biomassa (Rudel 2001).

Kesimpulan
Deforestasi anthropogenik menentukan besarnya karbon yang dilepaskan oleh ekosistem hutan tropis. Semakin tinggi deforestasi hutan tropis, maka kehilangan karbon semakin besar. Hasil pemodelan CSIRO (pessimistic case) menunjkkan deforestasi rendah menyebabkan 235.5 GtC lepas ke atmosfer, sedang deforestasi tinggi menyebabkan 367.1 GtC lepas ke atmosfer. Hutan tropis rentan terhadap perubahan iklim terutama pada kejadian fenologi, interaksi koevolusioner, diversitas spesies, dan terhadap kondisi hidrologi. Respon yang ditunjukkan ekosistem hutan tropis terhadap perubahan iklim dapat terjadi pada tingkat individu, populasi, komunitas dan ekosistem. Pada tingkat individu mempengaruhi struktur dan fungsi daun, lama hidup daun, ketebalan daun, kerangka karbohidrat, menurunkan konsentrasi nitrogen, dan meningkatkan carbon-based chemical defenses. Pada tingkat populasi dan komunitas, mempengaruhi kejadian fenologi dan mengganggu hubungan koevolusioner antara hewan polinator dan disperser dengan host plant, sehingga berdampak pada kepunahan lokal. Pada tingkat ekosistem, membangkitkan multiple pathway dan feedback yang berlawanan antar komponen dan proses dalam ekosistem. Hutan tropis memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon (carbon sink) dalam biomassanya, terutama ketika pohon mengalami pertumbuhan, sehingga hutan tropis menjadi wilayah yang diprioritaskan untuk mitigasi climate change, misalnya dengan program hutan lindung (Parks), produk hutan non-kayu, sustainable forestry, dan carbon trade untuk hutan tropis.

Refferensi

Bazzaz FA. 1998. Tropical Forest in A Future Climate: Changes in Biological Diversity and Impact on Global Carbon Cycle. Climate Change 39: 317-336.
Cramer W, A Bondeau, S Schaphoff, W Lucht, B Smith, S Sitch. 2004. Tropical Forest an The Global Carbon Cycle: Impacts of Atmospheric Carbon Dioxide, Climate Change and Rate Deforestation. Tropical Forest and Global Carbon Cycle 359: 331-343.
Rudel TK. 2001. Sequatering Carbon in Tropical Forest : Experiment, Police Implication, and Climatic Change. Society and Natural Resource 14: 525-531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar