Oleh: Laily Agustina Rahmawati
Program Study Ilmu Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana UGM
1. Pendahuluan
Kota Yogyakarta adalah kota yang hidup, terus berkembang, dan semarak sejak lahirnya sampai saat ini. Ditinjau dari segi kewilayahan, kota Yogyakarta mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Begitu pula dari segi penduduk. Penduduk kota Yogyakarta mengalami pertambahan jumlah dari masa ke masa. Pertambahan jumlah penduduk membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti: pertambahan sarana-prasarana, perumahan-perumahan penduduk, dan pertambahan limbah (Adrisijanti, 2007).
Kota Yogyakarta dilewati oleh tiga sungai utama, yakni Sungai Code, Sungai Winanga, dan Sungai Gajahwong. Namun, dari ketiga sungai tersebut, yang mengalami pencemaran paling parah adalah Sungai Code. Pencemaran Sungai Code terutama berasal dari limbah rumah tangga, karena disekitar sungai tersebut paling padat penduduknya (Eko, 2008).
Peningkatan jumlah penduduk di kota Yogyakarta, menyebabkan kebutuhan akan ruang di kota meningkat. Keterbatasan ruang di kota, menyebabkan penduduk memanfaatkan lahan-lahan illegal, seperti Ruang Terbuak Hijau (RTH) di sepanjang sempadan Sungai Code (Gunawan, 2007).
Keberadaan permukiman padat penduduk tersebut mempunyai pengaruh besar bagi pengembangan Sungai Code, khususnya bagi kesehatan lingkungan sekitarnya. Sebagian warga yang tinggal masih membuang limbah cair tanpa proses pengolahan ke sungai, sehingga potensial mencemari lingkungan (Astuty, 2008). Selain terjadi di sungai, pencemaran juga terjadi pada sumur-sumur penduduk. Ini ditandai dengan tingginya jumlah bakteri coliform yang terkandung di dalam air sumur penduduk, sebagai imbas dari system sanitasi yang buruk.
Undang-undang telah menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak satiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. Seperti yang tercantum dalam UU No. 32 tahun 2009, pasal 65 ayat 1 : “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.
Oleh karena itu perlu adanya system pengelolaan lingkungan di sepanjang sempadan Sungai Code, yang baik dan bijaksana sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Dan pada akhirnya, setiap orang, tanpa memandang kelas sosial, dapat memiliki lingkungan yang baik, bersih dan sehat.
2. Pembahasan
2.1. Pemukiman di Bantaran Sungai Code dan Permasalahannya
Urbanisasi mempercepat pertambahan penduduk di kota Yogyakarta. Semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan sumber daya lahan untuk permukiman meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan ini, lokasi yang dianggap strategis adalah daerah pinggir sungai. Karena selain dapat memanfaatkan lahan, penduduk juga dapat memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, bantaran Sungai Code menjadi pilihan utama penduduk yang datang dari desa dengan uang pas-pasan, untuk mendirikan permukiman ilegal.
Sungai Code terletak di volcanik foot midle. Secara fisik bentang alam Code merupakan bantaran sungai yang berasal dari Gunung Merapi. Dengan kemiringan mulai datar – landai. Dengan jenis tanah regosol dengan tekstur tanah berpasir. Bahan material berasal dari sediment gunung merapi yang terbawa oleh arus sungai.
Gambar 1. Pemukiman kumuh di bantaran sungai Code
Penduduk kelas ekonomi bawah dan kurang berpendidikan banyak yang mendirikan gubug-gubug liar dan kumuh di tanah kosong di daerah bantaran Sungai Code yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah. Mereka umumnya tidak mengetahui bahwa Peraturan Daerah menetapkan daerah bantaran sungai itu sebagai lahan yang berstatus kawasan lindung sempadan sungai dan direncanakan sebagai jalur hijau kota (Wardhanie, 2002).
Kepadatan rumah hunian dan ketidakteraturan pembangunan perumahan menjadi ciri utama akibat arus urbanisasi yang tidak terkendali. Ciri kependudukan yang bersifat perdesaan tampak sekali dari perilaku dan kebiasaan membuang sampah, serta pemanfaatan lahan illegal, mengingat sukarnya mencari pekerjaan yang sesuai dan terbatasnya ruang untuk tempat tinggal di kota (Gunawan, 2007). Menjamurnya permukiman kumuh di pinggir sungai Code ini menimbulkan masalah sosial dan tata kota menjadi terganggu (Fernandez, 2008).
Setelah mengalami bencana banjir besar pada tahun 1984, Pemerintah Daerah menyetujui untuk dilaksanakan program rasionalisasi Sungai Code. Program utamanya meliputi pembangunan secara fisik yaitu proyek pembuatan talud dan yang nonfisik yaitu program TRIBINA, yang terdiri dari Bina Manusia, Bina Ekonomi dan Bina Lingkungan (Wardhanie, 2002). Secara tidak langsung, program itu dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu bentuk legalisasi terhadap keberadaan permukiman di daerah bantaran Sungai Code, sehingga mereka yang telah tinggal lama di permukimam tersebut enggan untuk relokasi ke kawasan di luar daerah jalur hijau kota.
Menurut Wardahanie, 2002, perkembangan permukiman di daerah bantaran Sungai Code itu selanjutnya cenderung menyimpang dari kebijakan rencana jalur hijau kota, dan berkembang menjadi permukiman kumuh (slump areas) (Gunawan,2007). Permukiman kumuh di sekitar Sungai Code memicu timbulnya masalah-masalah baru terutama dalam hal kesehatan dan sanitasi lingkungan, seperti penumpukan sampah, meningkatnya pencemaran airtanah terutama oleh unsur Nitrogen (NO2, NO3, NH3) dan bakteri Colliform. Selain itu juga berdampak pada timbulnya konflik sosial akibat pemanfaatan ruang, antara pemerintah daerah dengan penduduk setempat. Daya dukung lahan dan kualitas lingkungan pun semakin menurun. Ruang terbuka hijau (RTH) semakin habis. Dan saat ini RTH yang tersisa hanya sekitar 5 % (Shaleh, 2009).
Habisnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya pasokan udara bersih bagi masyarakat Yogyakarta (Shaleh, 2009). Daerah RTH yang seharusnya ditanami pepohonan, digunakan untuk mendirikan permukiman. Keberadaan RTH dinilai penting, mengingat tingkat polusi udara di Yogyakarta yang semakin meningkat, seiring meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Keberadaan pepohonan diruang terbuka hijau diharapkan dapat menyerap emisi karbon, mengakumulasi partikel melayang (PM) dan timbal (Pb), serta menyuplai oksigen bagi masyarakat sekitar.
Ahli air dan sanitasi Environtmental Service Program (ESP), Ono Hartono dalam Harian Jogja, 27 Desember 2008, mengungkapkan bahwa hingga saat ini sanitasi yang berada di kota Jogja masih kurang. Hal ini terlihat dari jumlah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk kota. Jika sanitasi di kota saja belum mamanuhi standart, maka bisa dibayangkan seberapa buruknya kondisi sanitasi di daerah sekitar Sungai Code yang kumuh, dengan tingkat pengetahuan dan ekonomi penduduk yang rendah.
Sebagian penduduk masih memanfaatkan air sungai Code untuk keperluan sehari-hari, yakni untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Selain itu sebagian warga juga menfaatkan Sungai Code untuk kepentingan ekonomi, seperti untuk keramba ikan dan beternak ayam dan itik. Aktivitas-aktivitas tersebut turut menyumbang bahan pencemar di Sungai Code. Sebagian dari mereka menggunakan air yang telah tercemar tersebut untuk mandi dan mencuci. Dari sisi kesehatan, hal ini dinilai kurang baik.
Gambar 2. Aktifitas penduduk di Sungai Code
Penduduk yang lebih maju, telah memiliki WC dan sumur sendiri. Namun karena keterbatasan pengetahuan penduduk, WC dan sumur yang mereka buat tidak memenuhi standart kesehatan. Karena kondisi permukiman yang padat, dan letak rumah yang berdempetan satu sama lain, seringkali WC dan sumur penduduk berada pada jarak kurang dari 10 meter. Ini berarti kemungkinan sumur tercemar bakteri E. Coli juga sangat besar.
2.2. Akar Permasalahan Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Code
Permasalahan-permasalahan yang timbul di sekitar permukiman kumuh di bantaran Sungai Code, jika dirunut ke akarnya disebabkan karena dua hal, yaitu: 1). Kemiskinan, 2). Rendahnya tingkat pengetahuan / pendidikan penduduk. Dua hal tersebut menjadi factor utama penyebab timbulnya permasalahan-permasalahan di bantaran sungai Code.
Menurut Baiquni, dkk., 2002, kemiskinan memiliki dimensi yang kompleks sebagai dampak dari pembangunan yang tidak berkeadilan dan tidak berkelanjutan. Kemiskinan merupakan masalah berat yang akan berimbas pada permasalahan-permasalahn lain yang lebih parah, jika tidak segera diatasi.
Kriminolog menganggap kemiskinan sebagai salah satu penyebab tingginya kriminalitas. Sosiolog melihat kemiskinan bisa menjadi penyebab suburnya tingkah laku menyimpang dalam masyarakat. Pengamat politik menganggap kemiskinan berpotensi penyebab keresahan sosial yang pada akhirnya mengguncang kesetabilan pemerintah (Gana dan Wardani, 1998 dalam Baiquni, dkk., 2002). Dan seorang geograf memandang kemiskinan sebagai hasil interaksi manusia dengan alam yang dapat merusak sumberdaya alam dan mengganggu proses pembangunan berkelanjutan, seperti yang diungkapkan Baiquni, 2002, dalam bukunya yang berjudul Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan.
Kemiskinan memacu perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota, dengan harapan mencari kehidupan yang lebih baik. Seperti halnya kota-kota besar yang lainnya, Yogyakarta menjadi kota tujuan utama penduduk untuk melakukan urbanisasi. Alasan pindah ke kota sebagian besar ingin mencari kerja karena industri-industri kebanyakan tumbuh dikota, dan peluang usaha di bidang jasa di kota dianggap lebih besar dari pada di desa. Iming-imin seperti itulah yang memicu terjadinya urbanisasi besar-besaran.
Urbanisasi menyebabkan jumlah penduduk di kota Yogyakarta meningkat dengan cepat. Tekanan jumlah penduduk secara otomatis meningkatkan kebutuhan akan ruang untuk permukiman, seperti yang diungkapkan Gunawan, 2007. karena penduduk yang melakukan urbanisasi kebanyakan berasal dari golongan ekonomi lemah, maka sebagian besar dari mereka tidak mampu membeli tanah dan membangun rumah di daerah yang semestinya. Karena harga tanah dan biaya pembangunan rumah yang relative tinggi di kota besar. Sehingga mereka memilih untuk mendirikan permukiman di bantaran sungai Code secara illegal, dengan alasan selain dekat dengan sumber air, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli tanah, kerena sepengetahuan mereka tanah tersebut tidak dimiliki oleh siapa pun. Berawal dari situlah, permasalahan-permasalahan turunan muncul.
Pemerintah daerah yang sejak awal mengetahui ketidakberesan tersebut, tidak segera bertindak dan membiarkan kondisi tersebut berlarut-larut dalam jangka waktu lama. Akibatnya kesalahan yang sama terjadi berulang-ulang, dan diikuti oleh penduduk lainnya, hingga turun-temurun. Dan sampai saat ini, bantaran sungai Code berkembang sebagai pemukiman yang padat penduduk, dan memiliki kesan kumuh karena system pengelolaan lingkungan yang buruk.
System pengelolaan lingkungan yang buruk dipicu oleh factor kedua, yaitu tingkat pengetahuan / pendidikan yang rendah. Faktor ini memperburuk permasalahan yang timbul di bantaran sungai Code. Tingkat pengetahuan yang rendah menyebabkan kesadaran akan lingkungan yang bersih dan sehat rendah. Pola kebiasaan dari desa, terbawa ke kota. Kebiasaan tersebut tercermin dari sikap penduduk yang suka membuang sampah sembarangan atau membuang sampah ke sungai. Selain itu mereka juga buang air besar dan membuang kotoran ternak ke sungai. Ini menyebabkan sungai tercemar limbah organic.
Limbah cair domestic dari septictank maupun limbah detergen juga dialirkan ke sungai. Kejadian tersebut terjadi terus menerus selama bertahun-tahun dengan jumlah yang semakin meningkat, seiring peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di bantaran Sungai Code.
Penduduk yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah menganggap sungai sebagai public good. Artinya sungai dianggap sebagai milik umum, sehingga seolah-olah tidak ada tanggung jawab pribadi untuk menjaga kebersihannya. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan menyebabkan buruknya system sanitasi. Meskipun beberapa warga yang sedikit lebih maju telah mampu membangun septictank dan sumur pada setiap satuan rumah tangga, namun dalam membangun mereka tidak memperhatikan aturan standart pembangunan septictank. Seringkali jarak antara sumur dan septictank kurang dari 10 meter. Padahal aturan standart pembangunan septictank harus berjarak lebih dari 10 meter. Hal ini dilakukan untuk mencegah sumur terkontaminasi oleh E. Coli yang berasal dari septictank.
Selain alasan ketidaktahuan masyarakat akan aturan standart tersebut, jarak septictank dan sumur yang berdekatan juga disebabkan karena keterbatasan lahan dan padatnya permukiman penduduk. Antara satu rumah dan rumah yang lain saling berdempetan, dan biasanya bangunan rumah didirikan pada luasan lahan yang relative sempit. Sehingga untuk mengatur jarak antara septictank dengan sumur, baik dalam satu rumah tangga maupun antar rumah tangga, agar berjarak minimal 10 meter agak sulit.
Permasalahan tersebut diperparah dengan kondisi sempadan sungai yang terdiri dari teras 1, teras 2, teras 3 yang tersusun secara bertingkat. Letak teras 1 berada dibagian paling atas sempadan sungai. Teras 2 terletak dibawah teras 1, dan teras 3 terletak dibagian paling bawah, dan masuk ke badan sungai. Limbah yang berasal dari septictank teras 1 dan teras 2 akan mengalir ke bawah, dan mencemari sumur penduduk yang bermukim di teras 3. Akibatnya air sumur di permukiman yang terletak di teras 3, akan mengalami pencemaran coliform dalam jumlah paling tinggi, sebagai akumulasi limbah septictank yang berasal dari permukiman-permukiman di atasnya. Hal ini tentunya sangat berbahaya dari segi kesehatan.
Selama ini Pemerintah Daerah Yogyakarta seolah-olah salah strategi dalam mengatasi permasalahan permukiman di bantaran sungai Code. Sikap Pemerintah daerah yang kurang tegas sejak awal munculnya permasalahan ini, menjadi sebab masalah ini kian berlarut-larut dan kian menjadi besar dari waktu ke waktu. Ketika pemerintah sadar akan timbulnya permasalahan yang besar seputar permukiman di bantaran Sungai Code, seakan-akan semuanya telah terlambat. Permukiman di bantaran sungai Code, telah berkembang sedemikian cepatnya. Hampir disepanjang bantaran sungai telah penuh sesak oleh permukiman penduduk.
Melihat fenomena ini, pemerintah menghadapi permasalahan yang dilematis. Disatu sisi, keberadaan permukiman di bantaran Sungai Code tidak dibenarkan (ilegal) karena dapat merusak ekosistem sungai dan mengambil alih lahan yang sebenarnya diperuntukkan untuk Ruang Terbuak Hijau (RTH). Selain itu karena dibangun secara ilegal dan tanpa perencanaan yang baik, timbul kesan kumuh pada permukiman tersebut, sehingga dapat mengganggu pemandangan, menyebabkan pencemaran dan kerusakan ekosistem sungai.
Disisi lain, menggusur permukiman penduduk yang terlanjur tumbuh dan mengakar ditempat tersebut secara turun temurun, bukan sesuatu yang mudah. Karena ini akan bertentangan dengan sisi kemanusiaan. Ribuan keluarga bermukim dibantaran Sungai Code. Ini berarti penggusuran akan berdampak pada ribuan kehidupan manusia. Jika hal tersebut tetap dilakukan, sangat mungkin akan memancing keributan masal yang akan mengganggu stabilitas politik di Yogyakarta. Ditambah lagi akan timbulnya dampak-dampak turunan seperti meningkatnya jumlah gelandangan, karena banyaknya penduduk yang tidak siap kehilangan tempat tinggal.
Adapun pemberian ganti rugi dan upaya relokasi juga pernah ditawarkan pemerintah daerah. Namun upaya itu belum dapat diterima oleh para penduduk yang tinggal di bantaran sungai Code dengan berbagai alasan yang sangat kompleks. Antara lain jumlah uang ganti rugi tidak sepadan, tempat relokasi yang diberikan jauh dari tempat kerja mereka dan kurang strategis bagi mereka, selain itu ada pula alasan yang lebih mendasar, yakni faktor kenyamanan. Karena telah menetap ditempat tersebut selama berpuluh-puluh tahun, mereka telah merasa nyaman untuk tetap tinggal di tempat tersebut, bagaimanapun kondisinya. Faktor inilah yang sangat sulit untuk di atasi.
Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah, bahwa akar permasalahan yang paling mendasar bersumber dari masyarakat yang itu sendiri. Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi akar masalah, yang berimbas pada rendahnya tingkat kesadaran untuk menjaga lingkungan serta sikap keras kepala dan pemikiran penduduk yang konservatif menjadikan permasalahan-permasalahan permukiman di bantaran sungai Code sulit untuk diatasi.
Karena permasalahan bersumber dari masyarakat, maka cara yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ini adalah dengan melibatkan masyarakat-masyarakat itu sendiri ke dalam program pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan yang timbul di bantaran Sungai Code, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Dengan tetap menekankan pada prinsip TRIBINA, yaitu: Bina Manusia, Bina Ekonomi, dan Bina Lingkungan.
2.3. Strategi Pengelolaan Lingkungan di Sungai Code
Seperti yang telah sedikit disampaikan di atas, permasalahan yang muncul di permukiman di bantaran Sungai Code berakar atau bersumber dari mayarakat sendiri. Oleh karena itu penanganannya juga harus melibatkan masyarakat yang bersangkutan.
Prinsip pengelolaan yang diterapkan, harus tetap berdasarkan pada prinsip TRIBINA, yaitu: Bina Manusia, Bina Ekonomi, dan Bina Lingkungan. Namun prinsip TRIBINA disini memiliki pengertian yang berbeda dengan prinsip TRIBINA yang pernah diterapkan sebelumnya. Bina Manusia dilakukan untuk mengatasi masalah sikap, moral, kesadaran, dan tingkat pengetahuan penduduk yang rendah. Bina Ekonomi dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait dengan kemiskinan dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah. Dan Bina Lingkungan dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah-masalah lingkungan yang telah terlanjur terjadi, mencegah timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan yang baru, dan menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Dengan penerapan prinsip tersebut, akar masalah yang berupa kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan dapat teratasi. Dan dampak yang berupa pencemaran dan kerusakan ekosistem Sungai dapat diminimalkan dan ekosistem sungai code dapat dipulihkan.
Upaya-upaya riil yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Yogyakarta untuk mencegah terjadinya pencemaran sungai, antara lain dengan program Kota Sehat. Hal ini diwujudkan dengan dibangunnya instalasi penyediaan air bersih di Kampung Jetisharjo dan instalasi pengolahan air limbah di Kampung Cokrokusuman. Kedua kampung tersebut terdapat di Kelurahan Cokrodiningratan yang berada tepat di pinggir Sungai Code bagian utara. Seperti yang pernah ditulis oleh Astuty, dkk., 2008, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama melakukan pembenahan secara fisik yakni dengan membangun instalasi pnyediaan air bersih dan instalasi pengolahan air limbah komunal.Dalam program Kota Sehat, inisiator utamanya adalah masyarakat.
Selain upaya diatas, pengembangan potensi daerah bisa semakin tumbuh dengan adanya konsep baru yang semuanya didasarkan atas ide yang muncul dari warga (bawah) dan diusulkan ke forum (atas) yang akan diputuskan berdasarkan keputusan bersama dalam suatu pertemuan atau rapat warga. Konsep ini menjadi elemen yang penting dalam mendukung terselenggaranya praktek penyelenggaraan good governance di Kota Yogyakarta (Astuty, dkk., 2008).
Manfaat yang diperoleh warga dari adanya proses pembenahan adalah mampu memberikan semangat dan motivasi untuk ikut berperan aktif dalam pengelolaan sarana fisik yang ada. Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat yang tidak membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian pemerintah tapi memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung (Astuty, dkk., 2008).
Agar sistem pengelolaan lingkungan bantaran sungai code berjalan sinergis, selain membangun masyarakatnya sendiri, peran pemerintah sebagai penantu kebijakan tidak dapat dikesampingkan. Peraturan Daerah tentang Rancangan Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dan Rancangan Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) harus disempurnakan menjadi lebih baik dan lebih sesuai dengan kebutuhan lingkungan hidup yang semakin berkembang. Berdasarkan hasil penyempurnaan itu, diharapkan akan dapat diperoleh suatu peraturan tentang rencana tata ruang kota yang lebih ditaati, dan dapat dilaksanakan secara efektif dalam upaya membangun komunitas masyarakat berkelanjutan di kawasan sepanjang bantaran Sungai Code (Wardhanie, 2002).
3. Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan yang timbul dibantaran sungai code berakar pada dua faktor utama, yakni kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan / pendidikan masyarakat. Kemiskinan memicu terjadinya urbanisasi besar-besaran penduduk kelas ekonomi bawah dari desa untuk mencari penghidupan yang layak di kota. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang untuk permukiman juga meningkat. Karena sebagian jumlah penduduk yang melakukan urbanisasi berasal dari kalangan bawah, mereka tidak mampu mebeli tanah dan mendirikan permukiman di tempat yang layak dan memilih untuk menempati bantaran sungai.
Karena tidak adanya sikap tegas dari pemerintah daerah, daerah permukiman kumuh berkembang dengan cepat dan semakin padat. Tingkat pengetahuan / pendidikan yang rendah menjadi penyebab buruknya sistem pengelolaan lingkungan dan sanitasi di permukiman bantaran sungai Code. Ini berdampak pada pencemaran air sungai dan air sumur oleh coliform, dan kerusakan ekosistem sungai.
Karena akar masalah bersumber pada masyarakat setempat, maka pengelolaan yang paling efektif juga harus melibatkan masyarakat. Prinsip pengelolaan yang diterapkan, harus tetap berdasarkan pada prinsip TRIBINA, yaitu: Bina Manusia, Bina Ekonomi, dan Bina Lingkungan. Bina Manusia dilakukan untuk mengatasi masalah sikap, moral, kesadaran, dan tingkat pengetahuan penduduk yang rendah. Bina Ekonomi dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait dengan kemiskinan dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah. Dan Bina Lingkungan dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah-masalah lingkungan yang telah terlanjur terjadi, mencegah timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan yang baru, dan menjaga lingkungan agar tetap lestari. Selain itu peran pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak dapat dikesampingkan, yaitu dengan menyempurnakan RUTRK dan RDTRK menjadi lebih baik dan lebih sesuai dengan kebutuhan lingkungan hidup yang semakin berkembang.
Referensi
Adrisijanti, I., 2007. Kota Yogyakarta sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan Permasalahannya. Jurusan Arkheologi fakultas Ilmu Budaya. UGM. Yogyakarta
Anonim. 2009. Pengembangan dan Konservasi Ciri Khas Kampung Code. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta
Astuty, A.T., Arum, H.R.T., Hasanbasri, M. 2008. Pengelolaan Kawasan Sehat. Study Kasus di Kampung Jetisharjo dan Cokrokusuman kelurahan Cokrodiningratan Jetis Kota Yogyakarta. Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. UGM. Yogyakarta
Baiquni, M., Susilawardani, 2002. Pembangunan Tidak berkelanjutan. Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Penerbit Transmedia Global Wacana. Yogyakarta
Eko. 2008. Code Paling Tercemar. Harian Jogja. Edisi : Sabtu, 27 Desember 2008
Farida, I. 2009. Mencontoh Penataan Bantaran Sungai Code. Harian Pikiran Rakyat. Edisi: Jum’at ,18 Desember 2009
Fernandez, Y. 2008. Oase Budaya Egaliter di Sungai Code. Harian Kompas. Edisi : Rabu, 27 Agustus 2008
Gunawan, T. 2007. Pendekatan Ekosistem Bentanglahan sebagai Dasar Pembangunan Wilayah Berbasis Lingkungan Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Geografi. UGM. Yogyakarta
Qds. 2009. Perencanaan Kota Tak Berhasil Maksimal. Harian Joglo semar. Edisi : Jum’at, 30 Oktober 2009
Shaleh, M. H. 2009. Pengembangan Kampung Code tanpa Master Plan. Harian Suara Merdeka. Edisi : 2 Juni 2009
Wardhanie, M. S. A. 2002. Evaluasi kebijakan jalur hijau di permukiman sungai Code: Studi kasus Ledok Ratmakan dan Ledok Gondolayu, Yogyakarta. Perpustakaan Universitas Indonesia. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar