Perhatian!!!
Perlu di ketahui bahwa cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan Nama Tokoh, Karakter, atau pun Kisah, penulis mohon untuk dimaklumi. Karena penulis hanya ingin berbagi kegelisahan dengan pembaca. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembaca, karena telah bersedia membaca tulisan ini.
Ini bukan seperti cerita dari negeri dongeng yang selalu berakhir bahagia. Karena ini adalah cerita tentang kehidupan nyata. Kehidupan yang keras dan sangat dekat dengan kita. Cerita ini tidak seindah “Kisah Romeo & Juliet” yang sangat dramatis dengan segala pengorbanannya, juga tak sepopuler kisah cinta ”Laila-Majnun”, yang selalu menjadi inspirasi berbagai generasi. Tak pernah ada kata cinta diantara kami. Tapi aku sangat yakin, bahwa diantara kami ada rasa sayang yang tak pernah terungkapkan. Abstrak. Dan bagiku, tak ada yang lebih indah dari itu. Platonic Affection...............
*******
PLATONIC AFFECTION
Part.1
Kami pertama kali bertemu di komunitas seni kampus yang hampir vakum. Komunitas underground yang dianggap telah mati oleh birokasi, tapi anggotanya masih bergentayangan tanpa peduli kejelasan status organisasi. Layaknya seniman tulen, mereka pun alergi dengan segala hal yang berbau birokrasi.
Berkenalan dengannya, membawaku menjelajahi dunia baru yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Dia banyak bercerita tentang sejarah, tentang kebesaran Indonesia, negara yang amat dicintainya. Tentang tokoh kebanggaannya, Soekarno, dan tentang penyair kesayangannya, Chairil Anwar.
Karena dia, aku menyadari bahwa apa yang ku pahami selama ini tentang dunia, adalah salah. Ternyata dunia tidak dalam kondisi baik, seperti yang ada dalam pikiranku.
Dia mengajariku lebih sensitif dengan sekitar. Dia mengajariku tentang kepekaan, tentang cara berbagi dan cara bersabar. Bersamanya aku belajar “Menentang Segalanya”. Bahkan Kematian pun kita Tentang! Seperti judul sajaknya, “Tentang Kematian” yang masih ku simpan hingga saat ini.
Dulu, dia pernah memintaku membacakan sajak itu. Namun, sampai saat ini aku belum berhasil menundukkan sajak itu untuknya.
Seringkali, kami menaklukan malam bersama. Dengan secangkir kopi dan obrolan-obrolan ringan tentang kehidupan. Semakin lama, aku semakin mengenalnya dengan baik.
Kami saling support dalam banyak hal. Dia adalah salah satu partner handal, yang pernah bekerja bersamaku. Bersama beberapa kawan, kami membangun kembali komunitas kami yang hampir punah. Tidak hanya itu, dia selalu mendukungku selama aku mengemban tanggung jawab besar di komunitas kami. Karena kami sama-sama memiliki keinginan yang kuat untuk kemajuan komunitas kami, maka tak jarang kami bersilang pendapat. Namun itulah yang membuat komunitas kami jadi lebih hidup dan berwarna.
Aku pun demikian, entah sejak kapan aku menjadi begitu peduli dengannya. Aku tak rela jika dia bermasalah dengan siapa pun atau dengan apa pun, termasuk dengan kuliahnya. Setiap pagi aku mengingatkannya untuk kuliah, membangunkannya, dan mengingatkan jadwal-jadwalnya. Meskipun kadang-kadang dia tak meresponku, dan tetap menuruti sikap keras kepalanya.
Bukannya aku tak mau mengerti, tapi kadang manusia tidak harus selalu mengikuti kehendak hatinya. Seperti air, terkadang kita juga harus mengalir, menerobos, melewati sela-sela batuan, siap jatuh sebagai air terjun, menempuh perjalanan jauh dan melelahkan dari hulu ke hilir, sebelum akhirnya bermuara ke Laut. Sama halnya dengan air, untuk sampai ke ”Laut” nya, manusia juga harus berjuang keras, berani menjalani pilihan hidup yang sudah menjadi pilihan, berani sakit, berani capek, untuk mendapakan tujuan hidupnya. Bukan malah menyerah kepada nasib.
Begitulah, kenangan-kenangan tentangnya masih terasa begitu hidup dalam memoriku. Kenangan-kenangan itu membangun dunianya sendiri dihatiku, dengan benteng-benteng yang kokoh dan sulit untuk ditembus, apalagi disingkirkan.
Karena itu, biar kubagi cerita ini kepada semua orang. Sehingga suatu saat nanti, dia akan pergi dengan sendirinya dari hatiku.
********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar