Oleh: Laily Agustina Rahmawati
Prodi Ilmu Lingkungan, SPS UGM
1. Pendahuluan
Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dilatar belakangi oleh membaiknya kondisi iklim investasi di Indonesia secara umum, pasca krisis ekonomi 1998-2001. Membaiknya perekonomian Indonesia tahun 2003, mendorong investasi besar-besaran di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. salah satu bentuk investasi tersebut adalah pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta”.
Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD) melalui biaya perizinan (HO, IMB dan SIUP), penyebaran sentra ekonomi agar tidak terpusat di Jalan Malioboro dan Jalan Solo serta penyediaan lapangan kerja / kesempatan usaha. Sedang tujuan keberadaan bangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” adalah untuk menyediakan layanan pusat perdagangan yang lebih representatif dengan ciri trade center khususnya bagi masyarakat Yogyakarta bagian timur dan memberikan kesempatan kerja/usaha bagi masyarakat sekitarnya (Kel. Caturtunggal Kec. Depok).
Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dalam prosesnya menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Dampak negatif inilah yang harus diwaspadai, dikaji, dan diperhitungkan, agar semua tujuan pembangunan dapat tercapai. Dampak yang timbul, baik terhadap aspek abiotik, biotik, maupun sosial budaya, dapat mencakup wilayah-wilayah tertentu yang ada di sekitarnya. Untuk mempermudah kajian, dilakukan pembatasan terhadap wilayah studi yang berpotensi terkena dampak. Batasan atau lingkupan wilayah studi tersebut berupa batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan abatas administratif.
2. Lingkup Wilayah Studi (ANDAL)
Berdasarkan dampak besar dan penting yang akan ditimbulkan, maka wilayah studi meliputi daerah yang dibatasi oleh batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas administratif yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Batas Proyek
Lokasi rencana Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” di Desa Carturtunggal Kec. Depok, Kab. Sleman, yang batas utara: jalan kampung; batas barat: jalan kampung; batas selatan: Jl. Laksda Adisucipto; dan batas timur: Hotel Ambarukmo. Sebagaimana dapat dilihat pada peta wilayah studi batas proyek, Gambar No. 2.1 (terlampir).
b. Batas Ekologis
Batasan ekologis adalah ruang persebaran dampak dari kegiatan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” menurut media transportasi limbah (air dan udara), dimana proses alami berlangsung yang diperkirakan menimbulkan dampak. Rencana pembangunan ”Ambarukmo Jogjakarta” secara ekologis memberi dampak seperti udara dan transportasi di Desa Caturtunggal dan sekitarnya. Sedangkan air/limbah cair, sesuai dengan badan air/penerima limbah cair nantinya, yaitu menurut aliran saluran air. Gambar No. 2.1 (terlampir).
c. Batas Sosial
Batasan sosial adalah ruang sekitar rencana Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Gambar No. 2.1 (terlampir).
d. Batas Administratif
Batasan administratif adalah ruang dimana Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dan masyarakat melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya atas dasar uraian : a, b, c yaitu di Desa Caturtunggal, Kecamatan depok, Kabupaten Sleman. Gambar peta wilayah studi batas administratif. Gambar No. 2.1 (terlampir).
3. Dasar Peraturan Perudang-Undangan terkait Rencana Usaha dan/atau Kegiatan dan Lingkungan
Landasan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah:
a. UU RI No.13 tahun 1990 tentang Jalan
b. UU RI No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
c. UU RI No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
d. UU RI No.14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
e. UU RI No.5 tahun 1994 tentang Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati
f. UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
g. UU RI No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
h. UU RI No.28 tahun 2003 tentang Bangunan Gedung
i. PP RI No.47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
j. PP RI No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
k. PP RI No.41 tahun1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
l. PP RI No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
m. PP RI No.82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Aira dan Pengendalian Pencemaran Air
n. PP No. 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1992, tentang Cagar Budaya
o. Kepres RI No.15 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
p. Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.087/P/1993 tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya
q. Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.062/U/1995 tentang Pemilikan, Pengawasan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya, dan/atau situs
r. Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya
s. Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.064/U/1995 tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya
t. Kep.Men LH RI No.48/MenLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan
u. Kep.Men LH RI No.49/MenLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Getaran
v. Keputusan Kepala BAPEDAL No.299/II/1996 tentang Pedoman Teknis Aspek Sosial dalam penyusunan AMDAL
w. Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.105 tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL-RPL
x. Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.KEP 107/KABAPEDAL/1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemaran Udara
y. Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.124/12/1997 tentang Panduan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusuanan AMDAL
z. Kep.Men LH RI No.17 tahun 2001 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL
å. Kep.Men LH RI No.33 tahun 2001 tentang Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan
ä. Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.8 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL
cc. Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.9 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL
dd. Kep. Gubernur Kepala DIY No.153/KPTS/1991 tentang Baku Mutu Lingkungan Daerah Propinsi DIY
ee. Kep. Gubernur Kepala DIY No.9 tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan AMDAL Propinsi DIY
ff. Kep. Gubernur Kepala DIY No.153/KPTS/2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien di Propinsi DIY
gg. Kep. Gubernur Kepala DIY No.167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi DIY
hh. Kep. Gubernur Kepala DIY No.169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak di Propinsi DIY
ff. Kep. Gubernur Kepala DIY No.176 tahun 2003 tentang Baku Tingkat Getaran, Kebisingan dan Kebauan di Propinsi DIY
gg. Perda Kab.Sleman No.11 tahun 2000 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman tahun 2000-2004
hh. Perda Kab.Sleman tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Sleman tahun 2001-2005
ii. Kep. Kepala BAPEDALDA Propinsi DIY No.188.4/1044 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL Propinsi DIY
jj. Perda Kab.Sleman No.23 tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah
kk. Kep. Bupati No.17/Kep.KDH/A/2004 tentang Pengelolaan Lingkungan.
Adapun pembahasan dalam tugas ini, mencantumkan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai pembanding.
4. Pembahasan
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL, seperti yang tercantum dalam PP No. 27 tahun 1999 pasal 5 ayat 1 dan UU No. 23 tahun 1997 pasal 15 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009 pasal 22 ayat 1. Kemudian dalam pasal 22 ayat 2 UU No.32 tahun 2009 dijelaskan tentang kriteria dampak penting, yang ditentukan berdasarkan: a). Jumlah penduduk yang terkena dampak, b). Luas wilayah yang terkena dampak, c). Intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d). Banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, e). Sifat kumulatif dampak, f). Berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan g). Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada pasal 23 ayat 1 UU No.32 tahun 2009 (merupakan penyempurnaan dari PP No.27 tahun 1999 pasal 3 ayat 1), selanjutnya dijelaskan bahwa kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi AMDAL terdiri atas: 1). Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, 2). Ekploitasi sumber daya alam terbarukan maupun tak terbarukan, 3). Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya, 4). Proses dan atau kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkingan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya, 5). Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya, 6). Introduksi jenis tumbuhan, hewan, dan jasad renik, 7). Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati, 8). Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara, 9). Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, pembangunan Plaza Ambarukmo termasuk dalam kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan, sehingga wajib AMDAL. Dampak penting dapat dilihat sejak tahap pra konstruksi, yakni penyiapan lahan. Lahan yang dibebaskan untuk membangun plaza ini adalah lahan bekas tegalan/kosong dan lahan SDN Ambarukmo, dengan status kepemilikan tanah Sultan Ground. Hal ini menyebabkan reaksi keras dari masyarakat, terutama dari orang tua murid yang bersekolah di SDN Ambarukmo. Mereka resah karena anak-anaknya akan kehilangan sekolah mereka. Reaksi keras masyarakat tersebut termasuk dalam kriteria usaha dan/atau kegiatan yang dampaknya akan mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya (kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting poin 4).
Pada tahap konstruksi, pembangunan plaza Ambarukmo juga mendatangkan dampak penting antara lain: penurunan kualitas udara akibat debu, gas buang dan kebisingan, bertambahnya frekuensi lalu lintas sehingga meningkatkan kerawanan kecelakaan, menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat sekitar terhadap pekerja pendatang, penggunaan alat berat menimbulkan getaran-getaran yang merusak bangunan disekitarnya, dan yang tak kalah penting adalah rusaknya bangunan bersejarah ”Gandok Tengen” atau rusaknya banguna pesanggrahan sebagai bangunan cagar budaya untuk pembangunan Plaza Ambarukmo. Dampak-dampak tersebut termasuk dalam kriteria kegiatan yang secara potensial menyebakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (poin 3) dan kegiatan yang hasilnya mempengaruhi lingkungan alam, buatan serta sosial budaya (poin 4), serta kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya (poin 5).
Tahap operasi, dampak negatif yang timbul adalah penurunan kualitas udara akibat kandaraan yang keluar masuk plaza dan kemacetan, perubahan nilai budaya (gaya hidup dan pola konsumsi), keberadaan plaza Ambarukmo dianggap mengancam keberadaan pasar tradisional (Pasar Gowok), meningkatnya limpasan air hujan akibat tutupan bangunan gedung, pencemaran air permukaan dari limbah cair dan berkembangnya vektor penyakit dari sampah yang dihasilkan. Dampak-dampak tersebut termasuk dalam kriteria kegiatan yang secara potensial menyebakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (poin 3) dan kegiatan yang hasilnya mempengaruhi lingkungan alam, buatan serta sosial budaya (poin 4).
Dampak terbesar dari keseluruhan tahap, mulai pra konstruksi hingga tahap operasi, dari pembangunan Plaza Ambarukmo adalah dampak sosial dan budaya masyarakat. Kota Yogyakarta yang identik dengan keteguhannya memegang nilai-nilai tradisional dan kebudayaan leluhur secara turun menurun dalam segala aspek kehidupan, menghadapi kondisi yang dilematis. Di satu sisi, investasi dari pembangunan plaza Ambarukmo merupakan “iming-iming” bagi peningkatan pendapatan daerah (PAD), namun disisi lain daya tarik wisata Yogyakarta bersumber dari nilai budayanya yang tinggi dan lestari. Sehingga keberadaan mal-mal yang semakin menjamur di Yogyakarta, termasuk Plaza Ambarukmo, dikhawatirkan akan melunturkan tradisi (nilai-nilai tradisional) yang berusaha dipertahankan hingga saat ini.
Komponen aspek sosial merupakan bagian yang perlu dikaji secara mendalam dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan dapat dikelola dengan baik. Menurut Armour, dalam Siahaan, 2009, perubahan-perubahan sosial yang mungkin terjadi akibat adanya suatu usaha dan/atau kegiatan antara lain adalah:
Ø Perubahan cara hidup (Way of life) dalam bentuk pola, misalnya: bagaimana masyarakat hidup, bekerja, berinteraksi, dan factor apa saja yang berubah dalam kehidupan setelah ada intervensi
Ø Budaya, termasuk di dalamnya system nilai, norma dan kepercayaan
Ø Komunitas, meliputi struktur penduduk, kohesi social, stabilitas masyarakat, estetika, sarana dan prasarana yang diakui sebagai sarana umum masyarakat, seperti sekolah, balai desa, mushola. Sarana umum sering sekali menjadi korban penggusuran jika aktivitas proyek telah berjalan. Kehadiran proyek menjadi alas an renggangnya kohesi social.
Dan hal tersebut diatas benar-benar terjadi pada proses pembangunan plaza Ambarukmo, seperti: penggusuran sekolah, perusakan cagar budaya, termarginalkannya pasar tradisional, timbulnya kesenjangan dan kecemburuan social antara penduduk lokal dengan pendatang, dan meningkatnya kepadatan penduduk. Karena ternyata proses pembangunan Plaza Ambarukmo menjadi magnet yang menarik kedatangan penduduk dari luar daerah untuk berpartisipasi dalam pembangunan plaza tersebut sebagai tenaga kerja pendatang.
Berdasarkan uraian rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak, yang tercantum dalam Ruang Lingkup Studi, Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), diketahui bahwa Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” direncanakan dibangun di Padukuhan Ambarukmo, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dengan status Hak Milik Keraton. Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” direncanakan menempati lahan efektif seluas ± 19.990 m². Sedangkan keseluruhan lahan untuk pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” adalah seluas 20.550 m². Luas dasar bangunan sebagai pertimbangan terhadap koefisien dasar bangunan (KDB) adalah 16.940 m². Sedang luas keseluruhan lantai bangunan adalah 107.611 m². Dengan kondisi tersebut maka KDB Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” adalah sebesar 84,74 %, dan sebenarnya melebihi ketentuan KDB dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman sebesar 80%.
Meskipun demikian, pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” pada akhirnya mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat dengan pertimbangan bahwa pengembangan kawasan Jalan Adisucipto sejak dari Jlan Solo sampai dengan Ring Road Timur menjadi kawasan bisnis, telah sesuai dengan pemanfaatan ruang di dalam RTRW sebagai kawasan perdagangan. Kondisi ini didukung oleh Surat Pengesahan dari Bupati Sleman Nomor: 648/01552, tanggal : 06 Juli 2004, tentang pengesahan Site Plan, dan Keputusan Bupati Sleman Nomor 13.IPT/SK.KDH/A/2004, tangggal 06 April 2004, tentang pemberian izin lokasi. Sehingga dengan dasar-dasar tersebut pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dapat dilaksanakan.
Penentuan lingkup wilayah studi dilakukan untuk membatasi daerah yang terkena dampak penting dan harus dikaji. Menurut Chafid Fandeli, 2007, penentuan area studi biasanya ditetapkan berdasarkan 4 pendekatan, yakni: proyek, ekologi, sosial, dan admintratif. Pada umumnya luas area dengan pendekatan proyek lebih sempit daripada dengan pendekatan ekologis dan administrasi.
Pendekatan proyek dalam penentuan area studi merupakan tapak proyek atau area kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Area studi dengan pendekatan proyek lebih mudah ditentukan sebab berhubungan dngan batas pagar proyek itu dibangun. Pendekatan ekologis pada umumnya ditentukan atas dasar fisiografi. Pada beberapa anlisis dampak lingkungan biasanya ditentukan studi atas dasar bentuk lahan (land form) atau juga atas dasar ekosistem alami yang ada, salah satu diantaranya atas dasar Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara itu untuk pendekatan sosial didasarkan pada seberapa jauh dampak sosial yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Batasan ini sulit ditentukan, karena sifatnya non-fisik (dalam bentuk persepsi, perubahan pola hidup dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan estetika). Sedang pendekatan administrasi, biasanya dipergunakan untuk mengamati parameter sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat (Fandeli, 2007).
Berdasarkan penjabaran mengenai penentuan lingkup wilayah studi di atas, penentuan lingkup wilayah studi yang tercantum dalam ANDAL pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” juga dilaksanakan dengan menggunakan 4 pendekatan, yaitu proyek, ekologis, sosial, dan administratif. Berdasarkan keempat pendekatan tersebut, akhirnya didapatkan 4 batas wilayah studi, yaitu: batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif. Namun, beberapa batas wilayah yang dibuat tampaknya belum menggambarkan batasan yang seharusnya, misalnya pada batas ekologis dan sosial. Pada gambar peta 2.1 (terlampir) dapat dilihat bahwa keempat batas studi yang ditetapkan dibuat bertampalan, artinya antara batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administrasi tidak jelas. Dalam uraiannya pun batas wilayah studi terkesan hanya mencakup satu desa, yakni Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Padahal untuk batas ekologis dan sosial seharusnya bisa lebih dari satu desa.
Mengacu pada penjabaran Fandeli, 2007, mengenai penentuan batas ekologis, seharusnya dampak ekologis yang dihasilkan oleh usaha dan kegiatan pembangunan Plaza Ambarukmo ini, juga dirasakan oleh beberapa wilayah yang dilewati oleh sungai Gajah Wong (sungai terdekat dengan Plaza Ambarukmo). Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok termasuk daerah yang dilalui oleh Sungai Gajah Wong. Limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan Plaza Ambarukmo selama beroperasi berasal dari aktifitas dapur, dan kamar mandi serta WC. Limbah tersebut dibuang melalui saluran air, sehingga akan menimbulkan pencemaran air permukaan. Dan saluran air tersebut akan bermuara di sungai Gajah Wong, dan terbawa ke sepanjang aliran sungai. Begitu pula untuk dampak sosial. Penggusuran SDN Ambarukmo, rusaknya situs bersejarah ”Gandok Tengan”, dan termarginalkannya pasar tradisional ”Pasar Gowok”, manjadi isu kontroversial dikalangan masyarakat, tidak hanya di Desa Caturtunggal, namun hampir di seluruh Yogyakarta.
Jika dilihat dari batas yang dicantumkan dalam gambar peta 2.1, penentuan batas wilayah studi dalam ANDAL Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” ini sebenarnya lebih atas dasar pendekatan teknis. Penentuan wilayah studi atas dasar teknis biasanya ditentukan berdasarkan ketersediaan sumberdaya, yaitu waktu, tenaga, dan biayan yang tersedia. Pendekatan teknis ini sejauh mungkin merupakan penampalan dari peta atas dasar keempat pendekatan yang lain. Dengan demikian maka untuk seluruh parameter komponen lingkungan dapat diamati berdasarkan pada batasan area studi tersebut (Fandeli, 2007).
Refferensi
Dokumen Analisi Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan Plaza Ambarukmo Jogjakarta tahun 2004
Dokumen Kerangka Acuan Analisi Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) Pembangunan Plaza Ambarukmo Jogjakarta tahun 2004
Draft UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Draft UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Draft PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
Fandeli, C. 2007. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Prinsip Dasar dalam Pembangunan. Penerbit Liberty. Yogyakarta
Siahaan, N.H. 2009. Hukum Lingkungan. Penerbit Pancuran Alam. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar