Rabu, 27 April 2011

PUTRI BIRU VS PUTRI GEMPAL

(Tulisan ini kembali ku release, setelah beberapa kawan mengingatkan aku pada tulisan konyol dan memalukan ini. Mudah-mudahan bisa jadi media reuni buat temen-temen. ^_^)

Tiba-tiba pikiran liar itu muncul begitu saja. Ku tulis sms dan ku kirim ke beberapa kawanku (Tiyang Alit dan Kanteen). “Kawan, kalian dimana? Aku ingin melakukan suatu kegilaan. Maukah kalian menemaniku dalam kegilaan ini? Kita kumpul, dan baca puisi bergantian. Kita jadikan malam ini sebagai malam sastra bagi kita. Ku tunggu kalian di biologi.” Berbagai respon unik muncul di Hpku:
“Mbak anak-anak mau ke FSS, sampeyan gak ikut ta?”
“Mbak, sampeyan gak papa ta?”
“Lel, kon gendeng ta?”
“Menyedihkan.”
Tanpa ku pedulikan respon teman-teman, ku tancap gas si moti, dan meluncur ke gedung Biologi bersama seorang kawanku, xodox. Dari kostan sudah kupersiapkan segala hal yang mendukung kegilaanku, lilin; kain hitam; gunting; botol aqua; isolasi; korek api; buku kumpulan puisi; dan kue seharga Rp. 3000,- yang ku beli disakinah. Ya, ku akui, malam itu aku memang gila! Akhir-akhir ini kejiwaanku agak terganggu (red: bukan arti sebenarnya) (^_^). Mungkin ini penyakit bawaan TA…….. tapi tidak menutup kemungknan karena hatiku sedang berbahagia !!!
Sesampainya di biologi, kampus sepi, dan agak temaram karena beberapa lampu sengaja tidak dinyalakan. Di plasa duduk seorang kawan, Tauco, anak angkatan ’07 yang aku kenal di BioArt. Suasana begitu romantis dan melankolis. Angin sejuk… Dan agak gerimis. Segera ku gunakan hasrat seniku untuk membuat sebuah panggung kecil dan sederhana. Dengan prinsip “Trimo ing pandum”, Kugunakan properti seadanya dan ku adakan properti yang berguna. Dengan berbagai jurus, sret.. sret… Ciah… Haiya….. teretttttt… panggung pun jadi…
Tapi aku melupakan sesuatu….
Gerimis, membuatku pesimis…. Malam minggu yang menyedihkan! Benar kata temanku. Aku terlalu berani bersepekulasi dengan perasaan orang lain, kawan-kawanku maksudnya. Teman-temanku belum siap menerima jiwa spontanitasku yang sangat luar biasa ini. Dan benar, sampai jam 21.00 (sekitar 2 jam) tidak ada seorangpun kawanku yang datang. Tergelitik jariku untuk menggoda mereka sekali lagi, “Kawan, aku ingin menguji sesuatu kepada kalian. Apakah kalian masih mengingatnya kawan? Aku tunggu di biologi.” Cikruk… cikruk…. cikruk…. Hp ku berbunyi, “Iya mbak, habis ini kita kesana.” Senyum kemenangan tersungging di bibirku. Ha.. ha.. Ha.. Akhirnya, mereka mengikuti kemauanku.
Karena kesepian, ku undang juga seorang kawan dari BioArt, Mas Agus. Kita bertiga memulai acara dengan tema ketidak jelasan ini. Aku, Xodox, dan Mas Agus berpuisi bergantian…. Ada yang beraliran Romantis, Anarkis, Bengis, dan PDis. Apa pun itu yang penting emosiku tertumpahkan pada puisi-puisi tsb. Mendengar suara kita yang indah, tauco yang dari tadi “Mendelengi” Laptop tergoda masuk dalam kegilaan kita. Dan… ku sahkan saja dia sebagai orang gila, seperti kita.
jam sepuluh…. Kawan-kawan belum datang.
jam sebelas…. Masih belum datang. Padahal tenggorokan sudah kering. Air ludah telah tumpah. hampir putus asa….
Jam setengah duabelas…. Akhirnya… datang juga…….
6 orang kawanku datang, lengkap dengan target operasi “Rinto”. Ical, suketi, febri, mas wignyo dan icha datang membawakanku sebungkus es teh dan sekotak “terang bulan”, sedap… Kata orang bijak, “Kesabaran memang berbuah manis… semanis “terang bulan” (^_^).
Tapi… Ow.. Ow… “Someone who I need” tidak datang. Padahal aku sangat ingin dia datang. Maklum, setelah sekian lama saling diam, baru sehari kemarin kita berusaha saling membuka hati. Meskipun hanya lewat sms yang “gak penting”. Mungkin aku terlalu berharap banyak untuk bisa dekat dengan dia seperti dulu dan menghilangkan rasa kaku di antara kita. Tiba-tiba aku dicekam perasaan aneh… perasaan yang sampai saat ini tidak dapat ku kelola dengan baik. Perasaan ini mendorongku menanyakan tentang dia ke kawanku.
“Mas, si…. mana?”
“Mau wis tak ajak mrene lel, tapi mboh, moro-moro dia ngilang. Kita kehilangan jejak. Mungkin dia keweden, soale mau aku ngomong nek awakmu arep nembak dekne.”
“Ha…. Ha… Yo opo… jarene dekne awakmu arep bunuh diri… ha..ha…ha…”
teman-temanku memang berlebihan. Gak ada romantis-romantisnya sedikit pun! Tidak sensitif dan tidak peka. Mereka berpikiran macem-macem kepada niat baikku yang tulus, suci dan mulia ini. Yo opo maneh… Kehendak nurani memang gak bisa dipaksakan. Iya kan?
Tiba-tiba Hp temenku berbunyi. Dan ternyata yang ada dibalik telepon itu adalah “Someone who I need”. Dia kayaknya penasaran dan bertanya tentang apa yang terjadi di dunia kegilaanku. Ha… Aku merasa sena…ng sekali, karena aku merasa masih diperhatikan. Kemudian dia sms aku dan temanku, sekali lagi menanyakan apa yang sedang terjadi di biologi. Dan oleh temanku dibalas…. tapi sayang, Hp temenku memiliki ketidakcocokan dengan nomor flexi. Alhasil sms kawanku tidak terbaca di hpnya. Lalu dia membalas sms yang tidak terbaca tersebut dengan:
” Wah… Pasti masalahnya gawat ya? Lely arep bunuh diri ta? waduh… cukup ada satu PUTRI BIRU saja! Jangan sampai ada PUTRI GEMPAL!”
Oh busyeeet… Lagi-lagi dia menyebutku Gempal???!!!! Menyebalkan…!!!!
Hmmmm, Tapi bagaimanapun, dia pernah menjadi orang penting di hatiku. (^_^)

Surabaya, 20 Juni 2008

CATATAN INSOMNIA (1)

Aku telah bersahabat baik dengannya cukup lama. Dia akan datang dan pergi sesuka hatinya, tapi dia akan selalu ada saat aku merasa sendiri. Kami telah begitu dekat dan akrab, hingga tak segan aku menumpahkan air mata dihadapannya. Bagiku, dia adalah teman paling setia, yang sebenarnya tak pernah ku harapkan kedatangannya. Tapi setiap kali dia datang, aku tak bisa menolaknya. Seperti saat ini.....

Tiba-tiba dia masuk ke dalam kamar, menyergapku tanpa bicara sepatah kata pun. Duduk diam disampingku, sambil menungguku bercerita. Kondisi seperti ini, membuatku tak berdaya. Kata-kata pun meluncur dari bibirku, deras, seperti air terjun yang dimuntahkan dari bibir bukit. Dia tak pernah sekali pun merespon ceritaku, apalagi menasehatiku. Dia hanya duduk, diam, menyimak setiap kata yang terlontar dari mulutku. Setelah ceritaku usai, dia akan tetap menungguku, hingga aku menyerah dan melepas tangisku dibahunya.

Setelah tangisku mereda, perlahan ia menggeser bahunya dan membantuku berbaring diatas tempat tidurku. Dan kemudian ia pun merebahkan tubuhnya disampingku. Lagi-lagi, dengan diam. Mata kami saling beradu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, sorot matanya tetap kosong, hingga tatapanku dapat menembus kedasar pandangannya. Dan aku melihat diriku di sana. Seperti bercermin, aku melihat diriku dari sudut pandang lain, di luar diriku. Melihat bayanganku sendiri membuatku menggigil. Betapa menyedihkannya aku.

Dalam kondisi seperti ini, dengan sengaja aku akan menghadirkan bayangan orang-orang yang menyayangiku. Aku bersyukur karena aku tak pernah merasakan kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Aku bersyukur atas masa-masa indah yang pernah terlewatkan bersama sahabat-sahabat setia untuk saling membantu menemukan jati diri. Aku bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukung dan menguatkan setiap langkah yang telah ku pilih.

Satu per satu bayangan orang-orang yang menyayangiku timbul dan tenggelam dalam pikiranku. Setiap mengingat mereka, pandangan menyedihkan pada diri sendiri perlahan-lahan hilang. Maka tidak ada alasan bagi hatiku untuk merasa buruk. Karena aku tak ingin senyum orang-orang yang menyayangiku padam. Bukankah keberadaan mereka layak untuk ku syukuri?

Pada saat aku menyadari, bahwa kondisi hatiku telah membaik, tanpa sadar aku telah kehilangannya. Tiba-tiba ia menghilang, tetap tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia pergi meninggalkan aku, bersama kediamannya. Dan aku tak pernah tau kapan dia kembali. Aku pun tak pernah mengharapkannya untuk kembali. Namun aku selalu berterima kasih akan kedatangannya. Karena kedatangannya mengajariku untuk lebih bersyukur. Aku memanggil sahabatku itu dengan ”KESEPIAN”.

Aku bersabat baik dengan ”KESEPIAN”, karena dengan ”KESEPIAN” aku akan lebih mensyukuri keberadaan orang-orang disampingku.

Terimakasih atas SEPI yang Engkau berikan.................


Yogyakarta, 26 Maret 2010, 00.48 WIB.

PLATONIC AFFECTION, Part.2

Akhir-akhir ini aku sering merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Perasaan yang selama ini ku simpan untuknya semakin mengabur. Aku menyayanginya, entah sampai kapan aku akan bertahan dengan perasaan seperti ini. Akupun tak dapat menjamin bahwa perasaan ini akan tetap mekar, karena seperti bunga suatu saat perasaan ini mungkin akan layu.

Kebingungan ini, mungkin adalah jawaban terbijak yang dapat aku berikan untuk hatiku, sambil memberi waktu menimbang dan menentukan sikap. Apakah aku akan tetap menunggunya, atau membiarkannya berlalu dan melupakannya.

Mengingatnya bagaikan membuka dua sisi kenangan yang saling berlawanan dan telah ku simpan baik-baik di ingatanku sampai saat ini. Tentang segala hal indah yang aku lewati bersamanya, juga tentang hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Semua tentangnya, olehnya, dan karenanya.

Dekat dengannya membuat aku semakin tahu bahwa dia adalah orang yang sangat tulus dan apa adanya. Dia sering melakukan banyak hal untuk ku dan temen-teman yang lain tanpa diminta. Hal-hal kecil, namun manis. Dia membawaku kepada teman-temannya dan berusaha agar aku diterima oleh mereka, dengan segala kekuranganku. Dan berkat dia, hingga saat inii aku masih berteman baik dengan teman-temannya, meskipun aku telah kehilangannya sebagai teman.

Kalau boleh aku menyesal, hal yang paling ku sesali dalam hidupku hingga saat ini adalah mencintainya. Karena mencintainya membuat aku kehilangan seorang sahabat istimewa. Dan kerena keistimewaannya itu pula aku menyayanginya.

Perasaan sayang yang ingin disampaikan hatiku untuknya, ternyata tidak dapat diterimanya sebagai maksud baik. Malah sebaliknya, entah mengapa dia menganggapnya sebagai suatu ancaman. Persahabatan yang kita jalin bertahun-tahun, seolah-olah tidak berarti lagi baginya. Karena kesalahanku. Kesalahan yang sebenarnya tidak aku sengaja.

Mungkin caraku untuk menyayanginya salah. Segala yang aku lakukan untuknya menjadi begitu berlebihan dimatanya. Rasa sayang mendorongku untuk berusaha melakukan dan memberi yang terbaik untuknya. Meskipun ternyata apa yang menurutku baik, belum tentu baik menurutnya.

Aku menyayanginya bukan kerena apa-apa, tapi karena rasa sayang itu tumbuh dengan sendirinya. Dan semakin subur seiring dengan waktu dan kedekatanku dengannya. Kedekatan sebagai sahabat.

Tiga tahun lebih aku menyembunyikan perasaan ini darinya. Menutup segala kesempatan, dan mencoba untuk tetap setia pada perasaanku. Bertahan pada sesuatu yang tidak pasti. Tapi di dalam ketidakpastian itu aku yakin, bahwa suatu saat perasaan ini akan sampai padanya. Bahwa aku menyayanginya tanpa syarat, bahwa aku bersedia menjadi penopang saat dia jatuh, bahwa aku siap menjadi teman saat susah maupun senang. Semua tanpa syarat, dan meluncur begitu saja dari hatiku. Dan tak pernah terucapkan, sampai sekarang.

“Cuma kata ini yang bisa ku ucap
Karena yang lain, aku bisu
Seperti kau yang membisu
karena ku.”


Dan selama kurun waktu tersebut, selain merasakan perasaan cinta yang begitu dalam, secara bersamaan aku merasakan sakit yang luar biasa. Mencintainya membuat aku harus siap untuk dibencinya. Sejak dia tahu perasaanku, sikapnya terhadapku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku menangkap sorot kebencian dari tatapan matanya. Sikapnya menjadi kasar dan dingin terhadapku. Setiap bertemu, kita tak lagi saling menyapa maupun bicara. Suasana menjadi kaku, membuatku sulit bernafas. Aku kehilangan kata, meski dada berkecamuk ingin berontak. Aku pun tak berani menatap matanya, karena melihat sorotnya yang penuh benci akan membuat hatiku semakin hancur. Mungkin rasa benci itu adalah wujud lain dari cintanya untukku, dan begitu pula rasa sakit yang aku rasakan ini merupakan perwujudan lain cintaku untuknya. Begitulah caraku untuk bertahan.

“…… Kita tak lagi terbiasa bicara di meja yang sama
Kita tak lagi terbiasa minum dari gelas yang sama,
Karena kita saling asing…

Aku yang (d)ingin,
Tak bisa menyapamu dalam kebekuan…”


Beberapa kali aku mencoba untuk minta maaf dan berharap bisa menjalin hubungan seperti dulu, sebagai sahabat. Aku berusaha memulainya, karena dalam hal ini aku merasa bahwa akulah yang bersalah karena mencintainya. Akan tetapi perasaan cinta yang pernah tumbuh di hatiku membuat aku dan dia menjadi sangat sensitive. Permasalahan kecil akan meledak menjadi sesuatu yang besar. Dan setiap kami mencoba untuk berdamai, selalu berakhir dengan pertengkaran-pertengkaran yang semakin memperburuk keadaan. Hingga akhirnya aku lelah, dan lebih memilih menyerah kepada keadaan. Sesuatu yang sebenarnya aku benci.

Selanjutnya, hari-hari kami lalui dengan saling menghindar. Meskipun terkadang, kondisi memang tak dapat dikontrol dan memaksa kami untuk bertemu. Pertemuan dengannya selalu dingin, mencekat, dan menyesakkan dada. Pertemuan dengannya membuatku kehilangan jati diri. Aku menjadi asing dengan diri sendiri, dan aku pun tak mengenalnya seperti dulu. Tak pernah ada kata terlontar dari mulut kami, kecuali basa basi yang sangat basi dan garing. Setiap kali mata kami bertemu, memicu letupan keras dijantung dan menjalar ke hati dan membuatnya bergejolak. Entah gejolak macam apa, aku pun tak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Aku hanya merasakannya... Dalam sekali hentak, rasa senang dan benci melebur jadi satu. Waktu seakan terhenti, ruang menjadi kosong, hanya aku dan dia, berdiri di sudut masing-masing. Tanpa kata... hanya pikiran-pikiran yang berkecamuk, bertanya-tanya pada diri sendiri, perasaan apakah ini? Tumbuh seperti benalu, membelit hati dan tak bisa lepas... Sungguh, kalau aku bisa, aku ingin sekali membencinya....

***********

PLATONIC AFFECTION, Part.1

Perhatian!!!
Perlu di ketahui bahwa cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan Nama Tokoh, Karakter, atau pun Kisah, penulis mohon untuk dimaklumi. Karena penulis hanya ingin berbagi kegelisahan dengan pembaca. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembaca, karena telah bersedia membaca tulisan ini.


Ini bukan seperti cerita dari negeri dongeng yang selalu berakhir bahagia. Karena ini adalah cerita tentang kehidupan nyata. Kehidupan yang keras dan sangat dekat dengan kita. Cerita ini tidak seindah “Kisah Romeo & Juliet” yang sangat dramatis dengan segala pengorbanannya, juga tak sepopuler kisah cinta ”Laila-Majnun”, yang selalu menjadi inspirasi berbagai generasi. Tak pernah ada kata cinta diantara kami. Tapi aku sangat yakin, bahwa diantara kami ada rasa sayang yang tak pernah terungkapkan. Abstrak. Dan bagiku, tak ada yang lebih indah dari itu. Platonic Affection...............

*******


PLATONIC AFFECTION

Part.1

Kami pertama kali bertemu di komunitas seni kampus yang hampir vakum. Komunitas underground yang dianggap telah mati oleh birokasi, tapi anggotanya masih bergentayangan tanpa peduli kejelasan status organisasi. Layaknya seniman tulen, mereka pun alergi dengan segala hal yang berbau birokrasi.

Berkenalan dengannya, membawaku menjelajahi dunia baru yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Dia banyak bercerita tentang sejarah, tentang kebesaran Indonesia, negara yang amat dicintainya. Tentang tokoh kebanggaannya, Soekarno, dan tentang penyair kesayangannya, Chairil Anwar.

Karena dia, aku menyadari bahwa apa yang ku pahami selama ini tentang dunia, adalah salah. Ternyata dunia tidak dalam kondisi baik, seperti yang ada dalam pikiranku.

Dia mengajariku lebih sensitif dengan sekitar. Dia mengajariku tentang kepekaan, tentang cara berbagi dan cara bersabar. Bersamanya aku belajar “Menentang Segalanya”. Bahkan Kematian pun kita Tentang! Seperti judul sajaknya, “Tentang Kematian” yang masih ku simpan hingga saat ini.

Dulu, dia pernah memintaku membacakan sajak itu. Namun, sampai saat ini aku belum berhasil menundukkan sajak itu untuknya.

Seringkali, kami menaklukan malam bersama. Dengan secangkir kopi dan obrolan-obrolan ringan tentang kehidupan. Semakin lama, aku semakin mengenalnya dengan baik.

Kami saling support dalam banyak hal. Dia adalah salah satu partner handal, yang pernah bekerja bersamaku. Bersama beberapa kawan, kami membangun kembali komunitas kami yang hampir punah. Tidak hanya itu, dia selalu mendukungku selama aku mengemban tanggung jawab besar di komunitas kami. Karena kami sama-sama memiliki keinginan yang kuat untuk kemajuan komunitas kami, maka tak jarang kami bersilang pendapat. Namun itulah yang membuat komunitas kami jadi lebih hidup dan berwarna.

Aku pun demikian, entah sejak kapan aku menjadi begitu peduli dengannya. Aku tak rela jika dia bermasalah dengan siapa pun atau dengan apa pun, termasuk dengan kuliahnya. Setiap pagi aku mengingatkannya untuk kuliah, membangunkannya, dan mengingatkan jadwal-jadwalnya. Meskipun kadang-kadang dia tak meresponku, dan tetap menuruti sikap keras kepalanya.

Bukannya aku tak mau mengerti, tapi kadang manusia tidak harus selalu mengikuti kehendak hatinya. Seperti air, terkadang kita juga harus mengalir, menerobos, melewati sela-sela batuan, siap jatuh sebagai air terjun, menempuh perjalanan jauh dan melelahkan dari hulu ke hilir, sebelum akhirnya bermuara ke Laut. Sama halnya dengan air, untuk sampai ke ”Laut” nya, manusia juga harus berjuang keras, berani menjalani pilihan hidup yang sudah menjadi pilihan, berani sakit, berani capek, untuk mendapakan tujuan hidupnya. Bukan malah menyerah kepada nasib.

Begitulah, kenangan-kenangan tentangnya masih terasa begitu hidup dalam memoriku. Kenangan-kenangan itu membangun dunianya sendiri dihatiku, dengan benteng-benteng yang kokoh dan sulit untuk ditembus, apalagi disingkirkan.

Karena itu, biar kubagi cerita ini kepada semua orang. Sehingga suatu saat nanti, dia akan pergi dengan sendirinya dari hatiku.

********

BERSAHABAT DENGAN BANJIR ALA MASYARAKAT KAMPUNG CODE

Hasil Wawancara dan ditulis oleh: 
Laily Agustina Rahmawati
09/290542/PMU/05966
S2- Ilmu Lingkungan UGM
3 Desember 2010

1.       Latar Belakang
Kampung Code merupakan permukiman padat penduduk yang terletak disepanjang bantaran Sungai Code. Padatnya bangungan dan buruknya sanitasi membuat kawasan ini dianggap sebagai kawasan kumuh (slumb area), sedang lokasi pembangunan permukiman yang tidak sesuai tata ruang membuat permukiman tersebut dianggap illegal. Pasalnya, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lahan di bantaran Sungai Code sebenarnya diperuntukkan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), bukan permukiman.
Lokasi permukiman Code, masih berada di badan Sungai Code. Artinya, penduduk Code menempati lahan-lahan kosong di badan sungai, pada ketinggian > 3 meter dari titik sungai terendah. Lokasi tersebut dipilih, karena pada kondisi biasa daerah tersebut relative aman dari aliran air sungai. Namun pada kondisi tertentu, misalnya: saat terjadi curah hujan tinggi, atau terjadi aliran lahar dingin akibat aktifitas Gunung Merapi, daerah tersebut rawan terjadi banjir. Aliran lahar dingin membawa berbagai material dalam jumlah besar, terutama batu dan pasir, yang diendapkan di dasar sungai, sehingga sungai mengalami pendangkalan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Banjir bagi masyarakat kampong Code bukan hal yang baru lagi, bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Bagaimana pun juga mereka harus siap menanggung resiko banjir, sebagai konsekwensi tinggal di kawasan tersebut. Persepsi umum menganggap bahwa masyarakat Code nekat dan menantang bahaya. Tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Code tergolong rendah, dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, mungkin menjadi alasan utama mereka tetap bertahan. Selain itu pemerintah juga turut andil dalam menjadikan masalah permukiman Code semakin komplek dan berlarut-larut. Sejak awal pemerintah kurang tegas, dengan melakukan pembiaran terhadap permukiman yang mulai muncul. Akibatnya saat ini, permukiman telah terlanjur berkembang semakin banyak dan padat, sehingga untuk merelokasi mereka pun tidak mudah dan menjadi masalah yang dilematis, karena menyangkut hajat hidup banyak orang.
Ekologi manusia, sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1983 dalam Ritohardoyo, 2006), juga mengkaji respon manusia terhadap fenomena alam, termasuk di dalamnya bencana berupa banjir. Respon ini penting sebagai upaya manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar tetap bertahan hidup. Melalui wawancara, mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan diharapkan menggali lebih jauh mengenai persepsi masyarakat Code mengenai bencana banjir, dan upaya mereka dalam merespon bencana  banjir.

2.       Tujuan
Tujuan penulisan paper ini untuk melaporkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Code untuk menggali informasi tentang persepsi dan respon mereka dalam menghadapi bencana banjir, terkait aliran lahar dingin akibat aktifitas Gunung Merapi yang terjadi akhir-akhir ini.

3.       Metode
Informasi diperoleh melalui deep interview terhadap salah satu warga yang tinggal di bantaran Sungai Code.

4.       Hasil Wawancara
Wawancara di lakukan terhadap Bapak Budi Hartono (41 tahun), warga Gondolayu Lor Rt.57. Gondolayu Lor merupakan salah satu dukuh yang sering mengalami banjir, pada saat Sungai Code meluap, terutama Rt. 57 dan Rt. 56. Rumah paling tepi di dukuh ini hanya berjarak 2 meter dari talud. Pembangunan talud sejak tahun 2000 sangat membantu warga dalam mencegah naiknya air sungai ke permukiman  penduduk.






                          Gambar 1. Bapak Budi Hartono (kiri), Mbah Purwoatmojo (kanan)
                                                   Sumber: Koleksi Pribadi (2010)

Bapak Budi Hartono, merupakan salah satu tokoh masyarakat setempat dan menjabat ketua ranting salah satu partai politik. Beliau berprofesi sebagai wiraswasta, dengan pendidikan terakhir SMA. Beliau tinggal dengan istri, 2 orang anak, dan kedua orang tuanya yang berusia lanjut, dan menjadi saksi sejarah awal mula perkembangan permukiman di bantaran sungai Code.
Rumah yang ditempati Bapak Budi saat ini, sudah berdiri sejak tahun 1955, atau sekitar 45 tahun yang lalu, sejak orang tuanya pertama kali pindah ke Yogyakarta. Rumah mereka berukuran 8x12 m, dan berjarak 25 meter dari talud. Kondisi rumah sangat sederhana, dengan bangunan semi permanen, dan lantai plester. Di bagian ruang tamu banyak dijumpai kardus-kardus bantuan, karena ternyata Bapak Budi Hartono merupakan orang yang mengkoordinir bantuan untuk warga setempat, pasca peristiwa banjir lahar tanggal 27 Nopember 2010.
Gambar 2. Kondisi lingkungan permukiman warga Gondolayu Lor Rt. 56
Sumber: Koleksi pribadi (2010)

Cerita mengenai awal mula perkembangan permukiman Code, diperoleh dari penuturan Mbah Purwoatmojo (85 tahun), ayah dari bapak Budi. Mbah Purwoatmojo mengaku  berasal dari Kulonprogo dan pindah ke Yogyakarta untuk mengadu nasib. Mbah Purwoatmojo adalah seorang guru seni, yang sering mengisi acara kesenian untuk upacara-upacara kebudayaan Jawa di Keraton Ngayogyokarto. Beliau mengajar seni tari dan gamelan, serta mahir dalam melantunkan tembang Mocopat, Panembromo, dan memainkan karawitan. Mocopat dan penembromo, merupakan lagu-lagu berbahasa Jawa, sedang karawitan merupakan seni musik atau gamelan jawa.
Gambar 3. Mbah Purwoatojo sebagai Guru Seni di Keraton Ngayogyokarto
Sumber : Koleksi pribadi (2010)

Menurut Mbah Purwoatmojo, beliau termasuk salah satu orang yang pertama membangun rumah di bantaran sungai Code, atau bisa disebut dengan istilah “mbabat alas”. Pertama kali Mbah Purwoatmojo datang ke lokasi tersebut, yang beliau jumpai adalah lahan kosong yang sangat luas menyerupai lapangan sepak bola. Lahan tersebut hanya ditempati satu rumah, sebagian kecil lahan telah dimanfaatkan untuk berkebun, sebagian besar lahan sisanya masih belum dimanfaatkan. Mbah Purwoatmojo, dengan 4 orang saudaranya, membeli tanah di lokasi tersebut dari Mbah Wongso Winangun (104 tahun), yang mengaku pengelola lahan ”Wede Kengser”, yaitu lahan milik pemerintah yang tak bertuan. Pembelian tanah pada saat itu, tanpa sertifikat. Sejak itulah, Mbah Purwoatmojo dan saudara-saudaranya, tinggal menetap dan memulai hidup baru di Yogyakarta.
Banjir menjadi salah satu masalah yang akrab dengan masyarakat Code. Menurut penuturan Mbah Purwoatmojo, selama tinggal di sana beliau telah mengalami 3 kali banjir besar, yakni tahun 1969, 1983, dan 2010 sebagai yang terbesar. Kejadian banjir besar, biasanya terkait erat dengan aktifitas Gunung Merapi. Letusan Gunung Merapi menyebabkan lava dalam perut bumi mengalir keluar. Ketika terjadi hujan, lava tercampur dengan air hujan dan mengalir sebagai lahar dingin mengikuti pola aliran sungai radial, turun dari puncak gunung ke lembah-lembah sungai yang berada di lereng. Material yang terangkut lahar dingin, sebagian besar berupa batu dan pasir. Batu dengan ukuran besar dan massa berat, akan tertinggal di bagian atas atau hulu sungai. Semakin ke hilir, material yang terbawa aliran semakin kecil dan ringan, termasuk pasir.
Gambar 4. Kondisi Sungai Code pasca Banjir Lahar
Sumber: Koleksi pribadi (2010)

Hal ini juga dijumpai di badan Sungai Code, yang melewati dukuh Gondolayu Lor. Akibat aktifitas Gunung Merapi mulai tanggal 26 Oktober 2010 hingga saat ini, telah menyebabkan pendangkalan sungai sebesar 2,75 m, dari 3,5 m menjadi 75 cm. Mulai dasar sungai hingga ketinggian 2,75 m, telah dipenuhi oleh material pasir bercampur lumpur. Ini menyebabkan, tanggal 27 Nopember 2010, banjir lahar dingin melanda warga perkampungan Code, termasuk Gondolayu Lor, meskipun curah hujan tidak terlalu besar. Ruang badan sungai yang tersedia untuk aliran lahar dingin menyempit, sehingga sungai meluap membanjiri rumah-rumah penduduk.
Banjir lahar dingin, terjadi pada hari Sabtu, 27 Nopember 2010, jam 16.30 WIB. Pada saat banjir terjadi, warga telah bersiap, karena sudah ada peringatan sebelumnya dari Posko Mboyong yang memantau Sungai Gendol yang berada di atas. Warga sudah diminta untuk naik, ke daerah yang lebih tinggi, meskipun sebagian warga masih tetap tinggal karena ingin memantau kenaikan air sungai secara langsung. Jauh sebelum peristiwa tersebut terjadi, warga telah mengantisipasi kejadian banjir lahar dingin terkait aktifitas Merapi yang semakin meningkat.
Warga masyarakat telah berkordinasi membentuk Posko Tanggap Bencana, untuk mempersiapkan upaya-upaya sebelum, pada saat, dan setelah terjadi bencana. Mereka telah siap menentukan rute kemana mereka akan lari, ketika banjir lahar dingin terjadi. Bapak Budi Hartono, selaku tokoh masyarakat, telah menjalin komunikasi dengan beberapa pihak untuk mengakses bantuan, baik sebelum, maupun sesudah terjadi bencana. Sebelum bencana, warga Gondolayu Lor telah menerima bantuan berupa karung-karung untuk diisi pasir dari SCTV. Karung tersebut digunakan sebagai tanggul buatan untuk memperkokoh dan mempertinggi talud. Selain itu, beliau juga menjalin komunikasi dengan posko-posko lain yang berada di lereng atas, untuk meng-update informasi mengenai kondisi terkini Sungai Code.
Gambar 5. Karung-karung bantuan SCTV yang telah diisi pasir untuk memperkokoh tanggul
Sumber: Koleksi Pribadi (2010)

Saat warga Gondolayu lor terkena banjir lahar, serta merta rumah mereka tergenang air hingga ketinggian 4 m. Secara otomatis, rumah yang paling dekat dengan talud dan terletak paling rendah, tenggelam hampir sampai atap rumah. Warga menyingkir ke atas, untuk menyelamatkan jiwa mereka. Setelah ketinggian banjir menurun, banjir menyisakan lumpur bercampur pasir setinggi satu jengkal atau sekitar 20 cm. Karena rumah mereka terendam air, bersama alat rumah tangga mereka, termasuk kompor, warga kesulitan untuk memasak. Sehingga malam saat kejadian, Bapak Budi Hartono, mengajukan bantuan ke KFC agar bersedia menanggung makan malam warga, karena kebetulan lokasi rumah makan tersebut sangat dekat dengan lokasi bencana. Untuk hari-hari berikutnya, berbagai bantuan barang, tenaga, maupun uang pun berdatangan. Bantuan barang, sebagian besar berupa sembako, dan makanan siap makan. Bantuan tenaga dibutuhkan pada hari kedua, setelah banjir terjadi, untuk membantu membersihkan sisa lumpur, meskipun antar warga masyarakat Gondolayu sendiri sudah melakukan gotong-royong. Bantuan berupa uang diperlukan untuk membeli bensin, sebagai bahan bakar mesin diesel untuk menyedot air yang menggenangi daerah tersebut, dan menyedot air yang memenuhi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal mereka.
Gambar 6. IPAL Komunal terendam pasir dan lumpur pasca banjir lahar dingin
Sumber: Koleksi pribadi (2010)

Instalasi Pengolahan Air Limbah komunal, merupakan  kebanggaan warga Gondolayu Lor Rt.56. IPAL komunal dibangun atas inisiatif warga dengan dana swadaya. Fungsi IPAL komunal adalah mengelola limbah dari septictank rumah tangga, mengumpulkannya, dan mengolahnya melalui beberapa tahap pengolahan, sehingga pada outlet terakhir, air limbah tidak lagi kotor dan mencemari sungai. Pembuatan IPAL komunal merupakan salah satu upaya memperbaiki system sanitasi masyarakat Code yang terkenal buruk. Selain itu, IPAL komunal yang dikelola warga juga menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan warga sendiri. Atas prestasi warga Gondolayu Lor RT. 56 dalam membangun IPAL komunal, mereka pernah mendapat Juara II tk. Provinsi, dan dijadikan sebagai proyek percontohan. Namun, peristiwa banjir kemarin menyebabkan IPAL komunal mereka terendam air, dan saluran pembuangan mereka tersumbat.
Menurut pengakuan Pak Budi Hartono, konflik sosial jarang terjadi di sana. Kebanyakan mereka masih menganut cara hidup desa, yang guyup dan rukun. Adapun permasalahan yang pernah muncul, dapat mereka selesaikan dengan kekeluargaan. Misalnya konflik dengan warga Terban pada saat pembangunan talud. Gondolayu dan Terban merupakan dua dukuh bertetangga, dipisahkan oleh aliran Sungai Code. Letak kedua dukuh tersebut bersebrangan. Pada saat talud Sungai Code dibangun, tahun 2000, jika mengikuti pola aliran sungai, seharusnya talud dibangun diatas tanah warga Terban dengan mengambil I meter lahan disepanjang sungai sejajar dengan bibir sungai. Namun ternyata penduduk Terban menolak memberikan 1 meter tanahnya untuk pembangunan talud. Selanjutnya masalah ini dikomunikasikan dengan warga Gondolayu, dengan kesepakatan akhir warga Gondolayu bersedia memberikan tanah mereka untuk pembangunan talud. Mereka sadar betul, bahwa talud dibangun untuk keamanan mereka.
Gambar 7. Permukiman warga Gondolayu Lor dilihat dari atas jembatan
Sumber: Koleksi pribadi (2010)

Sebagian besar warga masyarakat Gondolayu Lor Rt. 56 masuk dalam kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka hidup sederhana, namun rasa kekeluargaan dan gotong royong diantara mereka sangat kental. Ini terlihat pasca banjir, mereka saling membantu membersihkan sisa-sisa lumpur yang menumpuk dirumah mereka secara bergantian. Banjir dianggap sebagai hal biasa, dan telah menjadi bagian hidup mereka. Sehingga raut kesedihan atau kepanikan, sama sekali tidak tampak di wajah mereka. Mereka tetap menjalani hidupnya dengan wajar, tanpa ada keinginan untuk pindah ke tempat lain yang lebih aman dan tidak beresiko. Mereka memandang banjir tidak selalu sebagai musibah, namun juga berkah. Karena pasca banjir, mereka berharap dapat memanfaatkan pasir yang ada di sungai Code untuk mereka jual.
Besarnya pemakluman-pemakluman mereka terhadap alam, membuat kehidupan masyarakat Code yang sederhana menjadi harmoni. Mereka tampak bahagia dan menerima kondisi mereka dengan rasa syukur. Mereka bukan kumpulan orang keras kepala yang tidak tahu aturan dan menantang bahaya. Tapi keterbatasan merekalah yang membuat mereka tidak mempunyai banyak pilihan. Mereka memilih menetap disana, karena mereka merasa punya hak milik. Mereka merasa telah membeli tanah itu dengan sah, dan mengaku telah mengurus sertifikat tanah mereka, namun belum juga keluar sampai saat ini. Kesederhanaan berfikir dan rendahnya tingkat pendidikan, membuat mereka dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mencari keuntungan. Seperti yang kita tahu, bahwa sertifikat kepemilikan tanah tersebut tidak mungkin akan keluar, mengingat status tanah yang mereka tempati adalah tanah milik negara yang sebenarnya difungsikan untuk RTH, bukan untuk permukiman.

5.       Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil wawancara ini adalah bahwa warga Gondolayu Lor sebagai bagian dari masyarakat Code, memandang banjir tidak semata-mata sebagai musibah, tapi juga sebagai berkah. Mereka menganggap banjir telah menjadi bagian hidup mereka, yang harus dihadapi dengan bijaksana dan cerdas sebagai konsekwensi. Banjir disambut warga Gondolayu Lor dengan kesiap siagaan. Mereka telah menyiapkan upaya-upaya sebelum, pada saat, dan setelah banjir. Diluar itu, mereka juga telah memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi. Mereka tahu, bahwa masalah utama Sungai Code adalah pencemaran limbah rumah tangga. Maka, untuk berdamai dengan Sungai Code mereka membangun IPAL komunal, agar limbah septicktank yang mereka buang tidak lagi mencemari Sungai Code.

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS EKOREGION KABUPATEN KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh: Laily Agustina Rahmawati
Prodi Ilmu Lingkungan SPS UGM

1.      Latar Belakang
Lingkungan hidup, menurut UU No.32 tahun 2009, diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya dukung, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Manusia dalam lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai subjek maupun objek. Sebagai subjek, manusia manjadi kunci yang memicu terjadinya kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, selain itu upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan sangat tergantung pada perilaku manusia. Sedang sebagai objek, manusia akan terkena dampak, jika lingkungan hidupnya rusak atau terganggu. Karena manusia membutuhkan lingkungan hidup untuk menyokong kehidupannya, maka hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan harus dijaga. Tindakan riil dalam menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan diwujudkan melalui upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (UU No.32 tahun 2009). Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang termuat dalam UU No.32 tahun 2009, dilatar belakangi oleh kegagalan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Paradigma lingkungan belum diintegrasikan ke seluruh sektor pembangunan, baik sektor energi, pengelolaan sumber daya alam, pertanian, perkebunan, tata ruang, dan juga infrastruktur. Akibatnya, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan di Indonesia terjadi secara intensif dan massif, misalnya: tingginya laju deforestasi hutan (2 – 2.5 juta ha/ tahun) terkait erat dengan tingginya angka kejadian bencana (1429 kejadian, tahun 2003-2005), dimana 34% bencana berupa banjir, dan 16 % longsor (RANPI, 2007). Bencana-bencana tersebut dipicu oleh ulah manusia dalam mengeksploitasi hutan dan merusak daerah resapan air.
Pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus di dasarkan pada kaidah ekologis, dengan mempertimbangkan jasa dan fungsi ekosistem, karakteristik sumberdaya alam, kondisi geografis, budaya masyarakat, dan kearifan lokal, yang disebut sebagai konsep ekoregion (Penjelasan UU No.32 tahun 2009, huruf h). Konsep ekoregion menekankan pada upaya sinergi dan integral dalam menjalankan fungsi pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hokum, di suatu wilayah, yang ditetapkan berdasarkan kesamaan karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, keanekaragaman hayati (flora-fauna), sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat dan hasil inventarisasi lingkungan hidup (UU No.32 tahun 2009).

2.      Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) berbasis ekoregion, di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta.

3.      Kerangka Pemikiran


“THE SILENT KILLER SMOG” DONORA, PENNSYLVANIA, USA 1948 (Polusi Udara Terburuk di Amerika Serikat)

Oleh : Laily Agustina Rahmawati

1.      Pendahuluan
Kasus pencemaran udara kerap kali terjadi di berbagai belahan dunia. Salah satu kasus pencemaran udara akibat aktifitas manusia terparah, pernah terjadi di Donora, Pennsylvania, AS tahun 1948. Peristiwa pencemaran udara ini dianggap terburuk di AS karena menewaskan 20 nyawa manusia, ratusan hewan ternak mati, tumbuhan-tumbuhan layu, dan 6000 orang menderita mual, muntah, dan sesak nafas sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Oleh karena itulah, beberapa ahli ekologi menganggap peristiwa ini sebagai salah satu bentuk krisis ekologi yang pernah terjadi dalam peradaban manusia.
Peristiwa ini terjadi akibat terbentuknya lapisan inversi, dimana udara yang dekat dengan tanah suhunya lebih dingin dari pada udara yang berada diatasnya, pada kondisi atmosfer normal, dan membentuk lapisan. Gas polutan yang berasal dari asap pabrik peleburan baja, dan pabrik-pabrik lain yang berada di lembah sungai Monongahela, tempat Donora berada, terperangkap di bawah lapisan inversi bersama udara dingin yang stagnan dan tidak dapat keluar. Akibatnya gas polutan menyelimuti kota Donora, membentuk kabut asap tebal, menghalangi pandangan dan membuat orang sesak nafas.

2.      Deskripsi Wilayah Donora, Pennsylvania
Donora merupakan sebuah kota industri kecil di Washington County, Pennsylvania. Terletak 32 km sebelah selatan Pitssburg, di lembah sungai Monongahela.  Secara geografis, Donora terletak 40° 10' 33,16" LU, 79° 51' 40,55" BB. Menurut Biro Sensus AS, luas total wilayahnya sekitar 5.2 km² dengan 4.9 km² diantaranya berupa daratan dan 0.5 km² berupa perairan (www.eoearth.org).
Pada awal sejarahnya, Donora merupakan kota industri penghasil baja, kawat-kawat, dan pertambangan batubara. Tahun 1948, jumlah penduduk Donora mencapai 14000 orang, dan 6500 diantaranya bekerja untuk American Steel & Wire Co dan Zink Donora Work (en.wikipedia.org). Pabrik tersebutlah yang turut bertanggung jawab atas terjadinya kabut tebal mematikan, yang merupakan kasus pencemaran terbesar di AS.




























3.      Kronologis Kejadian
Kejadian ini dimulai tanggal 27 Oktober 1948, kabut asap tebal mulai menyelimuti kota Donora, di lembah sungai Monongahela. Setelah 24 jam munculnya kabut asap, dilaporkan banyak penduduk Donora yang mengalami batuk-batuk dan berlanjut dengan kesulitan bernafas akibat keberadaan kabut yang semakin menebal. Hari-hari berikutnya, jumlah penduduk yang mengalami gangguan pernafasan semakin banyak. Sehingga seluruh rumah sakit yang ada di kota tersebut dipenuhi oleh pasien yang menderita pusing, mual, muntah, sesak nafas, bahkan ada yang sekarat dan mati. Kondisi ini berlanjut hingga tanggal 31 Oktober 1948, dengan jumlah korban yang semakin meningkat dari hari ke hari.














Kabut asap siang hari di sebuah jalan di Donora, Pennsylvania, 1948.
Sumber: © Pittsburgh Post-Gazette

Selama empat hari kejadian,Tim Pemadam Kebakaran Donora menyiapkan 800 feet³ oksigen untuk membantu pasien yang kesulitan bernafas. Delapan dokter dari Donora Medical Assosiation bersiaga menangani pasien yang berdatangan dalam jumlah yang tidak lazim, dengan gejala penyakit yang sama.
Aktifitas penduduk kota lumpuh total, karena kabut asap tebal menghalangi pandangan. Penduduk yang berusaha melarikan diri keluar kota, tidak berhasil karena kesulitan dalam mengendarai kendaraan akibat keterbatasan jarak pandang. Karena itu, penduduk seolah-olah terjebak di kota yang telah terkepung oleh kabut asap tebal.










Sumber: DevraDavis.com

Melihat kondisi yang semakin parah, Dewan Kota Donora berinisiatif menekan pengelola pabrik-pabrik Peleburan Baja, kawat, dan pertambangan batu bara, termasuk diantaranya American Steel & Wire Co dan Zink Donora Work, untuk berhenti beroperasi. Karena mereka menduga, bahwa kabut asap yang timbul berasal dari asap pabrik hasil pembakaran batu bara. Pada mulanya, para pengelola pabrik menolak, akan tetapi karena banyak permintaan dari dokter dan penduduk, pengelola pabrik akhirnya menuruti untuk menutup pabrik dan menghentikan operasi (Peterman, 2009).













Pabrik Donora menyemburkan asap dan zat-zat lainnya
Sumber: Smog Donora Museum Picture.


4.      Dampak
Meskipun hanya berlangsung lima hari, peristiwa ini menyebabkan 20 orang meninggal, 6000 orang lainnya menderita mual, muntah, dan sesak nafas, 800 ekor hewan ternak dan peliharaan mati, dan hampir seluruh vegetasi yang ada di wilayah tersebut layu dan mati (en.wikipedia.org). Penduduk yang meninggal rata-rata berusia 52-85 tahun (Peterman, 2009). Kematian disebabkan karena udara terpolusi oleh belerang oksida, asam sulfat, nitrogen oksida, flour dan gas lainnya yang bersifat toksik. Gas-gas tersebut ketika terhirup oleh manusia atau hewan melalui respirasi, akan mengganggu pengikatan oksigen oleh haemoglobin, sehingga respirasi seluler terganggu yang diwujudkan dengan terjadinya sesak nafas. Selain itu, korban meninggal kabanyakan memiliki sejarah masalah kesehatan. Sehingga pada kondisi buruk seperti yang terjadi saat itu, mereka tidak dapat bertahan.
Selama kurun waktu 5 hari, kota diselimuti kabut asap tebal yang menghalangi datangnya sinar matahari yang dibutuhkan tumbuhan untuk fotosintesis. Akibatnya proses fotosintesis tumbuhan terganggu, dan tumbuhan menjadi layu. Selain itu, adanya lapisan inversi, menghalangi pertukaran oksigen dari lapisan udara yang berada di bawah lapisan inversi (miskin oksigan) dengan lapisan udara yang berada diatas lapisan inversi (kaya oksigan). Karena digunakan untuk respirasi terus menerus, stok oksigen yang ada di bawah lapisan inversi semakin menurun. Sehingga kompetisi untuk mendapat oksigen meningkat. Alasan ini juga yang menyebabkan sebagian besar penduduk kota Donora merasa kesulitan bernafas..

5.      Analisa Penyebab Kejadian Ditinjau dari Aspek Meteorologi
Peristiwa ini bermula pada tanggal 26 Oktober 1948, ketika badai pantai timur digantikan oleh angin antisiklon dingin yang berasal dari baratdaya. Pendinginan tanah tanah secara intensif di daerah lembah sungai Monongahela, meningkatkan inversi antisiklon dan memperangkapnya di dalam lembah. Dan kemudian udara bertekanan tinggi, stagnan di atas daerah Pennsylvania selama lima hari, hingga 31 Oktober 1948. Selama periode stagnansi tersebut, angin antisiklon bergerak beberapa ratus kilometer, dan meningkatkan lapisan inversi ke daerah yang lebih luas (seperti terlihat digambar dibawah ini).














Penduduk yang tinggal di tengah kota Donora mengalami kematian dan menderita gangguan kesehatan dengan laju tinggi dan tidak wajar. Ini disebabkan karena kondisi ventilasi yang buruk diperparah oleh kondisi meteorologi lokal dan polusi udara dari asap pabrik. Kondisi Donora saat itu digambarkan diselimuti kabut asap tebal, cuaca buruk, dan suasana mendung (gelap) yang terjadi sepanjang hari. Kabut menjadi semakin tebal dan pekat, karena udara yang terperangkap ditambah terus-menerus oleh polusi asap pabrik yang pada awalnya tidak mau berhenti beroperasi. Udara berbau menyengat dan membuat mual, karena mengandung sulfur dioksida yang berasal dari hasil pembakaran batu bara dan peleburan baja. Kabut asap yang mengandung polutan tidak beranjak dari daerah itu selama lima hari. Kondisi  ekstrim ini bertahan dan menciptakan micrometeorologi yang ganjil.
Kemiringan lereng di lembah sungai Monongahela meningkat secara tajam pada ketinggian 100 m ke arah timur Webster, dan disebelah barat Donora peningkatan kemiringan lereng tidak terlalu tajam. Dataran yang ada di dasar lembah membentuk drainage basin untuk pergerakan angin lereng-bawah (downslope) dingin yang bertiup pada malam hari. Pada saat kejadian, Ground-based inversion diperkuat oleh pendinginan radiasional pada lantai lembah, dan bersama-sama menghasilkan suhu inversi yang kuat dengan gradien suhu 33 °C pada tiap ketinggian 1 kilometer, seperti hasil pengukuran yang dilakukan setelah kejadian berlangsung.
Malam hari tanggal 25 Oktober 1948, tanah menjadi dingin dan kelembaban relatif tinggi terjadi karena badai antisiklon dingin yang terjadi sebelum peristiwa itu, dengan cepat membuat kondisi jenuh di daerah yang lebih rendah. Evaporasi yang terjadi terus menerus, kelembaban udara meningkat dan konsentrasi aerosol yang tinggi dalam udara yang terpolusi mendorong terbentuknya droplet air dalam jumlah besar. Kabut yang terbentuk dekat dengan tanah karena kestabilan kenaikan lapisan inversi.
Pada kondisi tersebut, kabut asap mengabsorbsi seluruh radiasi thermal bumi yang dekat dengan tanah dan menghalangi perkembangan lebih jauh inversi radiasional ground-based. Lapisan kabut asap yang lebih tinggi melanjutkan radiasi energi mereka ke udara dan kemudian menjadi dingin. Pendinginan juga ditemukan pada lapisan yang lebih tinggi, diatas awan stratus. Karena lapisan atas kabut menjadi dingin, profil suhu dibawah berubah menjadi tidak stabil. Sejak udara menjadi jenuh, laju perubahan yang tidak stabil akan tetap terjadi jika penurunan suhu pada setiap ketinggian lebih besar daripada laju perubahan kebasahan adiabatic sekitar 6 °C/Km. Pada malam hari mungkin terjadi pencampuran umum polutan akibat dingin. Lapisan kabut bagian atas yang tebal menghilang dan digantikan dengan udara yang lebih hangat dari bawah. Lapisan inversi yang stabil berperan seperti selimut yang mengurung kabut dan memendam polutan. Terjadinya kenaikan inversi suhu dapat dilihat pada gambar berikut ini:














Pada kondisi biasa, kabut akan pergi setelah ada sinar matahari menembus kabut dan menghangatkan tanah. Peningkatkan konveksi, akan menghilangkan lapisan inversi. Tapi hal ini tidak terjadi pada saat itu, karena kondisi kabut yang terlalu tebal. Lapisan bagian atas memantulkan sebagian besar energi matahari. Albedo dari awan stratus sama halnya kabut, tergantung pada ketebalannya. Beberapa pengukuran mengindikasikan albedo dari awan stratus bervariasi antara 40% untuk ketebalan 150 m hingga 80% untuk ketebalan 500 m. Pada setiap kenaikan awan, hanya sedikit radiasi yang diserap, yakni sekitar 7% untuk awan yang tebal. Sebagian besar diabsorpsi dilapisan yang lebih tinggi. Jika terjadi pemanasan yang cukup besar, itu terjadi pada lapisan kabut bagian atas, dan hasilnya adalah kesetabilan udara di dalam kabut meningkat (gambar 6.9 (b)). Lambatnya pemanasan tanah, diikuti oleh laju perubahan yang stabil, memperkecil konveksi energi ke arah atas yang akan menghangatkan udara dan menguapkan droplet-droplet kabut. Stabilitas dietime di dalam kabut ditentukan oleh akumulasi polutan (www.aerosoleas.gatech.edu).
Kabut pada akhirnya menghilang karena 2 hal, yang pertama karena ditutupnya pabrik-pabrik yang ada di Donora, termasuk diantaranya American Steel & Wire Co dan Zink Donora Work yang diduga menghasilkan gas polutan dalam jumlah besar sehingga meningkatkan ketebalan dan ketoksikan kabut ketika dihirup. Penyebab kedua adalah terjadinya badai yang bergulir ke kota, pada 31 Oktober 1948. Badai dianggap telah menyelamatkan kota karena memecahkan inversi suhu yang dimulai pada minggu terakhir bulan Oktober. Inversi suhu merupakan kondisi yang tidak biasa, karena biasanya suhu udara akan meningkat seiring dengan ketinggian. Namun dalam kasus ini udara dingin terperangkap dekat dengan tanah, dan udara hangat berada di atasnya. Dalam Weather Channel Dokumenter, ahli meteorologi DeNardo Joe mengatakan bahwa terjadinya suhu inversi diperumpamakan seperti meletakkan rokok di dalam mangkuk dan kemudian meletakkan sebuah selimut di atasnya. asap terus-menerus mengisi mangkuk dan tidak memiliki cara untuk keluar (Peterman, 2009).
Analisis para peneliti menunjukkan bahwa udara mengandung polutan dalam konsentrasi tinggi. Polutan tersebut berasal dari gas yang diemisikan oleh pabrik-pabrik, terutama peleburan baja dan seng. Hasil penelitian menunjukkan tingkat fluorin yang ada dalam tubuh korban dalam kisaran mematikan, sebanyak 20 kali lebih tinggi dari biasanya. Gas fluor yang dihasilkan dalam proses peleburan seng terjebak oleh udara stagnan dan merupakan penyebab utama kematian (Peterman, 2009).

6.      Penutup
Sebagai akibat dari tragedi di Donora, AS mulai melakukan tindakan informatif kepada masyarakatnya tentang polusi yang dihasilkan oleh industri dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Sejak peristiwa tersebut, penggunaan batubara untuk bahan bakar dilarang dan digantikan dengan gas alam yang pada saat itu dianggap lebih ramah lingkungan. Pada 1952, penggunaan batubara pada lokomotif dan kapal laut digantikan dengan mesin disel. Sehingga tahun 1955, hampir 97 persen emisi di Pittsburgh dapat diturunkan (Lowitz et al, 2007).
Selain itu, pemerintah negara bagian Pennsylvania membentuk Divisi Pengendalian Pencemaran Udara pada tahun 1949 untuk mempelajari kualitas udara dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Peraturan negara bagian, tentang udara bersih telah ditetapkan pada tahun 1966. Dan di tahun 1970, badan legislatif Pennsylvania menyepakati "Environtmental Bill of Rights," yang menyatakan bahwa setiap orang punya hak atas udara yang bersih (Lowitz et al, 2007).











Refferensi:
Anonim.(......). 1948 Donora Smog. <URL: http://en.wikipedia.org/wiki/1948_Donora_smog

Anonim.(......). Donora, Pennsylvania. <URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Donora,_Pennsylvania

Anonim.(......). An Air Polution Edition : Donora, 1948. <URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Donora,_Pennsylvania

Anonim. 1948. Donora, Pennsylvania smog disaster. <URL: http://www.rarenewspapers.com/view/566214

Anonim. (……). 6.7. An Air Pollution Episode : Donora, 1948. <URL: http://www.aerosols.eas.gatech.edu./EAS Air Pollution Phys Chem/Donora PA Episode.pdf

Bryson C. 1998. The Donora Fluoride Fog:A Secret History of America's Worst Air Pollution Disaster. <URL: http://www.fluoridation.com/donora.htm

Christine M. 2009. Worst Air Pollution Disaster in United States. <URL: http://pollution-control.suite101.com/article.cfm/worse_air_pollution_disaster_in_united_states

Hess D. 1998. Donora Smog of 1948. <URL: http://www.donora.firedept.net/1948smog.htm

Long T. 2007. Oct. 26, 1948: Death Cloud Envelops Pennsylvania Mill Town. <URL: http://www.wired.com/science/discoveries/news/2007/10/dayintech_1026

Lowitz M, Cleveland CJ, Black B. 2007. Donora, Pennsylvania. Dalam: Ensiklopedia Bumi. Eds. Cutler J. Cleveland. Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment. Washington, DC. <URL: http://www.eoearth.org/article/Donora,_Pennsylvania

Murray A. 2009. Smog Deaths In 1948 Led To Clean Air Laws. <URL: http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=103359330

Peterman E. 2009. A Cloud Dengan Silver Lining: The Killer Smog di Donora, 1948.
Snyder LP. (......). Donora, Pennsylvania. <URL: http://www.pollutionissues.com/Co-Ea/Donora-Pennsylvania.html

LINGKUP WILAYAH STUDI : ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL) PEMBANGUNAN PLAZA AMBARUKMO JOGJAKARTA (JALAN LAKSDA ADISUCIPTO YOGYAKARTA DESA CATURTUNGGAL KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN)

Oleh: Laily Agustina Rahmawati
Prodi Ilmu Lingkungan, SPS UGM


1. Pendahuluan
Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dilatar belakangi oleh membaiknya kondisi iklim investasi di Indonesia secara umum, pasca krisis ekonomi 1998-2001. Membaiknya  perekonomian Indonesia tahun 2003, mendorong investasi besar-besaran di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. salah satu bentuk investasi tersebut adalah pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta”.
Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD) melalui biaya perizinan (HO, IMB dan SIUP), penyebaran sentra ekonomi agar tidak terpusat di Jalan Malioboro dan Jalan Solo serta penyediaan lapangan kerja / kesempatan usaha. Sedang tujuan keberadaan bangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” adalah untuk menyediakan layanan pusat perdagangan yang lebih representatif dengan ciri trade center khususnya bagi masyarakat Yogyakarta bagian timur dan memberikan kesempatan kerja/usaha bagi masyarakat sekitarnya (Kel. Caturtunggal Kec. Depok).
Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dalam prosesnya menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Dampak negatif inilah yang harus diwaspadai, dikaji, dan diperhitungkan, agar semua tujuan pembangunan dapat tercapai. Dampak yang timbul, baik terhadap aspek abiotik, biotik, maupun sosial budaya, dapat mencakup wilayah-wilayah tertentu yang ada di sekitarnya. Untuk mempermudah kajian, dilakukan pembatasan terhadap wilayah studi yang berpotensi terkena dampak. Batasan atau lingkupan wilayah studi tersebut berupa batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan abatas administratif.




2. Lingkup Wilayah Studi (ANDAL)
Berdasarkan dampak besar dan penting yang akan ditimbulkan, maka wilayah studi meliputi daerah yang dibatasi oleh batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas administratif yang dijelaskan sebagai berikut:
a.      Batas Proyek
Lokasi rencana Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” di Desa Carturtunggal Kec. Depok, Kab. Sleman, yang batas utara: jalan kampung; batas barat: jalan kampung; batas selatan: Jl. Laksda Adisucipto; dan batas timur: Hotel Ambarukmo. Sebagaimana dapat dilihat pada peta wilayah studi batas proyek, Gambar No. 2.1 (terlampir).
b.      Batas Ekologis
Batasan ekologis adalah ruang persebaran dampak dari kegiatan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” menurut media transportasi limbah (air dan udara), dimana proses alami berlangsung yang diperkirakan menimbulkan dampak. Rencana pembangunan ”Ambarukmo Jogjakarta” secara ekologis memberi dampak seperti udara dan transportasi di Desa Caturtunggal dan sekitarnya. Sedangkan air/limbah cair, sesuai dengan badan air/penerima limbah cair nantinya, yaitu menurut aliran saluran air. Gambar No. 2.1 (terlampir).
c.         Batas Sosial
Batasan sosial adalah ruang sekitar rencana Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Gambar No. 2.1 (terlampir).
d.      Batas Administratif
Batasan administratif adalah ruang dimana Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dan masyarakat melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya atas dasar uraian : a, b, c yaitu di Desa Caturtunggal, Kecamatan depok, Kabupaten Sleman. Gambar peta wilayah studi batas administratif. Gambar No. 2.1 (terlampir).




3. Dasar Peraturan Perudang-Undangan terkait Rencana Usaha dan/atau Kegiatan dan Lingkungan
Landasan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah:
a.       UU RI No.13 tahun 1990 tentang Jalan
b.      UU RI No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
c.       UU RI No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
d.      UU RI No.14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
e.       UU RI No.5 tahun 1994 tentang Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati
f.       UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
g.      UU RI No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
h.      UU RI No.28 tahun 2003 tentang Bangunan Gedung
i.        PP RI No.47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
j.        PP RI No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
k.      PP RI No.41 tahun1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
l.        PP RI No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
m.    PP RI No.82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Aira dan Pengendalian Pencemaran Air
n.      PP No. 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1992, tentang Cagar Budaya
o.      Kepres RI No.15 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
p.      Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.087/P/1993 tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya
q.      Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.062/U/1995 tentang Pemilikan, Pengawasan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya, dan/atau situs
r.        Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya
s.       Kep.Men. Pendidikan dan Kebudayaan RI No.064/U/1995 tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya
t.        Kep.Men LH RI No.48/MenLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan
u.      Kep.Men LH RI No.49/MenLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Getaran
v.      Keputusan Kepala BAPEDAL No.299/II/1996 tentang Pedoman Teknis Aspek Sosial dalam penyusunan AMDAL
w.    Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.105 tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL-RPL
x.      Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.KEP 107/KABAPEDAL/1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemaran Udara
y.      Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.124/12/1997 tentang Panduan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusuanan AMDAL
z.       Kep.Men LH RI No.17 tahun 2001 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL
å.       Kep.Men LH RI No.33 tahun 2001 tentang Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan
ä.       Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.8 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL
cc.   Keputusan Kepala BAPEDAL RI No.9 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL
dd. Kep. Gubernur Kepala DIY No.153/KPTS/1991 tentang Baku Mutu Lingkungan Daerah Propinsi DIY
ee.   Kep. Gubernur Kepala DIY No.9 tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan AMDAL Propinsi DIY
ff.    Kep. Gubernur Kepala DIY No.153/KPTS/2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien di Propinsi DIY
gg.  Kep. Gubernur Kepala DIY No.167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi DIY
hh.  Kep. Gubernur Kepala DIY No.169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak di Propinsi DIY
ff.    Kep. Gubernur Kepala DIY No.176 tahun 2003 tentang Baku Tingkat Getaran, Kebisingan dan Kebauan di Propinsi DIY
gg.  Perda Kab.Sleman No.11 tahun 2000 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman tahun 2000-2004
hh.  Perda Kab.Sleman tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Sleman tahun 2001-2005
ii.      Kep. Kepala BAPEDALDA Propinsi DIY No.188.4/1044 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL Propinsi DIY
jj.      Perda Kab.Sleman No.23 tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah
kk.  Kep. Bupati No.17/Kep.KDH/A/2004 tentang Pengelolaan Lingkungan.
Adapun pembahasan dalam tugas ini, mencantumkan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai pembanding.

4. Pembahasan
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL, seperti yang tercantum dalam PP No. 27 tahun 1999 pasal 5 ayat 1 dan UU No. 23 tahun 1997 pasal 15 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009 pasal 22 ayat 1. Kemudian dalam pasal 22 ayat 2 UU No.32 tahun 2009 dijelaskan tentang kriteria dampak penting, yang ditentukan berdasarkan: a). Jumlah penduduk yang terkena dampak, b). Luas wilayah yang terkena dampak, c). Intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d). Banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, e). Sifat kumulatif dampak, f). Berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan g). Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada pasal 23 ayat 1 UU No.32 tahun 2009 (merupakan penyempurnaan dari PP No.27 tahun 1999 pasal 3 ayat 1), selanjutnya dijelaskan bahwa kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi AMDAL terdiri atas: 1). Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, 2). Ekploitasi sumber daya alam terbarukan maupun tak terbarukan, 3). Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya, 4). Proses dan atau kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkingan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya, 5). Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya, 6). Introduksi jenis tumbuhan, hewan, dan jasad renik, 7). Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati, 8). Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara, 9). Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, pembangunan Plaza Ambarukmo termasuk dalam kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan, sehingga wajib AMDAL. Dampak penting dapat dilihat sejak tahap pra konstruksi, yakni penyiapan lahan. Lahan yang dibebaskan untuk membangun plaza ini  adalah lahan bekas tegalan/kosong dan lahan SDN Ambarukmo, dengan status kepemilikan tanah Sultan Ground. Hal ini menyebabkan reaksi keras dari masyarakat, terutama dari orang tua murid yang bersekolah di SDN Ambarukmo. Mereka resah karena anak-anaknya akan kehilangan sekolah mereka. Reaksi keras masyarakat tersebut termasuk dalam kriteria usaha dan/atau kegiatan yang dampaknya akan mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya (kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting poin 4).
Pada tahap konstruksi, pembangunan plaza Ambarukmo juga mendatangkan dampak penting antara lain: penurunan kualitas udara akibat debu, gas buang dan kebisingan, bertambahnya frekuensi lalu lintas sehingga meningkatkan kerawanan kecelakaan, menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat sekitar terhadap pekerja pendatang, penggunaan alat berat menimbulkan getaran-getaran yang merusak bangunan disekitarnya, dan yang tak kalah penting adalah rusaknya bangunan bersejarah ”Gandok Tengen” atau rusaknya banguna pesanggrahan sebagai bangunan cagar budaya untuk pembangunan Plaza Ambarukmo. Dampak-dampak tersebut termasuk dalam kriteria kegiatan yang secara potensial menyebakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (poin 3) dan kegiatan yang hasilnya mempengaruhi lingkungan alam, buatan serta sosial budaya (poin 4), serta kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya (poin 5).
Tahap operasi, dampak negatif yang timbul adalah penurunan kualitas udara akibat kandaraan yang keluar masuk plaza dan kemacetan, perubahan nilai budaya (gaya hidup dan pola konsumsi), keberadaan plaza Ambarukmo dianggap mengancam keberadaan pasar tradisional (Pasar Gowok), meningkatnya limpasan air hujan akibat tutupan bangunan gedung, pencemaran air permukaan dari limbah cair dan berkembangnya vektor penyakit dari sampah yang dihasilkan. Dampak-dampak tersebut termasuk dalam kriteria kegiatan yang secara potensial menyebakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (poin 3) dan kegiatan yang hasilnya mempengaruhi lingkungan alam, buatan serta sosial budaya (poin 4).
Dampak terbesar dari keseluruhan tahap, mulai pra konstruksi hingga tahap operasi, dari pembangunan Plaza Ambarukmo adalah dampak sosial dan budaya masyarakat. Kota Yogyakarta yang identik dengan keteguhannya memegang nilai-nilai tradisional dan kebudayaan leluhur secara turun menurun dalam segala aspek kehidupan, menghadapi kondisi yang dilematis. Di satu sisi, investasi dari pembangunan plaza Ambarukmo merupakan “iming-iming” bagi peningkatan pendapatan daerah (PAD), namun disisi lain daya tarik wisata Yogyakarta bersumber dari nilai budayanya yang tinggi dan lestari. Sehingga keberadaan mal-mal yang semakin menjamur di Yogyakarta, termasuk Plaza Ambarukmo, dikhawatirkan akan melunturkan tradisi (nilai-nilai tradisional) yang berusaha dipertahankan hingga saat ini.
Komponen aspek sosial merupakan bagian yang perlu dikaji secara mendalam dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan dapat dikelola dengan baik. Menurut Armour, dalam Siahaan, 2009, perubahan-perubahan sosial yang mungkin terjadi akibat adanya suatu usaha dan/atau kegiatan antara lain adalah:
Ø  Perubahan cara hidup (Way of life) dalam bentuk pola, misalnya: bagaimana masyarakat hidup, bekerja, berinteraksi, dan factor apa saja yang berubah dalam kehidupan setelah ada intervensi
Ø  Budaya, termasuk di dalamnya system nilai, norma dan kepercayaan
Ø  Komunitas, meliputi struktur penduduk, kohesi social, stabilitas masyarakat, estetika, sarana dan prasarana yang diakui sebagai sarana umum masyarakat, seperti sekolah, balai desa, mushola. Sarana umum sering sekali menjadi korban penggusuran jika aktivitas proyek telah berjalan. Kehadiran proyek menjadi alas an renggangnya kohesi social.
Dan hal tersebut diatas benar-benar terjadi pada proses pembangunan plaza Ambarukmo, seperti: penggusuran sekolah, perusakan cagar budaya, termarginalkannya pasar tradisional, timbulnya kesenjangan dan kecemburuan social antara penduduk lokal dengan pendatang, dan meningkatnya kepadatan penduduk. Karena ternyata proses pembangunan Plaza Ambarukmo menjadi magnet yang menarik kedatangan penduduk dari luar daerah untuk berpartisipasi dalam pembangunan plaza tersebut sebagai tenaga kerja pendatang.
Berdasarkan uraian rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak, yang tercantum dalam Ruang Lingkup Studi, Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), diketahui bahwa Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” direncanakan dibangun di Padukuhan Ambarukmo, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dengan status Hak Milik Keraton. Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” direncanakan menempati lahan efektif seluas ± 19.990 m². Sedangkan keseluruhan lahan untuk pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” adalah seluas 20.550 m². Luas dasar bangunan sebagai pertimbangan terhadap koefisien dasar bangunan (KDB) adalah 16.940 m². Sedang luas keseluruhan lantai  bangunan adalah 107.611 m². Dengan kondisi tersebut maka KDB Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” adalah sebesar 84,74 %, dan sebenarnya melebihi ketentuan KDB dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman sebesar 80%.
Meskipun demikian, pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” pada akhirnya mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat dengan pertimbangan bahwa pengembangan kawasan Jalan Adisucipto sejak dari Jlan Solo sampai dengan Ring Road Timur menjadi kawasan bisnis, telah sesuai dengan pemanfaatan ruang di dalam RTRW sebagai kawasan perdagangan. Kondisi ini didukung oleh Surat Pengesahan dari Bupati Sleman Nomor: 648/01552, tanggal : 06 Juli 2004, tentang pengesahan Site Plan, dan Keputusan Bupati Sleman Nomor 13.IPT/SK.KDH/A/2004, tangggal 06 April 2004, tentang pemberian izin lokasi. Sehingga dengan dasar-dasar tersebut pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” dapat dilaksanakan.
Penentuan lingkup wilayah studi dilakukan untuk membatasi daerah yang terkena dampak penting dan harus dikaji. Menurut Chafid Fandeli, 2007, penentuan area studi biasanya ditetapkan berdasarkan 4 pendekatan, yakni: proyek, ekologi, sosial, dan admintratif. Pada umumnya luas area dengan pendekatan proyek lebih sempit daripada dengan pendekatan ekologis dan administrasi.
Pendekatan proyek dalam penentuan area studi merupakan tapak proyek atau area kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Area studi dengan pendekatan proyek lebih mudah ditentukan sebab berhubungan dngan batas pagar proyek itu dibangun. Pendekatan ekologis pada umumnya ditentukan atas dasar fisiografi. Pada beberapa anlisis dampak lingkungan biasanya ditentukan studi atas dasar bentuk lahan (land form) atau juga atas dasar ekosistem alami yang ada, salah satu diantaranya atas dasar Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara itu untuk pendekatan sosial didasarkan pada seberapa jauh dampak sosial yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Batasan ini sulit ditentukan, karena sifatnya non-fisik (dalam bentuk persepsi, perubahan pola hidup dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan estetika). Sedang pendekatan administrasi, biasanya dipergunakan untuk mengamati parameter sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat (Fandeli, 2007).
Berdasarkan penjabaran mengenai penentuan lingkup wilayah studi di atas, penentuan lingkup wilayah studi yang tercantum dalam ANDAL pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” juga dilaksanakan dengan menggunakan 4 pendekatan, yaitu proyek, ekologis, sosial, dan administratif. Berdasarkan keempat pendekatan tersebut, akhirnya didapatkan 4 batas wilayah studi, yaitu: batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif. Namun, beberapa batas wilayah yang dibuat tampaknya belum menggambarkan batasan yang seharusnya, misalnya pada batas ekologis dan sosial. Pada gambar peta 2.1 (terlampir) dapat dilihat bahwa keempat batas studi yang ditetapkan dibuat bertampalan, artinya antara batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administrasi tidak jelas. Dalam uraiannya pun batas wilayah studi terkesan hanya mencakup satu desa, yakni Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Padahal untuk batas ekologis dan sosial seharusnya bisa lebih dari satu desa.
Mengacu pada penjabaran Fandeli, 2007, mengenai penentuan batas ekologis, seharusnya dampak ekologis yang dihasilkan oleh usaha dan kegiatan pembangunan Plaza Ambarukmo ini, juga dirasakan oleh beberapa wilayah yang dilewati oleh sungai Gajah Wong (sungai terdekat dengan Plaza Ambarukmo). Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok termasuk daerah yang dilalui oleh Sungai Gajah Wong. Limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan Plaza Ambarukmo selama beroperasi berasal dari aktifitas dapur, dan kamar mandi serta WC. Limbah tersebut dibuang melalui saluran air, sehingga akan menimbulkan pencemaran air permukaan. Dan saluran air tersebut akan bermuara di sungai Gajah Wong, dan terbawa ke sepanjang aliran sungai. Begitu pula untuk dampak sosial. Penggusuran SDN Ambarukmo, rusaknya situs bersejarah ”Gandok Tengan”, dan termarginalkannya pasar tradisional ”Pasar Gowok”, manjadi isu kontroversial dikalangan masyarakat, tidak hanya di Desa Caturtunggal, namun hampir di seluruh Yogyakarta.
Jika dilihat dari batas yang dicantumkan dalam gambar peta 2.1, penentuan batas wilayah studi dalam ANDAL Pembangunan Plaza ”Ambarukmo Jogjakarta” ini sebenarnya lebih atas dasar pendekatan teknis. Penentuan wilayah studi atas dasar teknis biasanya ditentukan berdasarkan ketersediaan sumberdaya, yaitu waktu, tenaga, dan biayan yang tersedia. Pendekatan teknis ini sejauh mungkin merupakan penampalan dari peta atas dasar keempat pendekatan yang lain. Dengan demikian maka untuk seluruh parameter komponen lingkungan dapat diamati berdasarkan pada batasan area studi tersebut (Fandeli, 2007).

Refferensi
Dokumen Analisi Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan Plaza Ambarukmo Jogjakarta tahun 2004

Dokumen Kerangka Acuan Analisi Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) Pembangunan Plaza Ambarukmo Jogjakarta tahun 2004

Draft UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Draft UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Draft PP No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL

Fandeli, C. 2007. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Prinsip Dasar dalam Pembangunan. Penerbit Liberty. Yogyakarta

Siahaan, N.H. 2009. Hukum Lingkungan. Penerbit Pancuran Alam. Yogyakarta