Minggu, 27 November 2011

BOJONEGORO HARUS BELAJAR KEPADA MASYARAKAT SAMIN

http://sisikemanusiaan.blogspot.com/2009/05/sedulur-sikep.html
 
 
           Berbicara kondisi Bojonegoro terkini, yang timbul adalah rasa prihatin. Bagaimana tidak, diatas tanahnya yang kaya, masih banyak masyarakat Bojonegoro yang hidup miskin dan serba kekurangan. Mereka kehilangan hak dan tak punya kuasa untuk mempertahankan dan menikmati kekayaan alam yang dimilikinya. Dalam kondisi demikian, seharusnya masyarakat Bojonegoro berguru pada masyarakat samin dalam hal mempertahankan kakayaan alam dan kedaulatan mereka menentang kesewenangan pemerintah kolonial.
Suku Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang sejak awal menerapkan konsep perlawanan kepada budaya kolonialisme dan kapitalisme, dengan ajaran saminismenya sejak abad ke-19. Masyarakat samin Bojonegoro mulai terbentuk pada tahun 1890, di kawasan hutan Randublatung, Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Bojonegoro. Ajaran Saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial. Tiga unsur gerakan saminisme adalah: pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk pemerintah kolonial, menjegal peraturan agraria yang dianggap merugikan petani dan bertindak non kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Bojonegoro adalah salah satu daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), baik hayati maupun non hayati. Wilayahnya yang terbentang seluas 230.706 Ha, dengan bagian utara dilewati oleh aliran sungai Bengawan Solo sehingga memiliki tanah yang subur. Oleh karena itu, Bojonegoro seharusnya mampu menjadikan sektor agraris menjadi salah satu sektor penting dan dapat diandalkan untuk menyokong perekonomian masyarakat Bojonegoro. Selain itu, keberadaan hutan jati dan penemuan ladang minyak di daerah Ngasem dan Sukowati semakin menjadikan Bojonegoro sebagai salah satu kabupaten yang memiliki SDA terkaya di Indonesia.
            Akan tetapi kekayaan alam yang melimpah tersebut ternyata belum mampu dikelola secara optimal oleh Pemerintah Daerah (PEMDA). Akibatnya kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak bagi seluruh masyarakat Bojonegoro, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Rendahnya Upah Minimum Daerah (UMD), yakni sekitar Rp.475.000,00 (th.2006), merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Bojonegoro masih jauh dari standar sejahtera.
           Namun sayangnya, masyarakat Bojonegoro sendiri terlambat menyadari hal tersebut. Dan ketika mereka sadar, yang mereka saksikan hanyalah berhektar-hektar hutan jati yang telah gundul akibat penebangan liar. Hutan yang gundul mengakibatkan penyerapan air pada musim penghujan tidak maksimal, dan berdampak pada meluapnya air sungai Bengawan Solo yang membanjiri DAS disekitarnya. Hasilnya adalah banjir, seperti banjir besar yang terjadi tahun 2008, di Bojonegoro. Selain itu penggundulan hutan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pemenasan global, yang juga berdampak pada kacaunya musim. Ketika hal ini terjadi maka yang paling dirugikan adalah para petani, yang berjumlah 5% dari total penduduk Kab.Bojonegoro.
Ditemukannya ladang minyak di Bojonegoro memberikan harapan besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Bagaimana tidak, dari sumur Sukowati yang dikelola oleh Pertamina-Petro China tersebut setiap harinya dapat menghasilkan 8000 barel minyak mentah. Terhitung setahun sejak pengeboran, yakni mulai tahun 2005, telah dihasilkan minyak mentah sebanyak 2,2 juta barel dengan total penjualan mencapai US $150 juta. Akan tetapi kenyataan berkata lain. Keterlibatan  masyarakat Bojonegoro dalam pengelolaan ladang minyak sangatlah kecil. Pemerintah lebih percaya dengan orang asing daripada anak bangsa sendiri. Akibatnya dari angka penjualan yang sangat besar tersebut, berdasarkan Undang-Undangan Perimbangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Bojonegoro hanya mendapat dana bagi hasil sebesar Rp. 25 miliar pada tahun 2006. Nilai tersebut termasuk sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai total penjualan. Dan dalam prakteknya pun, dana bagi hasil yang diterima oleh PEMDA Bojonegoro tidak berdampak signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melihat fenomena di atas, yang terjadi di Bojonegoro saat ini adalah suatu bentuk system kolonial baru, dimana masyarakat Bojonegoro dijajah oleh pemerintahnya sendiri. Pemerintah yang menjual kekayaan alam bangsanya kepada pihak asing, bukan untuk kesejahteraan rakyatnya, adalah bentuk baru pemerintahan yang kolonial dan kapital yang pasti menyengsarakan rakyat.
Oleh karena itu, Masyarakat Bojonegoro tampaknya harus belajar kembali pada masyarakat samin, dengan Gerakan Saminismenya. Karena kecintaan mereka kepada bangsanya, masyarakat samin tidak rela memberikan kekayaan yang dimiliki bangsanya kepada orang asing yang sebenarnya sama sekali tidak berhak. Seharusnya kita pun demikian. Sejarah mengajarkan bahwa keterlibatan asing dalam pengelolaan SDA sering bersifat merugikan. SDA yang kita miliki seharusnya kita jaga dengan baik, keterlibatan asing diminimalisir dan keterlibatan anak bangsa ditingkatkan. hingga suatu saat kita dapat mengelolanya sendiri secara baik, optimal dan bijaksana. Sehingga manfaatnya pun bisa dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat Bojonegoro.

Oleh: Laily Agustina R.
Ditulis Agustus 2009, dalam Latihan Menulis Sekolah Ekonomika Demokratik bersama Mbak Maya JATAM

Senin, 31 Oktober 2011

PERPISAHAN YANG PANJANG PADA PERTEMUAN YANG SINGKAT

 
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://cahayasalaf.files.wordpress.com/2010/02/perpisahan.jpg&imgrefurl=http://cahayasalaf.wordpress.com/2010/02/24/perpisahan

Mai, tiba-tiba merasa melihatmu berdiri di atas roda waktu yang berputar pada lintasan berbentuk pegas, yang berlahan membawamu pergi menjauh dari titik tempatku berdiri saat ini.
Betapa jauhnya kamu akan berada, Mai!
Dan tiba-tiba merasa sangat kehilanganmu.

Malam ini Jogja gerimis Mai, tapi mungkin besok tidak lagi.

Sama persis seperti hati.

Malam ini mungkin aku sangat sedih akan kehilanganmu, terlalu sedih bahkan sampai merasa bahwa malam ini adalah pembicaraan terakhir kita yang berkualitas. Setelah ini, kamu mungkin akan bertemu banyak orang baru, yang lebih hebat, yang lebih "tanpa celah", dan mampu mebuatmu semakin bersinar dengan bersamanya. Hal sama mungkin juga akan terjadi padaku.

Pada kondisi seperti itu Mai, pasti tanpa sadar kita akan saling melupakan dan mengabaikan, secara alami... Tapi bukan berarti membuatmu menjadi tidak penting dan membuat posisimu bergeser dari hatiku...

Buatku, hidup itu seperti chapter-chapter dalam buku. Dalam chapter hidupku 2 tahun kuliah di Jogja, kamu jadi tokoh penting dalam ceritaku, yang membuat ceritaku 2 tahun ini terasa begitu gemilang dan ku syukuri.

Meskipun  cerita dalam chapter ini sudah selesai, tapi kehadiranmu dalam chapter inilah yang akan mempengaruhi jalan ceritaku di chapter-chapter berikutnya.

Semoga Allah mengizinkan untuk menjadikan chapter-chapter kehidupan kita selanjutnya jauh lebih baik dan gemilang. Dan jika itu terjadi Mai, salah satu penyebabnya adalah karena peranmu, karena pertemuan kita yang singkat namun berkualitas.

Banyak hal yang ingin ku tulis mai, tapi menurutku sedikit tertutup itu lebih sexy daripada terlalu vulgar. :D

Aku menyayangimu mai, jaga diri baik-baik. Dari jauh kita akan saling mendo'akan untuk kebaikan dan kemuliaan hidup kita masing-masing.....

Perpisahan yang panjang pada pertemuan yang singkat: untuk sahabat, yang sudah seperti kakak, guru, partner, bahkan terkadang musuh. Begitu nano-nano persahabatan kita, sampai kata-kata pun menyerah untuk mendeskripsikannya. :)

Selasa, 11 Oktober 2011

I'm Master U-Ge-EM, but STILL single

(Halaman Persembahan yang Gagal Disisipkan ke draft TESIS)

Dua tahun masa studi Es-Dua ku akhirnya tertuntaskan, meskipun penyelesaiannya tepat di detik-detik terakhir, masa-masa injury time yang menegangkan! Tapi paling tidak aku puuaassss.... bisa mematahkan skeptisme seorang teman, yang dengan senyum sadis dan sinisnya berkata padaku:

"Laily, kayaknya kamu gak nutut buat wisuda Oktober". 

Mak jeleeebbb...... Seperti bangunan runtuh, aku coba memungut kembali puing-puing reruntuhan semangatku yang berserakan, ku tempel-tempel senyum dibibir biar tetap tampak tegar. Sumpah! waktu itu aku benar-benar ingin menjambak rambutnya yang rapi, kaku dan mengkilat. Hmmm.... sabar-sabar.... kata batinku. 

Gimana gak kesel coba, dia berkata seperti itu, TEPAT setelah ujian sidang TESIS-ku (baca: pendadaran) yang gemilang. Dia tidak tahu betapa aku sudah berusaha keras, berjuang mati-matian, melakukan sebaik mungkin, dan bertekad sekuat mungkin untuk tetap bisa wisuda Oktober, meskipun aku baru dapat jadwal ujian tanggal 15 September. Baiklah, secara normal memang terlihat agak sulit, karena antara tanggal ujian dan batas akhir pengumpulan berkas persyaratan wisuda hanya berselang 12 hari. Tapi, apa sih yang gak mungkin??? Dia lupa, kalo aku ini gak normal dan sering bertindak diluar batas kenormalan!!! Dia lupa kalo aku ini Superwomen!!!! Selama kita mau berusaha keras dan mencoba, pisang pun bisa kita ubah jadi keripik!!! (Ngiiiikkkk... Apa hubungannya coba?? wkwkwkwkwkwkwkkk....) Ya.. ya.. ya...Tapi, bagaimanapun juga aku harus bertrimakasih padamu teman. Karena energi negatifmu telah mendorong energi positifku keluar lebih optimal :). Benar-benar terbukti, tekad yang kuat akan mengalahkan segala-galanya.... Hantam kromo, Boy!!!

Alhamdulillah, Sidang Tesis berjalan Lancar dan Gemilang. Trimakasih saya ucapkan dari kedalaman hati saya, yang pertama : untuk Allah SWT, Tuhan Semesta Alam... Yang setiap hari selalu menyirami saya dengan rahman dan rahimnya, dan mengizinkan saya tumbuh menjadi seorang manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya hingga detik ini...

Kedua, untuk orang tua dan keluarga, atas do'a yang tak putus-putus dan kepercayaan yang luar biasa. Semangat terbesarku adalah kalian. Semua kebaikan yang terjadi padaku, adalah untuk kalian.. Terimakasih Ibuk, Bapak, Mbah, Om, Tante, Mas Popi, Mbak Za, Adik Sauqi, Adik Hafidz, Adik Fahmi, Adik Reza, Keponakanku Opia, dan si kecil Fadhila... Bagiku, kalian adalah segala-galanya....

Ketiga, untuk kedua Dosen Pembimbingku, Pak Eko dan Prof.Chafidz, yang benar-benar berlaku bak seorang Ayah yang mengajari anaknya naik sepeda.  Membantu dan menuntunku pelan-pelan diawal, untuk selanjutnya memberi ruang seluas-luasnya bagiku berkembang secara mandiri, juga memberiku kepercayaan dan menunjukkan betapa bersinarnya aku di hadapan dosen penguji. Benar-benar menyentuh dan mengharukan... Trimakasih banyak Bapak..... ^__^

Tak lupa buat sahabat-sahabatku yang telah berbaik hati membantuku, mendoakanku, dan menyemangatiku.
Teman-teman Ilmu Lingkungan 2009, Ilmu Lingkungan 2010, Rekan-rekan Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) UGM, Teman Ex-Kantin ITS dan Tiyang Alit, Teman-teman Biologi ITS 2004, dan teman-teman sepermainan dan seperjuangan, yang tidak bisa disebut satu per satu.

Trimakasih buat  Maiku- Mas Adit dan mas Dian yang sudah menyempatkan datang waktu pendadaran. Kehadiran kalian benar-benar menjadi semangat terbesarku. Trimakasih atas persahabatan yang manis (bersama Nisa), pertemuan kita pada awalnya memang diawali dari kepentingan. Tapi aku yakin, setelah kepentingan kita selesai, persahabatan kita tidak ikut usai dan masing-masing dari kita akan saling menyimpan setiap kenangan yang kita lewati bersama: senang, sedih, marah, jutek, lucu, saat-saat kita saling menguatkan, saat-saat kita jatuh, saat kita melakukan hal-hal bodoh dan kekanak-kanakan, saat kita makan belut, saat kita nyamperin pengamen di Malioboro, saat kita berdebat di warung makan dan marah-marah gak jelas, saat nangis ditutupi jaket, saat nangis ditutupi kaca helm sambil naik motor ke Metro TV... Mas Adit, trimaksih sudah menjadi kakak yang baik buat adikmu yang "mayak" ini. Trimkasih juga buat ilmu-ilmunya, senjata rahasiamu... Tenang, aku akan jadi adik yang baik dan membanggakan buatmu. Hingga suatu saat nanti, dirimu akan melihatku sambil berkata dengan bangga, "Itu adikku lo, bisa hebat seperti itu juga karena tak ajari." :D

Trimakasih buat sohib-sohibku Galauers, Nisa, Mbak Rina, Mbak Thywa, Abdi, Tegar, Tanto, atas kebersamaannya selama ini... Bersama kalian, tidak ada istilah malam minggu yang sepi.... Kuliner, foto-foto, spedahan di Alkid, curhat, nongkrong, dan masih banyak ketidak jelasan lain yang telah kita lalui bersama. Tidak hanya itu, kalian juga orang-orang terdekat yang selalu ada buatku saat aku membutuhkan uluran tangan dan tempat bersandar. Aku menyayangi kalian.... Saat 2x patah hati, mbak rina yang selalu setia menemani. Saat-saat gila, selalu ada Nisa sahabat yang bener-bener "ngerti isi njero-njobo"ku. Saat butuh bantuan dan hiburan, ada Abdi yang SIAGA 24 jam, dan juga Mai-ku Tegar yang selalu bisa diandalkan. Hmmm... Apa jadinya hidupku tanpa kalian.... ^__^

Buat "Ngurah Ganks": Mbak Ngurah, Mas Dipta, Mas Danang, Mas Varih, Mas Pepeng, Mas Ari, yang sudah mau nemeni latihan presentasi sampai jam 1 dini hari, di malam sebelum maju pendadaran. Bener-bener sukses membuat simulasi ujian yang sebenarnya, meskipun hanya "seolah-olah" tapi benar-benar "kerasa" auranya. Sesuatu banget pokoknya! :p

Mas Tomy, Mas Ucup, Mbak Ngurah, makasih dah dibantuain translate...  Tanpa kalian, mungkin aku harus wisuda Januari... Hehehheee...

Buat tim lapanganku, Ellen "Molen" yang setia menemaniku turun lapangan hampir 50 sampel rumah tangga!!! juga buat Lia IL '10, Erik IL '10, dan dek Vira Geo, makasih dah bantuin sampe panas-panasan di jalan....

Buat temen-teman Kos, terutama Fatty, Hesty, Mala, Rika, Adek Ipit, makasih buat bantuan, support dan do'anya...

Sepesial buat Mbak Rina, Nisa, dan Mbak Wathy, makasih banget buat Kaos Kelulusannya. Bener-Bener Mengena, menampar-nampar hati. :D   Tapi, aku hargai niat baik kalian. Aku yakin ini adalah perwujudan cinta kalian padaku yang sangat dalam. "I'm Master UGM but STILL Single", sederet kalimat pendek ini benar-benar mewakili perwujudan kondisiku saat ini. Entah, apakah ini sesuatu yang lucu, atau menyedihkan. Kenyataannya, merubah status SINGLE menjadi DOUBLE memang bukan perkara yang mudah buatku. Tapi tenang, sahabatmu ini adalah PEJUANG CINTA yang tangguh, tidak akan menyerah hanya karena 2,3,4,5 kali gagal! (hahhahaaa.... banyak amat ya...???). Pencarian akan tetap berlanjut, hingga hati berlabuh di dermaga yang tepat. ;P

Akhirnya... Masa-masa studiku di kampus U-Ge-EM berakhir... bakal kangen dengan ruang kuliah lantai 4 Gedung Lengkung Pascasarjana U-Ge-EM, tempat dimana setiap pagi kami disuguhi pemandangan Merapi yang indah secara gratis. Bakal kangen dengan sekre HMP, yang meskipun kecil tapi disanalah aku bertemu banyak orang-orang hebat yang tidak pernah pelit ilmu, bahkan rela meluangkan waktu, tenaga, pikirannya untuk menjalankan tanggung jawab keilmuannya mengabdi kepada masyarakat, dan untuk ilmu itu sendiri. Bakal kangen diajar Dosen-Dosen Hebat: Bu Tjut yang keras namun disiplin dan berdedikasi, Pak Harry Hukum Lingkungan yang selalu membakar, Pak Budi Ekonomi Lingkungan yang bijaksana, Pak Ratman yang Filosofis, Pak Darmadji, dan dosen-dosen lain, mudah-mudahan kepada beliau-beliau selalu dilimpahkan kesehatan dan kebahagiaan. Bakal kangen sama Pak Didit, Bu Nur dan Pak Salman bagian Akademik, yang sudah banyak membantu selama dua tahun ini. Bakal kangen sama Bapak-bapak SKK, yang selalu menyunggingkan senyum ramah saat pertama kali masuk pintu gerbang, juga bakal kangen sama sapaan hangat bapak-bapak yang sering nyapu pagi-pagi di halaman Gedung Lengkung...

Sangat bersyukur atas dua tahun terakhir yang ku jalani selama di U-Ge-Em, di Kota Yogyakarta yang tenang dan bersahabat. Bagiku, dua tahun disini ibarat masa-masa semedi dan menyepi, setelah 4 tahun larut dalam hingar bingar Kota Surabaya. Trimakasih Yogyakarta.... Meskipun Saya Master dan masih Single, tapi Saya Bahagia menjalani dua tahun ini bersamamu, Yogyakarta.... ^__^


Senin, 10 Oktober 2011

SURAT CINTA : IZINKAN AKU MEMULAINYA

Untukmu, tempat harapan disandarkan.

"Selama 25 tahun perjalananku, aku selalu menyadari bahwa cinta memang tidak untuk dimiliki sendiri. Cinta harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan kecuali untuk orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Cinta memang ada untuk dicintai dan diungkapkan sebagai jembatan baru ke pelajaran kehidupan selanjutnya. Cinta yang sebenarnya membuat kita lebih mengerti diri sendiri dan siapa kita, serta orang yang kita cintai. Hingga kita akhirnya bisa lebih bersyukur ketika menyadari tidak ada cinta yang lebih besar dari cinta Pencipta terhadap ciptaan-Nya.

Aku mungkin tidak sereligius kamu, tapi adalah keinginan setiap orang untuk menjadi dekat dengan-Nya, termasuk aku. Dan aku pun akan terus berusaha memantaskan diri, hingga menjadi dekat dengan-Nya. Aku percaya, Dia tidak selalu memberi yang kita pinta tapi memastikan kita mendapat yang kita butuhkan, termasuk cinta.

Sebelumnya maafkan aku jika menurutmu aku terlalu berani dan terbuka, tapi itu lah aku. Aku menunggu waktu yang tepat selama ini, tapi akhirnya aku sadar tidak akan pernah ada waktu yang tepat menurut kita, jika tidak dimulai. Dan aku pikir, ini lah saatnya.

Sejak kecil aku diajarkan bagaimana bersikap sebagai seorang perempuan, bagaimana menjaga sikap dan termasuk menahan perasaan. Tapi hidup yang aku jalani, juga mengajarkan: sometimes we have to break the rules to free our heart.

Dan akhirnya ku katakan: Aku ingin menitipkan hatiku padamu. Aku menyukaimu bukan karena kamu adalah sosok yang sempurna, karena ternyata dalam ketidaksempurnaanmu aku justru menemukan apa yang bisa menjadi pelengkapku kelak.

Aku yang selalu merasa tahu ini pun, terkadang kau buat tidak bisa berkata sepatah kata pun jika kamu sudah tegas dengan katamu, meskipun sebenarnya kamu seorang pendiam.
Aku yang keras kepala dan jarang mau mengalah, sering tidak berdaya jika harus menghadapi mu.
Kelembutan dan perhatian-perhatian kecilmu, membuatku bersinar.
Melihat jalan hidupmu yang selalu lurus, membuatku berfikir ulang tentang perjalanan hidupku yang abstrak dan penuh liku

Bagiku kau seperti cermin, karena dengan melihatmu membuatku berbenah dan memperbaiki diri.

Aku mengagumimu dengan segala kesederhanaanmu, kesabaranmu, dan keuletanmu dalam menjalani keseharianmu. Tapi yang lebih membuatku kagum adalah keteguhanmu dalam memegang keyakinan, juga kecintaanmu terhadap-Nya. Sesuatu yang sampai saat ini, masih ku coba.

Aku tidak meminta konsekuensi apapun untuk hal ini. Aku sadar we will face a lot when we decide together. Terlebih aku tipe perempuan konvensional yang percaya bahwa Lelakilah yang bertugas bertanya dan meminta. Aku hanya ingin kamu tahu soal ini. Kelanjutannya adalah tugasmu."


“Woman was created from the ribs of a man
Not from his head to be above him
Nor from his feet to be walk upon him
But from his side to be equal
Near to his arm to be protected
And close to his heart to be loved”

-AKU-

=========================================================================


Izinkan aku memulainya, bukan karena yakin akan mendapat jawaban yang aku inginkan darimu, tapi agar aku dapat menapakkan kakiku dengan tegas dan memilih jalan yang harus segera ku tentukan untuk hidupku. Karena waktu terus berjalan, dan kita akan tertinggal jika  tidak segera bergerak, menentukan pilihan, dan melangkah…

Setiap wanita pasti membutuhkan kepastian dari semua isyarat, yang dengan sengaja atau tidak dikirimkan padanya. Atas semua perhatian kecil yang melambungkan, atas sikap dan prilaku yang menyentuh personality, atas kenyamanan yang terbangun dari setiap kontak dan komunikasi, juga atas degupan jantung yang menggetarkan isi dada pada setiap pertemuan. Ini seperti isyarat semesta yang membuat setiap wanita sekuat apapun jatuh merendah dalam pengharapan. Karena itu, izinkan aku memulai lebih dulu, untuk mempertegas semua batas, untuk memperjelas hitam dan putih, agar tidak terlalu lama aku jatuh dalam pengharapan yang tak pasti. Hidup harus berlanjut, dengan atau tanpamu. Dan semakin cepat aku tau, semakin cepat aku bisa menentukan langkah, dan tentu semakin baik bagi kita.

Ketahuilah, kami, wanita, yang memilih memberanikan diri untuk memulai lebih dulu, adalah wanita tangguh dan kuat yang memperjuangkanmu karena meyakinimu sebagai yang terbaik. Butuh keberanian berlipat-lipat bagi kami untuk bisa memulai. Butuh kekuatan untuk menanggung berbagai kemungkinan, termasuk yang terburuk sekalipun. Meski tahu resikonya, tapi wanita seperti kami pun tetap memutuskan untuk maju dan mencoba, meski harus menerobos batas kewajaran. Itu berarti kami begitu meyakinimu sebagai pembaik bagi hidup kami, dan kami pun yakin akan mampu menjadi pembaik bagi hidupmu, jika jalan yang ingin ku mulai ini kau buka.

Izinkan aku memulainya lebih dahulu, dan jawablah dengan kebijaksanaan seorang pria yang mampu bertanggung jawab. Jangan membuat aku kecewa dengan mengabaikan semua isyarat yang telah saling kita sampaikan dalam kesadaraan dan ketidaksadaran kita.

Aku sadar, perjuangan tidak selalu berakhir bahagia. Apapun yang terjadi, paling tidak usahaku untuk memulai sudah ku coba. Tetaplah menjadi baik di mataku, tetaplah jadi cerminku. Meskipun pada akhirnya kamu tidak bersedia membukakan pintu yang ingin ku ketuk. Jika hal itu terjadi, aku tidak akan menunggumu di depan pintu, sambil menekukkan lutut dan berharap. Aku akan meneruskan langkah, karena hidup harus berjalan dengan atau tanpamu. Wanita yang memulai, selalu ditakdirkan menjadi kuat. Separah apa pun luka, akan tetap sanggup berlari. Karena bagaimanapun juga, hidup harus berlanjut.


Yogyakarta, 2 Oktober 2011.

Selasa, 16 Agustus 2011

SAYA DAN MULTISTATUS SAYA


Oleh: Laily Agustina Rahmawati

Lahir dan besar di suatu negara merupakan bagian dari takdir yang harus kita syukuri dan dijalani dengan keikhlasan. Masing-masing orang lahir dengan menyandang beberapa status sekaligus (multistatus), dimana status-status tersebut tidak dapat kita pisahkan, dan perpaduan dari status-status itulah yang membentuk pribadi kita menjadi jiwa yang utuh. 

Saya contohnya: tanpa meminta, Tuhan telah mentakdirkan saya lahir dari hasil fertilisasi dua orang makhluk, yaitu manusia (Ayah dan Ibu saya) yang kebetulan berasal dari suku jawa yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan beragama islam. Maka secara otomatis, sejak lahir saya menyandang status sebagai seorang makhluk dari jenis manusia, seorang anak dari orang tua saya, berjenis kelamin perempuan, bersuku jawa, berbangsa Indonesia, dan beragama muslim. Jadi, ketika saya diminta untuk mendeskripsikan siapa saya, maka status-status inilah yang harus saya sandang, dengan penuh kebanggaan tanpa rasa malu, karena status-status tersebut adalah anugerah atau pemberian dari Tuhan.

“Saya adalah Laily Agustina Rahmawati. Saya adalah seorang makhluk Tuhan, dari jenis manusia. Saya adalah anak dari Ibu dan Bapak saya. Saya seorang wanita. Saya seorang Jawa. Saya seorang Indonesia. Dan Saya seorang Muslim.”

Berdasarkan deskripsi di atas, sejak lahir paling tidak saya sudah menyandang 6 status pemberian Tuhan sekaligus. Enam status, berarti ada enam tanggung jawab yang harus diemban untuk dapat mempertahankan status tersebut. Menurut saya, keenam status yang melekat pada diri saya sejak lahir ini, harus saya jalankan bersama-sama secara harmoni. Keenam-enamnya adalah satu paket, sehingga tidak bisa jika hanya memilih sebagaian dan membuang sebagian yang lain. Menjalani keenam status tersebut secara bersamaan, adalah tantangan bagi setiap pribadi. 

Sebagai seorang makhluk (ciptaan), maka sudah menjadi kewajiban saya untuk tunduk pada penciptanya (Tuhan). Perlu disadari, bahwa jenis kita bukan satu-satunya makhluk yang diciptakan Tuhan di semesta ini. Karena ternyata, masih banyak jenis makhluk lain yang keberadaannya juga sangat penting dalam menjaga keharmonisan tata kosmos semesta alam ini. Tuhan menciptakan Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Hewan, Tumbuhan, Fungi, Monera, Protista, dan menyawai mereka. Juga menciptakan benda-benda tanpa nyawa, yang keberdaannya juga tidak kalah penting dengan makhluk-makhluk bernyawa, seperti: udara, air, tanah, bebatuan, dan semua isi geosfer, lithosfer, dan atmosfer, atau pun mungkin lapisan-lapisan lain yang belum mampu di jangkau oleh pengetahuan manusia.

Sebagai manusia, adalah kewajiban saya untuk menjalankan peran sebagai seorang manusia. Dalam agama saya, dan saya sangat meyakini kebenaran ajaran ini, bahwa takdir seorang manusia (termasuk saya) adalah menjalankan peran sebagai khalifatul fil ardh (pemimpin di muka bumi) yang keberadaannya merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ini adalah bentuk kepercayaan Tuhan yang luar biasa kepada manusia, yang tidak boleh diremehkan. Tuhan mengkarunia manusia dengan akal untuk memikirkan solusi-solusi terbaik bagi kemaslahatan bersama, baik untuk kebaikan manusia maupun alam sekitar. Disamping itu, Tuhan juga menyisipkan nurani pada hati kita untuk bisa berempati atau merasakan, yang jika dijaga kemurniannya maka nurani ini akan selalu membimbing kita memilih melakukan hal-hal yang benar secara hakiki. Seorang pemimpin untuk bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam, keberadaannya harus memberi sebesar-besarnya manfaat untuk sekitarnya. Panca indera manusia menangkap fakta-fakta yang ada disekitarnya, ketika indera menangkap ketidak beresan yang ada disekitar, hati yang peka pun tergerak untuk bertindak. Akal yang cerdas dituntut untuk memikirkan solusi-solusi yang membaikkan kondisi. Jika setiap orang, siapa pun dan di mana pun, mulai melakukan tanggung jawab ini dari pribadi mereka, maka saya yakin, kondisi di sekitar akan membaik secara perlahan. Segala sesuatu akan berjalan secara harmoni dalam tata cosmosnya.

Sebagai anak, maka kewajiban saya adalah berbakti kepada orang tua saya. Sungguh, hingga saat ini hal yang paling saya takuti dalam setiap tindakan dan pilihan hidup yang saya jalani adalah membuat orang tua saya kecewa dan sedih. Untuk itulah, dalam setiap tindakan saya selalu berhati-hati agar tidak menyakiti hati mereka dan selalu berusaha membuat mereka bangga karena telah melahirkan saya. Tidak pernah saya ingkari, keberadaan orang tua saya lah yang paling berpengaruh dalam pembentukan pribadi saya. Kasih sayang mereka, membuat saya benar-benar merasa menjadi “seseorang” secara utuh. Kepercayaan yang besar dari mereka membuat saya menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Dukungan mereka, membuat saya ingin selalu kuat dan pantang menyerah ketika menghadapi kesulitan. Keberdaan mereka, membuat saya tidak pernah merasa sendiri dan kesepian.

Sebagai seorang wanita, maka sudah menjadi takdir saya menjalani kodrat wanita. Menyiapkan diri sebagai istri untuk suami kita kelak dan menjadi ibu untuk anak-anak kita kelak. Buat saya, status wanita bukan suatu keterbatasan yang membatasi gerak, bukan juga suatu tingkatan yang harus diperbandingkan, apakah dia lebih tinggi atau lebih rendah dari laki-laki. Cukup jalani saja peran kewanitaan anda pada porsi yang sesuai. Artinya, seorang wanita bisa melakukan apapun selama mereka mampu, bahkan seperti yang dilakukan pria, jika memang kondisi membutuhkannya untuk menjadi seperti itu (silahkan tafsirkan sendiri ;p).

Saya memandang status ke Jawa-an saya, tidak lebih dari variasi spesies manusia. Keragaman itu indah, dan ke Jawaan saya adalah salah satu bagian dari pengindahan keragaman tersebut. Tidak masalah, sebagai suku Jawa asli, saya harus berkulit sawo matang, tidak seperti orang Sunda atau Dayak yang berkulit kuning langsat, atau orang timur yang berkulit lebih gelap, dan berhidung tidak terlalu mancung (memperhalus), layaknya orang Aceh atau warga keturunan (indo). Justru, keberadaan orang-orang seperti saya inilah yang membuat keragaman ini terasa lebih indah dan berwarna. Bukan bermaksud membesarkan hati, namun begitulah fakta berbicara, sesuatu akan terasa indah atau tidak, bagus atau tidak, cantik atau jelek, jika ada pembanding (ups…. What the maksud? Silahkan tafsirkan sendiri juga… :D). Tapi, untunglah fisik bukan satu-satunya pertimbangan dalam menetukan jalan hidup seseorang bukan??? 

Saya tidak pernah memilih untuk dilahirkan di negara Indonesia, tapi Tuhanlah yang memilihkan Indonesia untuk saya. Dan kebetulan orang tua saya juga bukan orang yang punya kesempatan untuk memilih kewarganegaraan mana yang mereka suka, dan tetap enjoy dengan status kewarganegaraan yang mereka miliki, jadi Alhamdulillah status Warga Negara Indonesia yang diturunkan oleh orang tua bisa saya sandang hingga saat ini. Saya sangat bersyukur untuk itu, meskipun akhir-akhir ini banyak orang disekitar saya maupun yang saya lihat di televisi tidak lagi bangga dengan ke-Indonesiaannya. Ada teman saya, yang saking frustasinya dengan kondisi di Indonesia saat ini, dia ingin pindah ke luar negeri sekaligus pindah kewarganegaraan. Melihat teman saya seperti itu, justru membuat saya sedih. Seburuk apapun kondisi negara kita, tidak pernah terbersit dalam pikiran saya untuk pindah kewarganegaraan (kalau pun ada kesempatan). Lari dari permasalahan hanyalah tindakan seorang pengecut. Lahir di suatu negara adalah anugrah dari Tuhan. Apa yang diberikan Tuhan kepada kita adalah titipan, termasuk bangsa. Semua permasalahn yang mendera bangsa kita saat ini, adalah tanggung jawab kita juga untuk memperbaikinya. Persetan dengan permainan politik dan kekuasaan yang dipertontonkan oleh para pemegang legitimasi kekuasaan. Tapi bagaimana pun juga, rakyatlah pemilik sah Republik ini. Sekecil apa pun kita, apapun pekerjaan kita, berapapun gaji kita, apapun derajat pendidikan kita, kita semua adalah pemilik sah dari Negara Indonesia kita. Kita punya hak dan tanggung jawab penuh untuk menentukan nasib bangsa sendiri. Jangan belajar hidup mewah pada koruptor, tapi belajarlah kesederhanaan pada guru-guru yang dengan ikhlas mengajar di pedalaman dan mampu berdamai dengan segala keterbatasan. Belajarlah pada tukang sapu jalanan, yang meskipun gaji mereka tidak seberapa, setiap subuh, sebelum kita bangun mereka sudah menyapu dan membersihkan sampah di sepanjang jalan raya, dan sudah tidak tampak lagi ketika matahari merambat naik di ufuk timur, saat orang-orang mulai beraktifitas. Tidak seperti para artis atau selebritis, yang berbuat baik menunggu kalau ada kamera yang menyorotnya J. Jangan belajar jahat dan licik seperti politikus, tapi belajarlah arif dan bijak seperti seorang Bapak yang dimintai pertimbangan dalam menentukan kebaikan masa depan anaknya. Berhentilah untuk menuntut, dan belajar untuk memberi. Berhenti untuk jadi bagian dari masalah, tapi jadilah bagian dari pemberi solusi. Berhentilah untuk bicara, dan mulailah bekerja. Karena sesungguhnya masih banyak orang baik di negara ini yang bisa kita jadikan guru, masih banyak kesempatan untuk berbuat baik dan masih luas lahan untuk menanam kebaikan, demi membaikkan kondisi bangsa dan negara kita, jika kita mau, bukan malah berlari!

Sebagai seorang muslim, tentu sudah menjadi kewajiban saya menjalani hal-hal yang disyariatkan oleh ajaran agama saya. Saya sering merasa awam jika harus berbicara tentang agama, kepercayaan, atau ke Tuhanan. Tapi yang jelas, buat saya, agama tidak terbatas pada symbol dan ritual-ritual, tapi lebih dari itu. Agama adalah panduan manusia untuk menuntunnya ke jalan kebaikan. Bukan hanya kebaikan untuk diri sendiri, tapi kebaikan untuk semesta alam. Agama adalah keyakinan suci, yang tempatnya ada di hati, bukan untuk diperdebatkan. Setiap orang yang percaya dan yakin pasti punya alasan. Dan alasan yang kuat hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar mau mencari, belajar dan berpikir.

(Hasil perenungan tentang multistatus yang sedang saya jalani saat ini)

Yogyakarta, Dini Hari-17 Agustus 2011.
*Selamat buat Indonesia-saya.

Kamis, 28 Juli 2011

INI JANJIKU IBU


Sudah ku baca berulang-ulang,
Lembar-lembar harapan yang kau tuliskan untukku
Yang kau rangkum dalam setiap tutur, laku dan do’a
Juga kerinduan dan cintamu yang dalam,
meski tak kau ungkapkan.

Berulang kali ku baca halaman demi halaman,
Hingga aku hafal betul setiap deret kalimat,
setiap penggal kata,
bahkan setiap lekuk huruf
yang kau tulis untuk kebaikan hidupku kelak.

Dengan harapanmu, ku taklukkan malam -malam yang menggigilkan
Rasa kantuk pun jadi abai terhadap diri sendiri,
Aku terjaga dengan sangat baik,
Membolak-balik lembar demi lembar,
Menatap lekat harapan yang kau gantungkan di bawah sadarku
Begitu ingin aku menuntaskannya.

Semakin hari, semakin banyak lembar ku hafal
Semakin dalam aku paham,
Bahwa harapanmu bukanlah beban yang harus ditangguhkan,
Tapi kepercayaan yang mengajarkanku bertanggung jawab
Dan kekuatan yang membuatku tak pernah tunduk menghadapi kesulitan

Ibu, percayalah!
Untukmu, kan ku tuntaskan harapan,
Menjadi pembuktian  yang membanggakan.
Ibu, bersabarlah..

Yogyakarta, 27 Juli 2011.
**Setelah menerima sms Ibu-ku, yang membuatku terjaga sepanjang malam. Trimakasih Ibu…

Cukup Itu Saja

Tak perlu banyak kata,
Duduklah di sampingku,
Tatap mataku lekat-lekat,
Teroboslah kedalaman jiwaku yang penuh gemuruh,
Pandang koyak moyak batinku yang terjajah badai.

Sabar, tunggulah!!
Sebentar lagi badai selesai
Mereda karena inginnya.
Tak perlu kamu jadi kuat untuk menantangnya,
Karena jiwaku yang karang ini ditaqdirkan untuk menghempasnya sendiri
Bukannya aku tak butuh kamu,
Karena ibarat karang, selalu membutuhkan tanah yang kuat sebagai pijakan
Dan kaulah pijakanku.

Diam, duduklah disampingku
Untuk mengerti dan pahami
Setiap gerak-laku,
            keras dan kaku ku,
Hanya untuk menjalani kodrat karang meredam gelombang
Biar tak tercabik-cabik pantai
Biar utuh bakau-bakau di seberang
Dan ikan-ikan kembali memijah tanpa ancaman.

Mendekat, dan duduklah disampingku
Karena ketika badai reda,
Kamu lah yang pertama ingin ku lihat
Bersama senyum mataharimu,
Dan saat itulah, aku ingin mendengarmu berkata:
“Bicaralah, apa yang bisa ku lakukan untukmu?”
Cukup, itu saja..

Dan seolah-olah, badai tidak pernah ada sebelumnya.

Yogyakarta, 7 Juni 2011

SAJAK RINDU UNTUK REMBULAN

Sepekan sudah petang datang menjelang
Menghapus senyum gadis-gadis lugu
Disebuah desa perantauan
Dimana cinta masih menjadi tanya
Dimana hati telah lama teruji dan tersakiti
Dimana hidup akan tetap menjadi hidup
Dimana kelak nisan ditancapkan
Dimana nyawa akan memudar bersama sengatan mentari.


Angin bertiup, melintas lunglai
Diatas desa perantauan
Betapa sepi !!!!
Sang gadis memadu kasih dengan rembulan
Berbicara dengan isyarat :
“ Hanya aku dan kau yang akan mengerti ” katanya.

Namun, sedetik kemudian
Senyum sang gadis berganti tangis
Kerinduan yang telah lama terpendam, tercurah keluar
Kelopak matapun tak mampu merangkul air mata
Seperti rembulan yang tak kuasa merangkul sang gadis dalam pelukannya.

Lalu rembulan bertanya :
“ Duhai kekasih, bukankah sinarku telah menghangatkanmu? “
sang gadis terpaku, diam sesaat.
Matanya yang berkabut, berbalik menatap tajam sang rembulan
Bagai sebuah isyarat maya,
Tangannyapun mulai merenda dan merajut kata :
“ Kerinduan,
Kerinduan maya,
Kerinduan Rembulan,
Kerinduan buta,
Kerinduan cinta,
Kerinduan kasihmu Tuhan !!! “


Lalu bibirnyapun mulai gemetar
Tubuhnya yang lunglai
Terhempas bersama angin malam
Wajah pucat penuh isyarat
Menjadi beku, terselimuti salju
Sang Rembulan berlalu
Membawa pergi sinar kehidupan untuknya.
Dan roh – roh suci, mulai mengalir kembali dari sudut matanya
Si gadis bermahkota gelisah, bertaut harapan
Telah terbang, pergi melintasi desa perantauan
Mencari kekasihnya, Rembulan
Meninggalkan tubuhnya, yang tetap beku
Di desa perantauan yang sepi
Tempat ia bercumbu dengan rindu.

Surabaya, 1 Januari 2004 - Malam sepi dalam hingarnya, tanpa nyawa
By. Laily Agustina R

MENUNGGU JAWABAN ATAS DOA

Kau merujuk pada doa-doa dan pengharapanku
Muncul dalam mimpi-mimpi yang menjanjikan:
Kita duduk di padang rumput yang luas
Memandang kuda-kuda menyiangi rumput yang tumbuh liar.
Kau rekatkan aku di bahumu, lekat
Mengandai-andai masa depan, dan
Mendamaikan keinginan-keinginan kita.

Aku begitu meyakinimu,
Menyediakan diriku menjadi bagianmu.
Saling menggenggam hati,
Saling menjanjikan kesetiaan,
Hingga waktu menentukan sendiri batasnya.

Yogyakarta, 19 April 2010

MENCARI TEMPAT S(EMB)UNYI

Tuhan,
Kadang aku ingin (ber)s(emb)unyi dibawah malam-Mu
Dari siang yang terik, dari matahari yang menyengat
Tapi gelap malam buat aku tersesat,
Dan dingin, bikin aku menggigil.

Aku ingin bintang-MU,
biar aku tahu arah,
Tapi bintang takut pada badai,
Selalu pergi, saat aku sendiri menghadapi halilintar.

Tuhan, aku berlari menelusuri goa-goaMu mencari perlindungan
Tapi tak ku temukan rasa aman,
Selain gelap dan ke(t)aku(t)an menyergap urat leher,
Seperti mengancam!
Ada keraguan setiap kaki berpijak,
Karena mata lumpuh, hanya menerka

Tuhan, sepertinya aku butuh cahaya…
Coba pinjamkan aku bulan,
Biar sinarnya bantu aku mengenali bentuk,
Tak perlu lagi meraba mencari pegangan,
Tapi ternyata bulan juga tak setia,
Memilih pergi saat mendung datang.

Tuhan, tunjukkan aku satu tempat aman yang bebas dari ke(t)aku(t)an.
Karena terkadang, aku butuh ruang untuk berlari dan s(emb)unyi,
Sambil mengumpulkan kekuatan
Menghadapi matahari Mu yang menyengat.

Oleh: Laily Agustina Rahmawati

Yogyakarta, 9 Maret 2011
Aku bersahabat dengan kesepian, Karena kesepian mengajariku bersyukur akan keberadaan orang-orang disekitarku...

DETAK DETIK

Malam merayapi dinding kegelapan
Pohon-pohon hitam angkuh,
Bangunan menjulang angkuh,
Ricik air got hitam mencibir
Tikus got mengumpat, dan mati nelan racun.

Jarum jam berdentuman memicu gerak waktu melaju marathon,
Detik lewat,
Menit lewat,
Sampai ke jam, lewat
Hari lewat, belum berhenti,
Bulan lewat,
Tahun lewat,
Dan malam membayang kembali..
Petang bekejaran
Bulan mengejar matahari
Matahari menyalip bulan, tak pernah ada pemenang…
Siang dan malam berpisah tanpa berseteru…
Dan Jam terus berdetak dalam detiknya.

Siang merayapi dinding pengap,
Menyeruap bau busuk bangkai tikus got yang mati nelan racun,
Air got hitam makin nyinyir mencibir
Bangunan-bangunan jadi tua, kehilangan angkuhnya
Pohon-pohon tumbang jadi papan,
Dan  jarum jam belum mau berhenti,
Terus berdetak dalam detiknya….

(Yogyakarta, 12 Maret 2011)

INVICTUS


(Victorian Poem, By William Ernest Hanley, Inspirational poem for Mandela)

Out of the night covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be for unconquerable soul.
In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeoning of chance
My head is bloody,
but unbowed.
Beyond this place of wrath and tears
Looms but the horor of the shade,
And yet the menace of the year
Find, and shall find, me unafraid.
It matters not how strait the gate,
How charge with punishment the scroll,
I am the master of my fate:
I am the captain of my soul.
=========================================================================

INVICTUS - Versiku

(Terjemahan Puisi Invictus, Karya William Ernest Hanley, oleh Laily Agustina R)

Terlepas dari malam menyelimutiku,
Hitam memenuhi lorong dari ujung ke ujung
Aku berterimaksih, Tuhan membuat Jiwaku tak tertundukkan.
Ketika terjatuh, aku tidak merintih atau menangis keras.
Ketika dihantam keadaan,
Kepalaku berdarah, tapi aku tetap tidak tunduk.
Terbayang di luar sana, kemarahan dan air mata berlindung dari ketakutan
Dan tahun-tahun mengancam.
Temukan, temukan aku!
Aku tidak takut.
Karena soalnya bukan tentang bagaimana harus melewati gerbang ini,
Tapi bagaimana hukuman ini harus dijalani.
Aku adalah penguasa taqdirku.
Aku adalah pemimpin jiwaku.

**Puisi yang sangat menguatkan, dan pantas Mandella memilihnya sebagai inspirasi... :)

Larut malam di Yogyakarta, 11 Maret 2010 

................ (Belum ada Judul)

Karang hatimu tak juga pecah,
Oleh riak,
Oleh ombak,
Oleh gelombang,
Bahkan oleh Tsunami sekalipun!

Harus berapa tangis yang tumpah,
Untuk mengisi samudera air mata yang kau bentuk
Hingga air mata ini menjelma gelombang yang lebih besar dari tsunami,
Menerjang, dan meluluh lantakkan hatimu…

Berapa nyawa lagi harus dihembuskan,
Dari gunung keangkuhan yang kau bentuk,
Hingga nyawa-nyawa itu menyergapmu, mengeringkan kesombongan dari jiwamu
seperti awan panas mengeringkan jiwa-jiwa dari raganya…

Sudah habis tanah negeri ini untuk pekuburan:
Tempat mengubur jasad-jasad rakyatmu yang jelata,
Bersama sapi-sapi mereka yang mati terpanggang ataupun tenggelam,
Juga untuk mengubur mimpi-mimpi dan kebahagiaan.
Lalu di mana lagi kami harus tinggal melewatkan hari-hari kami?

to be continued....

Yogyakarta, 6 Nopember 2010

MENGUTUKI SEPI

 Aku mengutuki malam yang kau tinggalkan bersama sepi
Hanya kamar dan buku berserak
Tapi pikiran ini mengembara memburumu,
Dan tak pernah sampai..

Bukan menyerah, hanya lelah
Hingga aku diam, dan mengutuki kegelapan yang pernah kau datang di dalamnya
Aku diam,
Mengutuki sepinya,
Memanggil-manggilmu dengan lolongan semacam tangis serigala yang meratapi keputusasaanya kepada bulan…
Sambil mengais-ngais kenangan bersamamu yang telah ku kuburkan.

Aku hanya lelah, tapi belum menyerah
Masih sanggup ku telan sepi ini atas namamu..
Dan ku teguk kegelapan sebagai penguat jiwa,
Hingga habis malam ini,
Dan malam-malam selanjutnya…

Yogyakarta, 28 September 2010

BEBAS-kan!

Layaknya terperangkap dalam alur yang membosankan
Aku berontak, menentukan alurku sendiri.
Aku tak ingin berjalan, hanya karena harus
Aku tak mau diam, hanya karena wajib
Aku tak akan mengikutimu, karena aku bebas.

Yogyakarta, 4 Agustus 2009

GERIMIS

Bukan malam yang membuat dingin,
Bukan pula hujan yang membuat basah,
Namun kerinduan yang menerjemahkn keberadaan menjadi ketiadaan
Menggigilkan kita dalam diam,
Dan batin pun gerimis..

Yogyakarta, 26 Mei 2010, 20.20 WIB

*Setelah kau pergi.

111209, ETALASE

Kata-kata bertarung dalam benak.
Segala yg terlihat menjadi teka teki yg tak mudah dimengerti.
Manusia hanya menjadi boneka-boneka kehilangan nyawa.
Dunia seakan terpisah dlm ruang dan waktu yg tak bersekakat, karena tembok terbangun dg sendirinya
Dan hanya bisa menatap dr luar,
Seperti menikmati sebuah etalase.
Etalase keasingan yg kita bangun sendiri.

Surabaya, 11 Desember 2009

280209

Ada yg menyesakkan dada,
Karena malam telah berkhianat
Ada harapan2 yg patah,
Ada mimpi2 yg dibungkam,
Ada keinginan yg menguap,
tak bs ku jangkau dan tak mungkn digenggam.
Ada kesepian yg tumbuh membenalu,
Ada ksendirian yg merongrong integritas diri,
Ada rindu yg ditahan dan terendapkan,
Ada aku yg dikhianati!

Senyap,menggetarkn gendang telinga
Malam mencuri-curi masuk menembus jendela kamar,
membobol ksepian nurani
menemukanku sendiri menekuri arti kesepian.

Tak satu pun aku menemukan mu!

Surabaya, 28 Februari 2009

Rabu, 27 April 2011

PUTRI BIRU VS PUTRI GEMPAL

(Tulisan ini kembali ku release, setelah beberapa kawan mengingatkan aku pada tulisan konyol dan memalukan ini. Mudah-mudahan bisa jadi media reuni buat temen-temen. ^_^)

Tiba-tiba pikiran liar itu muncul begitu saja. Ku tulis sms dan ku kirim ke beberapa kawanku (Tiyang Alit dan Kanteen). “Kawan, kalian dimana? Aku ingin melakukan suatu kegilaan. Maukah kalian menemaniku dalam kegilaan ini? Kita kumpul, dan baca puisi bergantian. Kita jadikan malam ini sebagai malam sastra bagi kita. Ku tunggu kalian di biologi.” Berbagai respon unik muncul di Hpku:
“Mbak anak-anak mau ke FSS, sampeyan gak ikut ta?”
“Mbak, sampeyan gak papa ta?”
“Lel, kon gendeng ta?”
“Menyedihkan.”
Tanpa ku pedulikan respon teman-teman, ku tancap gas si moti, dan meluncur ke gedung Biologi bersama seorang kawanku, xodox. Dari kostan sudah kupersiapkan segala hal yang mendukung kegilaanku, lilin; kain hitam; gunting; botol aqua; isolasi; korek api; buku kumpulan puisi; dan kue seharga Rp. 3000,- yang ku beli disakinah. Ya, ku akui, malam itu aku memang gila! Akhir-akhir ini kejiwaanku agak terganggu (red: bukan arti sebenarnya) (^_^). Mungkin ini penyakit bawaan TA…….. tapi tidak menutup kemungknan karena hatiku sedang berbahagia !!!
Sesampainya di biologi, kampus sepi, dan agak temaram karena beberapa lampu sengaja tidak dinyalakan. Di plasa duduk seorang kawan, Tauco, anak angkatan ’07 yang aku kenal di BioArt. Suasana begitu romantis dan melankolis. Angin sejuk… Dan agak gerimis. Segera ku gunakan hasrat seniku untuk membuat sebuah panggung kecil dan sederhana. Dengan prinsip “Trimo ing pandum”, Kugunakan properti seadanya dan ku adakan properti yang berguna. Dengan berbagai jurus, sret.. sret… Ciah… Haiya….. teretttttt… panggung pun jadi…
Tapi aku melupakan sesuatu….
Gerimis, membuatku pesimis…. Malam minggu yang menyedihkan! Benar kata temanku. Aku terlalu berani bersepekulasi dengan perasaan orang lain, kawan-kawanku maksudnya. Teman-temanku belum siap menerima jiwa spontanitasku yang sangat luar biasa ini. Dan benar, sampai jam 21.00 (sekitar 2 jam) tidak ada seorangpun kawanku yang datang. Tergelitik jariku untuk menggoda mereka sekali lagi, “Kawan, aku ingin menguji sesuatu kepada kalian. Apakah kalian masih mengingatnya kawan? Aku tunggu di biologi.” Cikruk… cikruk…. cikruk…. Hp ku berbunyi, “Iya mbak, habis ini kita kesana.” Senyum kemenangan tersungging di bibirku. Ha.. ha.. Ha.. Akhirnya, mereka mengikuti kemauanku.
Karena kesepian, ku undang juga seorang kawan dari BioArt, Mas Agus. Kita bertiga memulai acara dengan tema ketidak jelasan ini. Aku, Xodox, dan Mas Agus berpuisi bergantian…. Ada yang beraliran Romantis, Anarkis, Bengis, dan PDis. Apa pun itu yang penting emosiku tertumpahkan pada puisi-puisi tsb. Mendengar suara kita yang indah, tauco yang dari tadi “Mendelengi” Laptop tergoda masuk dalam kegilaan kita. Dan… ku sahkan saja dia sebagai orang gila, seperti kita.
jam sepuluh…. Kawan-kawan belum datang.
jam sebelas…. Masih belum datang. Padahal tenggorokan sudah kering. Air ludah telah tumpah. hampir putus asa….
Jam setengah duabelas…. Akhirnya… datang juga…….
6 orang kawanku datang, lengkap dengan target operasi “Rinto”. Ical, suketi, febri, mas wignyo dan icha datang membawakanku sebungkus es teh dan sekotak “terang bulan”, sedap… Kata orang bijak, “Kesabaran memang berbuah manis… semanis “terang bulan” (^_^).
Tapi… Ow.. Ow… “Someone who I need” tidak datang. Padahal aku sangat ingin dia datang. Maklum, setelah sekian lama saling diam, baru sehari kemarin kita berusaha saling membuka hati. Meskipun hanya lewat sms yang “gak penting”. Mungkin aku terlalu berharap banyak untuk bisa dekat dengan dia seperti dulu dan menghilangkan rasa kaku di antara kita. Tiba-tiba aku dicekam perasaan aneh… perasaan yang sampai saat ini tidak dapat ku kelola dengan baik. Perasaan ini mendorongku menanyakan tentang dia ke kawanku.
“Mas, si…. mana?”
“Mau wis tak ajak mrene lel, tapi mboh, moro-moro dia ngilang. Kita kehilangan jejak. Mungkin dia keweden, soale mau aku ngomong nek awakmu arep nembak dekne.”
“Ha…. Ha… Yo opo… jarene dekne awakmu arep bunuh diri… ha..ha…ha…”
teman-temanku memang berlebihan. Gak ada romantis-romantisnya sedikit pun! Tidak sensitif dan tidak peka. Mereka berpikiran macem-macem kepada niat baikku yang tulus, suci dan mulia ini. Yo opo maneh… Kehendak nurani memang gak bisa dipaksakan. Iya kan?
Tiba-tiba Hp temenku berbunyi. Dan ternyata yang ada dibalik telepon itu adalah “Someone who I need”. Dia kayaknya penasaran dan bertanya tentang apa yang terjadi di dunia kegilaanku. Ha… Aku merasa sena…ng sekali, karena aku merasa masih diperhatikan. Kemudian dia sms aku dan temanku, sekali lagi menanyakan apa yang sedang terjadi di biologi. Dan oleh temanku dibalas…. tapi sayang, Hp temenku memiliki ketidakcocokan dengan nomor flexi. Alhasil sms kawanku tidak terbaca di hpnya. Lalu dia membalas sms yang tidak terbaca tersebut dengan:
” Wah… Pasti masalahnya gawat ya? Lely arep bunuh diri ta? waduh… cukup ada satu PUTRI BIRU saja! Jangan sampai ada PUTRI GEMPAL!”
Oh busyeeet… Lagi-lagi dia menyebutku Gempal???!!!! Menyebalkan…!!!!
Hmmmm, Tapi bagaimanapun, dia pernah menjadi orang penting di hatiku. (^_^)

Surabaya, 20 Juni 2008

CATATAN INSOMNIA (1)

Aku telah bersahabat baik dengannya cukup lama. Dia akan datang dan pergi sesuka hatinya, tapi dia akan selalu ada saat aku merasa sendiri. Kami telah begitu dekat dan akrab, hingga tak segan aku menumpahkan air mata dihadapannya. Bagiku, dia adalah teman paling setia, yang sebenarnya tak pernah ku harapkan kedatangannya. Tapi setiap kali dia datang, aku tak bisa menolaknya. Seperti saat ini.....

Tiba-tiba dia masuk ke dalam kamar, menyergapku tanpa bicara sepatah kata pun. Duduk diam disampingku, sambil menungguku bercerita. Kondisi seperti ini, membuatku tak berdaya. Kata-kata pun meluncur dari bibirku, deras, seperti air terjun yang dimuntahkan dari bibir bukit. Dia tak pernah sekali pun merespon ceritaku, apalagi menasehatiku. Dia hanya duduk, diam, menyimak setiap kata yang terlontar dari mulutku. Setelah ceritaku usai, dia akan tetap menungguku, hingga aku menyerah dan melepas tangisku dibahunya.

Setelah tangisku mereda, perlahan ia menggeser bahunya dan membantuku berbaring diatas tempat tidurku. Dan kemudian ia pun merebahkan tubuhnya disampingku. Lagi-lagi, dengan diam. Mata kami saling beradu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, sorot matanya tetap kosong, hingga tatapanku dapat menembus kedasar pandangannya. Dan aku melihat diriku di sana. Seperti bercermin, aku melihat diriku dari sudut pandang lain, di luar diriku. Melihat bayanganku sendiri membuatku menggigil. Betapa menyedihkannya aku.

Dalam kondisi seperti ini, dengan sengaja aku akan menghadirkan bayangan orang-orang yang menyayangiku. Aku bersyukur karena aku tak pernah merasakan kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Aku bersyukur atas masa-masa indah yang pernah terlewatkan bersama sahabat-sahabat setia untuk saling membantu menemukan jati diri. Aku bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukung dan menguatkan setiap langkah yang telah ku pilih.

Satu per satu bayangan orang-orang yang menyayangiku timbul dan tenggelam dalam pikiranku. Setiap mengingat mereka, pandangan menyedihkan pada diri sendiri perlahan-lahan hilang. Maka tidak ada alasan bagi hatiku untuk merasa buruk. Karena aku tak ingin senyum orang-orang yang menyayangiku padam. Bukankah keberadaan mereka layak untuk ku syukuri?

Pada saat aku menyadari, bahwa kondisi hatiku telah membaik, tanpa sadar aku telah kehilangannya. Tiba-tiba ia menghilang, tetap tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia pergi meninggalkan aku, bersama kediamannya. Dan aku tak pernah tau kapan dia kembali. Aku pun tak pernah mengharapkannya untuk kembali. Namun aku selalu berterima kasih akan kedatangannya. Karena kedatangannya mengajariku untuk lebih bersyukur. Aku memanggil sahabatku itu dengan ”KESEPIAN”.

Aku bersabat baik dengan ”KESEPIAN”, karena dengan ”KESEPIAN” aku akan lebih mensyukuri keberadaan orang-orang disampingku.

Terimakasih atas SEPI yang Engkau berikan.................


Yogyakarta, 26 Maret 2010, 00.48 WIB.

PLATONIC AFFECTION, Part.2

Akhir-akhir ini aku sering merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Perasaan yang selama ini ku simpan untuknya semakin mengabur. Aku menyayanginya, entah sampai kapan aku akan bertahan dengan perasaan seperti ini. Akupun tak dapat menjamin bahwa perasaan ini akan tetap mekar, karena seperti bunga suatu saat perasaan ini mungkin akan layu.

Kebingungan ini, mungkin adalah jawaban terbijak yang dapat aku berikan untuk hatiku, sambil memberi waktu menimbang dan menentukan sikap. Apakah aku akan tetap menunggunya, atau membiarkannya berlalu dan melupakannya.

Mengingatnya bagaikan membuka dua sisi kenangan yang saling berlawanan dan telah ku simpan baik-baik di ingatanku sampai saat ini. Tentang segala hal indah yang aku lewati bersamanya, juga tentang hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Semua tentangnya, olehnya, dan karenanya.

Dekat dengannya membuat aku semakin tahu bahwa dia adalah orang yang sangat tulus dan apa adanya. Dia sering melakukan banyak hal untuk ku dan temen-teman yang lain tanpa diminta. Hal-hal kecil, namun manis. Dia membawaku kepada teman-temannya dan berusaha agar aku diterima oleh mereka, dengan segala kekuranganku. Dan berkat dia, hingga saat inii aku masih berteman baik dengan teman-temannya, meskipun aku telah kehilangannya sebagai teman.

Kalau boleh aku menyesal, hal yang paling ku sesali dalam hidupku hingga saat ini adalah mencintainya. Karena mencintainya membuat aku kehilangan seorang sahabat istimewa. Dan kerena keistimewaannya itu pula aku menyayanginya.

Perasaan sayang yang ingin disampaikan hatiku untuknya, ternyata tidak dapat diterimanya sebagai maksud baik. Malah sebaliknya, entah mengapa dia menganggapnya sebagai suatu ancaman. Persahabatan yang kita jalin bertahun-tahun, seolah-olah tidak berarti lagi baginya. Karena kesalahanku. Kesalahan yang sebenarnya tidak aku sengaja.

Mungkin caraku untuk menyayanginya salah. Segala yang aku lakukan untuknya menjadi begitu berlebihan dimatanya. Rasa sayang mendorongku untuk berusaha melakukan dan memberi yang terbaik untuknya. Meskipun ternyata apa yang menurutku baik, belum tentu baik menurutnya.

Aku menyayanginya bukan kerena apa-apa, tapi karena rasa sayang itu tumbuh dengan sendirinya. Dan semakin subur seiring dengan waktu dan kedekatanku dengannya. Kedekatan sebagai sahabat.

Tiga tahun lebih aku menyembunyikan perasaan ini darinya. Menutup segala kesempatan, dan mencoba untuk tetap setia pada perasaanku. Bertahan pada sesuatu yang tidak pasti. Tapi di dalam ketidakpastian itu aku yakin, bahwa suatu saat perasaan ini akan sampai padanya. Bahwa aku menyayanginya tanpa syarat, bahwa aku bersedia menjadi penopang saat dia jatuh, bahwa aku siap menjadi teman saat susah maupun senang. Semua tanpa syarat, dan meluncur begitu saja dari hatiku. Dan tak pernah terucapkan, sampai sekarang.

“Cuma kata ini yang bisa ku ucap
Karena yang lain, aku bisu
Seperti kau yang membisu
karena ku.”


Dan selama kurun waktu tersebut, selain merasakan perasaan cinta yang begitu dalam, secara bersamaan aku merasakan sakit yang luar biasa. Mencintainya membuat aku harus siap untuk dibencinya. Sejak dia tahu perasaanku, sikapnya terhadapku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku menangkap sorot kebencian dari tatapan matanya. Sikapnya menjadi kasar dan dingin terhadapku. Setiap bertemu, kita tak lagi saling menyapa maupun bicara. Suasana menjadi kaku, membuatku sulit bernafas. Aku kehilangan kata, meski dada berkecamuk ingin berontak. Aku pun tak berani menatap matanya, karena melihat sorotnya yang penuh benci akan membuat hatiku semakin hancur. Mungkin rasa benci itu adalah wujud lain dari cintanya untukku, dan begitu pula rasa sakit yang aku rasakan ini merupakan perwujudan lain cintaku untuknya. Begitulah caraku untuk bertahan.

“…… Kita tak lagi terbiasa bicara di meja yang sama
Kita tak lagi terbiasa minum dari gelas yang sama,
Karena kita saling asing…

Aku yang (d)ingin,
Tak bisa menyapamu dalam kebekuan…”


Beberapa kali aku mencoba untuk minta maaf dan berharap bisa menjalin hubungan seperti dulu, sebagai sahabat. Aku berusaha memulainya, karena dalam hal ini aku merasa bahwa akulah yang bersalah karena mencintainya. Akan tetapi perasaan cinta yang pernah tumbuh di hatiku membuat aku dan dia menjadi sangat sensitive. Permasalahan kecil akan meledak menjadi sesuatu yang besar. Dan setiap kami mencoba untuk berdamai, selalu berakhir dengan pertengkaran-pertengkaran yang semakin memperburuk keadaan. Hingga akhirnya aku lelah, dan lebih memilih menyerah kepada keadaan. Sesuatu yang sebenarnya aku benci.

Selanjutnya, hari-hari kami lalui dengan saling menghindar. Meskipun terkadang, kondisi memang tak dapat dikontrol dan memaksa kami untuk bertemu. Pertemuan dengannya selalu dingin, mencekat, dan menyesakkan dada. Pertemuan dengannya membuatku kehilangan jati diri. Aku menjadi asing dengan diri sendiri, dan aku pun tak mengenalnya seperti dulu. Tak pernah ada kata terlontar dari mulut kami, kecuali basa basi yang sangat basi dan garing. Setiap kali mata kami bertemu, memicu letupan keras dijantung dan menjalar ke hati dan membuatnya bergejolak. Entah gejolak macam apa, aku pun tak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Aku hanya merasakannya... Dalam sekali hentak, rasa senang dan benci melebur jadi satu. Waktu seakan terhenti, ruang menjadi kosong, hanya aku dan dia, berdiri di sudut masing-masing. Tanpa kata... hanya pikiran-pikiran yang berkecamuk, bertanya-tanya pada diri sendiri, perasaan apakah ini? Tumbuh seperti benalu, membelit hati dan tak bisa lepas... Sungguh, kalau aku bisa, aku ingin sekali membencinya....

***********