http://sisikemanusiaan.blogspot.com/2009/05/sedulur-sikep.html
Berbicara
kondisi Bojonegoro terkini, yang timbul adalah rasa prihatin. Bagaimana tidak, diatas
tanahnya yang kaya, masih banyak masyarakat Bojonegoro yang hidup miskin dan
serba kekurangan. Mereka kehilangan hak dan tak punya kuasa untuk
mempertahankan dan menikmati kekayaan alam yang dimilikinya. Dalam kondisi
demikian, seharusnya masyarakat Bojonegoro berguru pada masyarakat samin dalam
hal mempertahankan kakayaan alam dan kedaulatan mereka menentang kesewenangan
pemerintah kolonial.
Suku Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang sejak awal menerapkan
konsep perlawanan kepada budaya kolonialisme dan kapitalisme, dengan ajaran
saminismenya sejak abad ke-19. Masyarakat samin Bojonegoro mulai terbentuk pada
tahun 1890, di kawasan hutan Randublatung, Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho,
Bojonegoro. Ajaran Saminisme muncul
sebagai reaksi terhadap pemerintah
kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud
penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat
terhadap pemerintah Kolonial.
Tiga unsur gerakan saminisme adalah: pertama,
gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme
dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat
utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam
diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk pemerintah
kolonial, menjegal peraturan agraria yang
dianggap merugikan petani dan bertindak
non kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Bojonegoro adalah salah satu daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam
(SDA), baik hayati maupun non hayati. Wilayahnya yang terbentang seluas 230.706
Ha, dengan bagian utara dilewati oleh aliran sungai Bengawan Solo sehingga
memiliki tanah yang subur. Oleh karena itu, Bojonegoro seharusnya mampu
menjadikan sektor agraris menjadi salah satu sektor penting dan dapat
diandalkan untuk menyokong perekonomian masyarakat Bojonegoro. Selain itu, keberadaan
hutan jati dan penemuan ladang minyak di daerah Ngasem dan Sukowati semakin
menjadikan Bojonegoro sebagai salah satu kabupaten yang memiliki SDA terkaya di
Indonesia.
Akan tetapi kekayaan alam yang
melimpah tersebut ternyata belum mampu dikelola secara optimal oleh Pemerintah
Daerah (PEMDA). Akibatnya kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak bagi
seluruh masyarakat Bojonegoro, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Rendahnya
Upah Minimum Daerah (UMD), yakni sekitar Rp.475.000,00 (th.2006), merupakan
salah satu bukti bahwa masyarakat Bojonegoro masih jauh dari standar sejahtera.
Namun sayangnya, masyarakat
Bojonegoro sendiri terlambat menyadari hal tersebut. Dan ketika mereka sadar,
yang mereka saksikan hanyalah berhektar-hektar hutan jati yang telah gundul
akibat penebangan liar. Hutan yang gundul mengakibatkan penyerapan air pada
musim penghujan tidak maksimal, dan berdampak pada meluapnya air sungai
Bengawan Solo yang membanjiri DAS disekitarnya. Hasilnya adalah banjir, seperti
banjir besar yang terjadi tahun 2008, di Bojonegoro. Selain itu penggundulan
hutan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pemenasan global, yang juga
berdampak pada kacaunya musim. Ketika hal ini terjadi maka yang paling
dirugikan adalah para petani, yang berjumlah 5% dari total penduduk
Kab.Bojonegoro.
Ditemukannya ladang minyak di Bojonegoro memberikan harapan besar bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Bagaimana tidak, dari sumur
Sukowati yang dikelola oleh Pertamina-Petro
China tersebut setiap
harinya dapat menghasilkan 8000 barel minyak mentah. Terhitung setahun sejak
pengeboran, yakni mulai tahun 2005, telah dihasilkan minyak mentah sebanyak 2,2
juta barel dengan total penjualan mencapai US $150 juta. Akan tetapi kenyataan
berkata lain. Keterlibatan masyarakat
Bojonegoro dalam pengelolaan ladang minyak sangatlah kecil. Pemerintah lebih
percaya dengan orang asing daripada anak bangsa sendiri. Akibatnya dari angka
penjualan yang sangat besar tersebut, berdasarkan Undang-Undangan Perimbangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, Bojonegoro hanya mendapat dana bagi hasil sebesar
Rp. 25 miliar pada tahun 2006. Nilai tersebut termasuk sangat kecil bila
dibandingkan dengan nilai total penjualan. Dan dalam prakteknya pun, dana bagi
hasil yang diterima oleh PEMDA Bojonegoro tidak berdampak signifikan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melihat fenomena di atas, yang terjadi di Bojonegoro saat ini adalah
suatu bentuk system kolonial baru, dimana masyarakat Bojonegoro dijajah oleh
pemerintahnya sendiri. Pemerintah yang menjual kekayaan alam bangsanya kepada
pihak asing, bukan untuk kesejahteraan rakyatnya, adalah bentuk baru
pemerintahan yang kolonial dan kapital yang pasti menyengsarakan rakyat.
Oleh karena itu, Masyarakat Bojonegoro tampaknya harus belajar kembali
pada masyarakat samin, dengan Gerakan Saminismenya.
Karena kecintaan mereka kepada bangsanya, masyarakat samin tidak rela
memberikan kekayaan yang dimiliki bangsanya kepada orang asing yang sebenarnya
sama sekali tidak berhak. Seharusnya kita pun demikian. Sejarah mengajarkan
bahwa keterlibatan asing dalam pengelolaan SDA sering bersifat merugikan. SDA
yang kita miliki seharusnya kita jaga dengan baik, keterlibatan asing
diminimalisir dan keterlibatan anak bangsa ditingkatkan. hingga suatu saat kita
dapat mengelolanya sendiri secara baik, optimal dan bijaksana. Sehingga
manfaatnya pun bisa dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat Bojonegoro.
Oleh: Laily Agustina
R.
Ditulis Agustus 2009,
dalam Latihan Menulis Sekolah Ekonomika Demokratik bersama Mbak Maya JATAM