Sepekan sudah petang datang menjelang
Menghapus senyum gadis-gadis lugu
Disebuah desa perantauan
Dimana cinta masih menjadi tanya
Dimana hati telah lama teruji dan tersakiti
Dimana hidup akan tetap menjadi hidup
Dimana kelak nisan ditancapkan
Dimana nyawa akan memudar bersama sengatan mentari.
Angin bertiup, melintas lunglai
Diatas desa perantauan
Betapa sepi !!!!
Sang gadis memadu kasih dengan rembulan
Berbicara dengan isyarat :
“ Hanya aku dan kau yang akan mengerti ” katanya.
Namun, sedetik kemudian
Senyum sang gadis berganti tangis
Kerinduan yang telah lama terpendam, tercurah keluar
Kelopak matapun tak mampu merangkul air mata
Seperti rembulan yang tak kuasa merangkul sang gadis dalam pelukannya.
Lalu rembulan bertanya :
“ Duhai kekasih, bukankah sinarku telah menghangatkanmu? “
sang gadis terpaku, diam sesaat.
Matanya yang berkabut, berbalik menatap tajam sang rembulan
Bagai sebuah isyarat maya,
Tangannyapun mulai merenda dan merajut kata :
“ Kerinduan,
Kerinduan maya,
Kerinduan Rembulan,
Kerinduan buta,
Kerinduan cinta,
Kerinduan kasihmu Tuhan !!! “
Lalu bibirnyapun mulai gemetar
Tubuhnya yang lunglai
Terhempas bersama angin malam
Wajah pucat penuh isyarat
Menjadi beku, terselimuti salju
Sang Rembulan berlalu
Membawa pergi sinar kehidupan untuknya.
Dan roh – roh suci, mulai mengalir kembali dari sudut matanya
Si gadis bermahkota gelisah, bertaut harapan
Telah terbang, pergi melintasi desa perantauan
Mencari kekasihnya, Rembulan
Meninggalkan tubuhnya, yang tetap beku
Di desa perantauan yang sepi
Tempat ia bercumbu dengan rindu.
Surabaya, 1 Januari 2004 - Malam sepi dalam hingarnya, tanpa nyawa
By. Laily Agustina R
Menghapus senyum gadis-gadis lugu
Disebuah desa perantauan
Dimana cinta masih menjadi tanya
Dimana hati telah lama teruji dan tersakiti
Dimana hidup akan tetap menjadi hidup
Dimana kelak nisan ditancapkan
Dimana nyawa akan memudar bersama sengatan mentari.
Angin bertiup, melintas lunglai
Diatas desa perantauan
Betapa sepi !!!!
Sang gadis memadu kasih dengan rembulan
Berbicara dengan isyarat :
“ Hanya aku dan kau yang akan mengerti ” katanya.
Namun, sedetik kemudian
Senyum sang gadis berganti tangis
Kerinduan yang telah lama terpendam, tercurah keluar
Kelopak matapun tak mampu merangkul air mata
Seperti rembulan yang tak kuasa merangkul sang gadis dalam pelukannya.
Lalu rembulan bertanya :
“ Duhai kekasih, bukankah sinarku telah menghangatkanmu? “
sang gadis terpaku, diam sesaat.
Matanya yang berkabut, berbalik menatap tajam sang rembulan
Bagai sebuah isyarat maya,
Tangannyapun mulai merenda dan merajut kata :
“ Kerinduan,
Kerinduan maya,
Kerinduan Rembulan,
Kerinduan buta,
Kerinduan cinta,
Kerinduan kasihmu Tuhan !!! “
Lalu bibirnyapun mulai gemetar
Tubuhnya yang lunglai
Terhempas bersama angin malam
Wajah pucat penuh isyarat
Menjadi beku, terselimuti salju
Sang Rembulan berlalu
Membawa pergi sinar kehidupan untuknya.
Dan roh – roh suci, mulai mengalir kembali dari sudut matanya
Si gadis bermahkota gelisah, bertaut harapan
Telah terbang, pergi melintasi desa perantauan
Mencari kekasihnya, Rembulan
Meninggalkan tubuhnya, yang tetap beku
Di desa perantauan yang sepi
Tempat ia bercumbu dengan rindu.
Surabaya, 1 Januari 2004 - Malam sepi dalam hingarnya, tanpa nyawa
By. Laily Agustina R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar