Kamis, 28 Juli 2011

INI JANJIKU IBU


Sudah ku baca berulang-ulang,
Lembar-lembar harapan yang kau tuliskan untukku
Yang kau rangkum dalam setiap tutur, laku dan do’a
Juga kerinduan dan cintamu yang dalam,
meski tak kau ungkapkan.

Berulang kali ku baca halaman demi halaman,
Hingga aku hafal betul setiap deret kalimat,
setiap penggal kata,
bahkan setiap lekuk huruf
yang kau tulis untuk kebaikan hidupku kelak.

Dengan harapanmu, ku taklukkan malam -malam yang menggigilkan
Rasa kantuk pun jadi abai terhadap diri sendiri,
Aku terjaga dengan sangat baik,
Membolak-balik lembar demi lembar,
Menatap lekat harapan yang kau gantungkan di bawah sadarku
Begitu ingin aku menuntaskannya.

Semakin hari, semakin banyak lembar ku hafal
Semakin dalam aku paham,
Bahwa harapanmu bukanlah beban yang harus ditangguhkan,
Tapi kepercayaan yang mengajarkanku bertanggung jawab
Dan kekuatan yang membuatku tak pernah tunduk menghadapi kesulitan

Ibu, percayalah!
Untukmu, kan ku tuntaskan harapan,
Menjadi pembuktian  yang membanggakan.
Ibu, bersabarlah..

Yogyakarta, 27 Juli 2011.
**Setelah menerima sms Ibu-ku, yang membuatku terjaga sepanjang malam. Trimakasih Ibu…

Cukup Itu Saja

Tak perlu banyak kata,
Duduklah di sampingku,
Tatap mataku lekat-lekat,
Teroboslah kedalaman jiwaku yang penuh gemuruh,
Pandang koyak moyak batinku yang terjajah badai.

Sabar, tunggulah!!
Sebentar lagi badai selesai
Mereda karena inginnya.
Tak perlu kamu jadi kuat untuk menantangnya,
Karena jiwaku yang karang ini ditaqdirkan untuk menghempasnya sendiri
Bukannya aku tak butuh kamu,
Karena ibarat karang, selalu membutuhkan tanah yang kuat sebagai pijakan
Dan kaulah pijakanku.

Diam, duduklah disampingku
Untuk mengerti dan pahami
Setiap gerak-laku,
            keras dan kaku ku,
Hanya untuk menjalani kodrat karang meredam gelombang
Biar tak tercabik-cabik pantai
Biar utuh bakau-bakau di seberang
Dan ikan-ikan kembali memijah tanpa ancaman.

Mendekat, dan duduklah disampingku
Karena ketika badai reda,
Kamu lah yang pertama ingin ku lihat
Bersama senyum mataharimu,
Dan saat itulah, aku ingin mendengarmu berkata:
“Bicaralah, apa yang bisa ku lakukan untukmu?”
Cukup, itu saja..

Dan seolah-olah, badai tidak pernah ada sebelumnya.

Yogyakarta, 7 Juni 2011

SAJAK RINDU UNTUK REMBULAN

Sepekan sudah petang datang menjelang
Menghapus senyum gadis-gadis lugu
Disebuah desa perantauan
Dimana cinta masih menjadi tanya
Dimana hati telah lama teruji dan tersakiti
Dimana hidup akan tetap menjadi hidup
Dimana kelak nisan ditancapkan
Dimana nyawa akan memudar bersama sengatan mentari.


Angin bertiup, melintas lunglai
Diatas desa perantauan
Betapa sepi !!!!
Sang gadis memadu kasih dengan rembulan
Berbicara dengan isyarat :
“ Hanya aku dan kau yang akan mengerti ” katanya.

Namun, sedetik kemudian
Senyum sang gadis berganti tangis
Kerinduan yang telah lama terpendam, tercurah keluar
Kelopak matapun tak mampu merangkul air mata
Seperti rembulan yang tak kuasa merangkul sang gadis dalam pelukannya.

Lalu rembulan bertanya :
“ Duhai kekasih, bukankah sinarku telah menghangatkanmu? “
sang gadis terpaku, diam sesaat.
Matanya yang berkabut, berbalik menatap tajam sang rembulan
Bagai sebuah isyarat maya,
Tangannyapun mulai merenda dan merajut kata :
“ Kerinduan,
Kerinduan maya,
Kerinduan Rembulan,
Kerinduan buta,
Kerinduan cinta,
Kerinduan kasihmu Tuhan !!! “


Lalu bibirnyapun mulai gemetar
Tubuhnya yang lunglai
Terhempas bersama angin malam
Wajah pucat penuh isyarat
Menjadi beku, terselimuti salju
Sang Rembulan berlalu
Membawa pergi sinar kehidupan untuknya.
Dan roh – roh suci, mulai mengalir kembali dari sudut matanya
Si gadis bermahkota gelisah, bertaut harapan
Telah terbang, pergi melintasi desa perantauan
Mencari kekasihnya, Rembulan
Meninggalkan tubuhnya, yang tetap beku
Di desa perantauan yang sepi
Tempat ia bercumbu dengan rindu.

Surabaya, 1 Januari 2004 - Malam sepi dalam hingarnya, tanpa nyawa
By. Laily Agustina R

MENUNGGU JAWABAN ATAS DOA

Kau merujuk pada doa-doa dan pengharapanku
Muncul dalam mimpi-mimpi yang menjanjikan:
Kita duduk di padang rumput yang luas
Memandang kuda-kuda menyiangi rumput yang tumbuh liar.
Kau rekatkan aku di bahumu, lekat
Mengandai-andai masa depan, dan
Mendamaikan keinginan-keinginan kita.

Aku begitu meyakinimu,
Menyediakan diriku menjadi bagianmu.
Saling menggenggam hati,
Saling menjanjikan kesetiaan,
Hingga waktu menentukan sendiri batasnya.

Yogyakarta, 19 April 2010

MENCARI TEMPAT S(EMB)UNYI

Tuhan,
Kadang aku ingin (ber)s(emb)unyi dibawah malam-Mu
Dari siang yang terik, dari matahari yang menyengat
Tapi gelap malam buat aku tersesat,
Dan dingin, bikin aku menggigil.

Aku ingin bintang-MU,
biar aku tahu arah,
Tapi bintang takut pada badai,
Selalu pergi, saat aku sendiri menghadapi halilintar.

Tuhan, aku berlari menelusuri goa-goaMu mencari perlindungan
Tapi tak ku temukan rasa aman,
Selain gelap dan ke(t)aku(t)an menyergap urat leher,
Seperti mengancam!
Ada keraguan setiap kaki berpijak,
Karena mata lumpuh, hanya menerka

Tuhan, sepertinya aku butuh cahaya…
Coba pinjamkan aku bulan,
Biar sinarnya bantu aku mengenali bentuk,
Tak perlu lagi meraba mencari pegangan,
Tapi ternyata bulan juga tak setia,
Memilih pergi saat mendung datang.

Tuhan, tunjukkan aku satu tempat aman yang bebas dari ke(t)aku(t)an.
Karena terkadang, aku butuh ruang untuk berlari dan s(emb)unyi,
Sambil mengumpulkan kekuatan
Menghadapi matahari Mu yang menyengat.

Oleh: Laily Agustina Rahmawati

Yogyakarta, 9 Maret 2011
Aku bersahabat dengan kesepian, Karena kesepian mengajariku bersyukur akan keberadaan orang-orang disekitarku...

DETAK DETIK

Malam merayapi dinding kegelapan
Pohon-pohon hitam angkuh,
Bangunan menjulang angkuh,
Ricik air got hitam mencibir
Tikus got mengumpat, dan mati nelan racun.

Jarum jam berdentuman memicu gerak waktu melaju marathon,
Detik lewat,
Menit lewat,
Sampai ke jam, lewat
Hari lewat, belum berhenti,
Bulan lewat,
Tahun lewat,
Dan malam membayang kembali..
Petang bekejaran
Bulan mengejar matahari
Matahari menyalip bulan, tak pernah ada pemenang…
Siang dan malam berpisah tanpa berseteru…
Dan Jam terus berdetak dalam detiknya.

Siang merayapi dinding pengap,
Menyeruap bau busuk bangkai tikus got yang mati nelan racun,
Air got hitam makin nyinyir mencibir
Bangunan-bangunan jadi tua, kehilangan angkuhnya
Pohon-pohon tumbang jadi papan,
Dan  jarum jam belum mau berhenti,
Terus berdetak dalam detiknya….

(Yogyakarta, 12 Maret 2011)

INVICTUS


(Victorian Poem, By William Ernest Hanley, Inspirational poem for Mandela)

Out of the night covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be for unconquerable soul.
In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeoning of chance
My head is bloody,
but unbowed.
Beyond this place of wrath and tears
Looms but the horor of the shade,
And yet the menace of the year
Find, and shall find, me unafraid.
It matters not how strait the gate,
How charge with punishment the scroll,
I am the master of my fate:
I am the captain of my soul.
=========================================================================

INVICTUS - Versiku

(Terjemahan Puisi Invictus, Karya William Ernest Hanley, oleh Laily Agustina R)

Terlepas dari malam menyelimutiku,
Hitam memenuhi lorong dari ujung ke ujung
Aku berterimaksih, Tuhan membuat Jiwaku tak tertundukkan.
Ketika terjatuh, aku tidak merintih atau menangis keras.
Ketika dihantam keadaan,
Kepalaku berdarah, tapi aku tetap tidak tunduk.
Terbayang di luar sana, kemarahan dan air mata berlindung dari ketakutan
Dan tahun-tahun mengancam.
Temukan, temukan aku!
Aku tidak takut.
Karena soalnya bukan tentang bagaimana harus melewati gerbang ini,
Tapi bagaimana hukuman ini harus dijalani.
Aku adalah penguasa taqdirku.
Aku adalah pemimpin jiwaku.

**Puisi yang sangat menguatkan, dan pantas Mandella memilihnya sebagai inspirasi... :)

Larut malam di Yogyakarta, 11 Maret 2010 

................ (Belum ada Judul)

Karang hatimu tak juga pecah,
Oleh riak,
Oleh ombak,
Oleh gelombang,
Bahkan oleh Tsunami sekalipun!

Harus berapa tangis yang tumpah,
Untuk mengisi samudera air mata yang kau bentuk
Hingga air mata ini menjelma gelombang yang lebih besar dari tsunami,
Menerjang, dan meluluh lantakkan hatimu…

Berapa nyawa lagi harus dihembuskan,
Dari gunung keangkuhan yang kau bentuk,
Hingga nyawa-nyawa itu menyergapmu, mengeringkan kesombongan dari jiwamu
seperti awan panas mengeringkan jiwa-jiwa dari raganya…

Sudah habis tanah negeri ini untuk pekuburan:
Tempat mengubur jasad-jasad rakyatmu yang jelata,
Bersama sapi-sapi mereka yang mati terpanggang ataupun tenggelam,
Juga untuk mengubur mimpi-mimpi dan kebahagiaan.
Lalu di mana lagi kami harus tinggal melewatkan hari-hari kami?

to be continued....

Yogyakarta, 6 Nopember 2010

MENGUTUKI SEPI

 Aku mengutuki malam yang kau tinggalkan bersama sepi
Hanya kamar dan buku berserak
Tapi pikiran ini mengembara memburumu,
Dan tak pernah sampai..

Bukan menyerah, hanya lelah
Hingga aku diam, dan mengutuki kegelapan yang pernah kau datang di dalamnya
Aku diam,
Mengutuki sepinya,
Memanggil-manggilmu dengan lolongan semacam tangis serigala yang meratapi keputusasaanya kepada bulan…
Sambil mengais-ngais kenangan bersamamu yang telah ku kuburkan.

Aku hanya lelah, tapi belum menyerah
Masih sanggup ku telan sepi ini atas namamu..
Dan ku teguk kegelapan sebagai penguat jiwa,
Hingga habis malam ini,
Dan malam-malam selanjutnya…

Yogyakarta, 28 September 2010

BEBAS-kan!

Layaknya terperangkap dalam alur yang membosankan
Aku berontak, menentukan alurku sendiri.
Aku tak ingin berjalan, hanya karena harus
Aku tak mau diam, hanya karena wajib
Aku tak akan mengikutimu, karena aku bebas.

Yogyakarta, 4 Agustus 2009

GERIMIS

Bukan malam yang membuat dingin,
Bukan pula hujan yang membuat basah,
Namun kerinduan yang menerjemahkn keberadaan menjadi ketiadaan
Menggigilkan kita dalam diam,
Dan batin pun gerimis..

Yogyakarta, 26 Mei 2010, 20.20 WIB

*Setelah kau pergi.

111209, ETALASE

Kata-kata bertarung dalam benak.
Segala yg terlihat menjadi teka teki yg tak mudah dimengerti.
Manusia hanya menjadi boneka-boneka kehilangan nyawa.
Dunia seakan terpisah dlm ruang dan waktu yg tak bersekakat, karena tembok terbangun dg sendirinya
Dan hanya bisa menatap dr luar,
Seperti menikmati sebuah etalase.
Etalase keasingan yg kita bangun sendiri.

Surabaya, 11 Desember 2009

280209

Ada yg menyesakkan dada,
Karena malam telah berkhianat
Ada harapan2 yg patah,
Ada mimpi2 yg dibungkam,
Ada keinginan yg menguap,
tak bs ku jangkau dan tak mungkn digenggam.
Ada kesepian yg tumbuh membenalu,
Ada ksendirian yg merongrong integritas diri,
Ada rindu yg ditahan dan terendapkan,
Ada aku yg dikhianati!

Senyap,menggetarkn gendang telinga
Malam mencuri-curi masuk menembus jendela kamar,
membobol ksepian nurani
menemukanku sendiri menekuri arti kesepian.

Tak satu pun aku menemukan mu!

Surabaya, 28 Februari 2009