Minggu, 27 November 2011

BOJONEGORO HARUS BELAJAR KEPADA MASYARAKAT SAMIN

http://sisikemanusiaan.blogspot.com/2009/05/sedulur-sikep.html
 
 
           Berbicara kondisi Bojonegoro terkini, yang timbul adalah rasa prihatin. Bagaimana tidak, diatas tanahnya yang kaya, masih banyak masyarakat Bojonegoro yang hidup miskin dan serba kekurangan. Mereka kehilangan hak dan tak punya kuasa untuk mempertahankan dan menikmati kekayaan alam yang dimilikinya. Dalam kondisi demikian, seharusnya masyarakat Bojonegoro berguru pada masyarakat samin dalam hal mempertahankan kakayaan alam dan kedaulatan mereka menentang kesewenangan pemerintah kolonial.
Suku Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang sejak awal menerapkan konsep perlawanan kepada budaya kolonialisme dan kapitalisme, dengan ajaran saminismenya sejak abad ke-19. Masyarakat samin Bojonegoro mulai terbentuk pada tahun 1890, di kawasan hutan Randublatung, Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Bojonegoro. Ajaran Saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial. Tiga unsur gerakan saminisme adalah: pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk pemerintah kolonial, menjegal peraturan agraria yang dianggap merugikan petani dan bertindak non kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Bojonegoro adalah salah satu daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), baik hayati maupun non hayati. Wilayahnya yang terbentang seluas 230.706 Ha, dengan bagian utara dilewati oleh aliran sungai Bengawan Solo sehingga memiliki tanah yang subur. Oleh karena itu, Bojonegoro seharusnya mampu menjadikan sektor agraris menjadi salah satu sektor penting dan dapat diandalkan untuk menyokong perekonomian masyarakat Bojonegoro. Selain itu, keberadaan hutan jati dan penemuan ladang minyak di daerah Ngasem dan Sukowati semakin menjadikan Bojonegoro sebagai salah satu kabupaten yang memiliki SDA terkaya di Indonesia.
            Akan tetapi kekayaan alam yang melimpah tersebut ternyata belum mampu dikelola secara optimal oleh Pemerintah Daerah (PEMDA). Akibatnya kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak bagi seluruh masyarakat Bojonegoro, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Rendahnya Upah Minimum Daerah (UMD), yakni sekitar Rp.475.000,00 (th.2006), merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Bojonegoro masih jauh dari standar sejahtera.
           Namun sayangnya, masyarakat Bojonegoro sendiri terlambat menyadari hal tersebut. Dan ketika mereka sadar, yang mereka saksikan hanyalah berhektar-hektar hutan jati yang telah gundul akibat penebangan liar. Hutan yang gundul mengakibatkan penyerapan air pada musim penghujan tidak maksimal, dan berdampak pada meluapnya air sungai Bengawan Solo yang membanjiri DAS disekitarnya. Hasilnya adalah banjir, seperti banjir besar yang terjadi tahun 2008, di Bojonegoro. Selain itu penggundulan hutan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pemenasan global, yang juga berdampak pada kacaunya musim. Ketika hal ini terjadi maka yang paling dirugikan adalah para petani, yang berjumlah 5% dari total penduduk Kab.Bojonegoro.
Ditemukannya ladang minyak di Bojonegoro memberikan harapan besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Bagaimana tidak, dari sumur Sukowati yang dikelola oleh Pertamina-Petro China tersebut setiap harinya dapat menghasilkan 8000 barel minyak mentah. Terhitung setahun sejak pengeboran, yakni mulai tahun 2005, telah dihasilkan minyak mentah sebanyak 2,2 juta barel dengan total penjualan mencapai US $150 juta. Akan tetapi kenyataan berkata lain. Keterlibatan  masyarakat Bojonegoro dalam pengelolaan ladang minyak sangatlah kecil. Pemerintah lebih percaya dengan orang asing daripada anak bangsa sendiri. Akibatnya dari angka penjualan yang sangat besar tersebut, berdasarkan Undang-Undangan Perimbangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Bojonegoro hanya mendapat dana bagi hasil sebesar Rp. 25 miliar pada tahun 2006. Nilai tersebut termasuk sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai total penjualan. Dan dalam prakteknya pun, dana bagi hasil yang diterima oleh PEMDA Bojonegoro tidak berdampak signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Melihat fenomena di atas, yang terjadi di Bojonegoro saat ini adalah suatu bentuk system kolonial baru, dimana masyarakat Bojonegoro dijajah oleh pemerintahnya sendiri. Pemerintah yang menjual kekayaan alam bangsanya kepada pihak asing, bukan untuk kesejahteraan rakyatnya, adalah bentuk baru pemerintahan yang kolonial dan kapital yang pasti menyengsarakan rakyat.
Oleh karena itu, Masyarakat Bojonegoro tampaknya harus belajar kembali pada masyarakat samin, dengan Gerakan Saminismenya. Karena kecintaan mereka kepada bangsanya, masyarakat samin tidak rela memberikan kekayaan yang dimiliki bangsanya kepada orang asing yang sebenarnya sama sekali tidak berhak. Seharusnya kita pun demikian. Sejarah mengajarkan bahwa keterlibatan asing dalam pengelolaan SDA sering bersifat merugikan. SDA yang kita miliki seharusnya kita jaga dengan baik, keterlibatan asing diminimalisir dan keterlibatan anak bangsa ditingkatkan. hingga suatu saat kita dapat mengelolanya sendiri secara baik, optimal dan bijaksana. Sehingga manfaatnya pun bisa dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat Bojonegoro.

Oleh: Laily Agustina R.
Ditulis Agustus 2009, dalam Latihan Menulis Sekolah Ekonomika Demokratik bersama Mbak Maya JATAM