Selasa, 16 Agustus 2011

SAYA DAN MULTISTATUS SAYA


Oleh: Laily Agustina Rahmawati

Lahir dan besar di suatu negara merupakan bagian dari takdir yang harus kita syukuri dan dijalani dengan keikhlasan. Masing-masing orang lahir dengan menyandang beberapa status sekaligus (multistatus), dimana status-status tersebut tidak dapat kita pisahkan, dan perpaduan dari status-status itulah yang membentuk pribadi kita menjadi jiwa yang utuh. 

Saya contohnya: tanpa meminta, Tuhan telah mentakdirkan saya lahir dari hasil fertilisasi dua orang makhluk, yaitu manusia (Ayah dan Ibu saya) yang kebetulan berasal dari suku jawa yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan beragama islam. Maka secara otomatis, sejak lahir saya menyandang status sebagai seorang makhluk dari jenis manusia, seorang anak dari orang tua saya, berjenis kelamin perempuan, bersuku jawa, berbangsa Indonesia, dan beragama muslim. Jadi, ketika saya diminta untuk mendeskripsikan siapa saya, maka status-status inilah yang harus saya sandang, dengan penuh kebanggaan tanpa rasa malu, karena status-status tersebut adalah anugerah atau pemberian dari Tuhan.

“Saya adalah Laily Agustina Rahmawati. Saya adalah seorang makhluk Tuhan, dari jenis manusia. Saya adalah anak dari Ibu dan Bapak saya. Saya seorang wanita. Saya seorang Jawa. Saya seorang Indonesia. Dan Saya seorang Muslim.”

Berdasarkan deskripsi di atas, sejak lahir paling tidak saya sudah menyandang 6 status pemberian Tuhan sekaligus. Enam status, berarti ada enam tanggung jawab yang harus diemban untuk dapat mempertahankan status tersebut. Menurut saya, keenam status yang melekat pada diri saya sejak lahir ini, harus saya jalankan bersama-sama secara harmoni. Keenam-enamnya adalah satu paket, sehingga tidak bisa jika hanya memilih sebagaian dan membuang sebagian yang lain. Menjalani keenam status tersebut secara bersamaan, adalah tantangan bagi setiap pribadi. 

Sebagai seorang makhluk (ciptaan), maka sudah menjadi kewajiban saya untuk tunduk pada penciptanya (Tuhan). Perlu disadari, bahwa jenis kita bukan satu-satunya makhluk yang diciptakan Tuhan di semesta ini. Karena ternyata, masih banyak jenis makhluk lain yang keberadaannya juga sangat penting dalam menjaga keharmonisan tata kosmos semesta alam ini. Tuhan menciptakan Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Hewan, Tumbuhan, Fungi, Monera, Protista, dan menyawai mereka. Juga menciptakan benda-benda tanpa nyawa, yang keberdaannya juga tidak kalah penting dengan makhluk-makhluk bernyawa, seperti: udara, air, tanah, bebatuan, dan semua isi geosfer, lithosfer, dan atmosfer, atau pun mungkin lapisan-lapisan lain yang belum mampu di jangkau oleh pengetahuan manusia.

Sebagai manusia, adalah kewajiban saya untuk menjalankan peran sebagai seorang manusia. Dalam agama saya, dan saya sangat meyakini kebenaran ajaran ini, bahwa takdir seorang manusia (termasuk saya) adalah menjalankan peran sebagai khalifatul fil ardh (pemimpin di muka bumi) yang keberadaannya merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ini adalah bentuk kepercayaan Tuhan yang luar biasa kepada manusia, yang tidak boleh diremehkan. Tuhan mengkarunia manusia dengan akal untuk memikirkan solusi-solusi terbaik bagi kemaslahatan bersama, baik untuk kebaikan manusia maupun alam sekitar. Disamping itu, Tuhan juga menyisipkan nurani pada hati kita untuk bisa berempati atau merasakan, yang jika dijaga kemurniannya maka nurani ini akan selalu membimbing kita memilih melakukan hal-hal yang benar secara hakiki. Seorang pemimpin untuk bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam, keberadaannya harus memberi sebesar-besarnya manfaat untuk sekitarnya. Panca indera manusia menangkap fakta-fakta yang ada disekitarnya, ketika indera menangkap ketidak beresan yang ada disekitar, hati yang peka pun tergerak untuk bertindak. Akal yang cerdas dituntut untuk memikirkan solusi-solusi yang membaikkan kondisi. Jika setiap orang, siapa pun dan di mana pun, mulai melakukan tanggung jawab ini dari pribadi mereka, maka saya yakin, kondisi di sekitar akan membaik secara perlahan. Segala sesuatu akan berjalan secara harmoni dalam tata cosmosnya.

Sebagai anak, maka kewajiban saya adalah berbakti kepada orang tua saya. Sungguh, hingga saat ini hal yang paling saya takuti dalam setiap tindakan dan pilihan hidup yang saya jalani adalah membuat orang tua saya kecewa dan sedih. Untuk itulah, dalam setiap tindakan saya selalu berhati-hati agar tidak menyakiti hati mereka dan selalu berusaha membuat mereka bangga karena telah melahirkan saya. Tidak pernah saya ingkari, keberadaan orang tua saya lah yang paling berpengaruh dalam pembentukan pribadi saya. Kasih sayang mereka, membuat saya benar-benar merasa menjadi “seseorang” secara utuh. Kepercayaan yang besar dari mereka membuat saya menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Dukungan mereka, membuat saya ingin selalu kuat dan pantang menyerah ketika menghadapi kesulitan. Keberdaan mereka, membuat saya tidak pernah merasa sendiri dan kesepian.

Sebagai seorang wanita, maka sudah menjadi takdir saya menjalani kodrat wanita. Menyiapkan diri sebagai istri untuk suami kita kelak dan menjadi ibu untuk anak-anak kita kelak. Buat saya, status wanita bukan suatu keterbatasan yang membatasi gerak, bukan juga suatu tingkatan yang harus diperbandingkan, apakah dia lebih tinggi atau lebih rendah dari laki-laki. Cukup jalani saja peran kewanitaan anda pada porsi yang sesuai. Artinya, seorang wanita bisa melakukan apapun selama mereka mampu, bahkan seperti yang dilakukan pria, jika memang kondisi membutuhkannya untuk menjadi seperti itu (silahkan tafsirkan sendiri ;p).

Saya memandang status ke Jawa-an saya, tidak lebih dari variasi spesies manusia. Keragaman itu indah, dan ke Jawaan saya adalah salah satu bagian dari pengindahan keragaman tersebut. Tidak masalah, sebagai suku Jawa asli, saya harus berkulit sawo matang, tidak seperti orang Sunda atau Dayak yang berkulit kuning langsat, atau orang timur yang berkulit lebih gelap, dan berhidung tidak terlalu mancung (memperhalus), layaknya orang Aceh atau warga keturunan (indo). Justru, keberadaan orang-orang seperti saya inilah yang membuat keragaman ini terasa lebih indah dan berwarna. Bukan bermaksud membesarkan hati, namun begitulah fakta berbicara, sesuatu akan terasa indah atau tidak, bagus atau tidak, cantik atau jelek, jika ada pembanding (ups…. What the maksud? Silahkan tafsirkan sendiri juga… :D). Tapi, untunglah fisik bukan satu-satunya pertimbangan dalam menetukan jalan hidup seseorang bukan??? 

Saya tidak pernah memilih untuk dilahirkan di negara Indonesia, tapi Tuhanlah yang memilihkan Indonesia untuk saya. Dan kebetulan orang tua saya juga bukan orang yang punya kesempatan untuk memilih kewarganegaraan mana yang mereka suka, dan tetap enjoy dengan status kewarganegaraan yang mereka miliki, jadi Alhamdulillah status Warga Negara Indonesia yang diturunkan oleh orang tua bisa saya sandang hingga saat ini. Saya sangat bersyukur untuk itu, meskipun akhir-akhir ini banyak orang disekitar saya maupun yang saya lihat di televisi tidak lagi bangga dengan ke-Indonesiaannya. Ada teman saya, yang saking frustasinya dengan kondisi di Indonesia saat ini, dia ingin pindah ke luar negeri sekaligus pindah kewarganegaraan. Melihat teman saya seperti itu, justru membuat saya sedih. Seburuk apapun kondisi negara kita, tidak pernah terbersit dalam pikiran saya untuk pindah kewarganegaraan (kalau pun ada kesempatan). Lari dari permasalahan hanyalah tindakan seorang pengecut. Lahir di suatu negara adalah anugrah dari Tuhan. Apa yang diberikan Tuhan kepada kita adalah titipan, termasuk bangsa. Semua permasalahn yang mendera bangsa kita saat ini, adalah tanggung jawab kita juga untuk memperbaikinya. Persetan dengan permainan politik dan kekuasaan yang dipertontonkan oleh para pemegang legitimasi kekuasaan. Tapi bagaimana pun juga, rakyatlah pemilik sah Republik ini. Sekecil apa pun kita, apapun pekerjaan kita, berapapun gaji kita, apapun derajat pendidikan kita, kita semua adalah pemilik sah dari Negara Indonesia kita. Kita punya hak dan tanggung jawab penuh untuk menentukan nasib bangsa sendiri. Jangan belajar hidup mewah pada koruptor, tapi belajarlah kesederhanaan pada guru-guru yang dengan ikhlas mengajar di pedalaman dan mampu berdamai dengan segala keterbatasan. Belajarlah pada tukang sapu jalanan, yang meskipun gaji mereka tidak seberapa, setiap subuh, sebelum kita bangun mereka sudah menyapu dan membersihkan sampah di sepanjang jalan raya, dan sudah tidak tampak lagi ketika matahari merambat naik di ufuk timur, saat orang-orang mulai beraktifitas. Tidak seperti para artis atau selebritis, yang berbuat baik menunggu kalau ada kamera yang menyorotnya J. Jangan belajar jahat dan licik seperti politikus, tapi belajarlah arif dan bijak seperti seorang Bapak yang dimintai pertimbangan dalam menentukan kebaikan masa depan anaknya. Berhentilah untuk menuntut, dan belajar untuk memberi. Berhenti untuk jadi bagian dari masalah, tapi jadilah bagian dari pemberi solusi. Berhentilah untuk bicara, dan mulailah bekerja. Karena sesungguhnya masih banyak orang baik di negara ini yang bisa kita jadikan guru, masih banyak kesempatan untuk berbuat baik dan masih luas lahan untuk menanam kebaikan, demi membaikkan kondisi bangsa dan negara kita, jika kita mau, bukan malah berlari!

Sebagai seorang muslim, tentu sudah menjadi kewajiban saya menjalani hal-hal yang disyariatkan oleh ajaran agama saya. Saya sering merasa awam jika harus berbicara tentang agama, kepercayaan, atau ke Tuhanan. Tapi yang jelas, buat saya, agama tidak terbatas pada symbol dan ritual-ritual, tapi lebih dari itu. Agama adalah panduan manusia untuk menuntunnya ke jalan kebaikan. Bukan hanya kebaikan untuk diri sendiri, tapi kebaikan untuk semesta alam. Agama adalah keyakinan suci, yang tempatnya ada di hati, bukan untuk diperdebatkan. Setiap orang yang percaya dan yakin pasti punya alasan. Dan alasan yang kuat hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar mau mencari, belajar dan berpikir.

(Hasil perenungan tentang multistatus yang sedang saya jalani saat ini)

Yogyakarta, Dini Hari-17 Agustus 2011.
*Selamat buat Indonesia-saya.